Semoga melalui media digital personal website yang sangat sederhana ini, tali silaturahmi dan pertemanan yang terputus dapat tersambung kembali dan mengakrabkan kita, sebab hidup dgn ilmu akan lebih mudah, hidup dgn seni akan lebih indah & hidup dgn iman pasti akan terarah.

Masukan yang bersifat membangun dapat dikirimkan melalui email : bagyoesx@gmail.com atau bagyo_27061965@yahoo.co.id atau SMS/Kontak HP 08159552196

07 Oktober 2007

Air dan Listrik Indonesia Juga Akan Digadaikan

Dalam perjalanan kekuasaan di Indonesia, Singapura dalam beberapa periode kepemimpinan negara ini sempat sangat dekat dengan pusat kepemimpinan nasional dan mempengaruhi kebijakan negara. Di era Orde Baru, saat Soeharto masih memelihara Jenderal Benny Moerdani dan mengambil sikap berseberangan dengan aspirasi mayoritas rakyatnya, intel-intel Singapura banyak berkeliaran di Indonesia. Memoir Jenderal Soemitro malah sempat menyinggung adanya lobi Israel yang disetir dari Singapura yang akhirnya berhasil mempertemukan Presiden Soeharto dengan sejumlah pejabat Israel di Cendana, Jakarta. Dalam masa kepemimpinan Habibie yang singkat, Singapura memilih sikap untuk menjaga diri dan wait and see di permukaan, namun aktif mendorong berbagai gerakan massa untuk menumbangkan Habibie lewat kroni-kroninya di Indonesia. Ketika Habibie menyusul Soeharto, Abdurrahman Wahid yang sangat bersahabat dengan kaum Yahudi —Dia bahkan menjadi salah seorang pendiri Shimon Perez Institue di Tel Aviv, Israel—' malah merangkul Singapura dengan merayu Lee Kuan Yew agar sudi menjadi salah satu penasehat tim ekonomi kepresidenannya bersama Henry Kissinger (Yahudi AS) dan Sofyan Wanandi (CSIS).
Patut diperhatikan, dalam masa kepemimpinan Habibie, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang semula Rp 15 ribu bisa ditekan menjadi hanya Rp 6 ribuan. Ketika Abdurrahman Wahid "naik tahta" dengan menggandeng Lee Kuan Yew, Henry Kissinger, Sofyan Wanandi, Wahid "sukses besar" mengembalikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali menembus batas psikologis Rp 10 ribuan. Dalam beberapa kasus insidentil, Wahid sempat berkomentar keras soal pernyataan Lee, walau hal ini tidak mempunyai arti yang signifikan.
Setelah Wahid diturunkan paksa oleh DPR, Megawati Soekarnoputeri menggantikannya. Walau menyandang nama "Soekarnoputeri" di belakang namanya, Mega ternyata banyak mengeluarkan kebijakan yang bertolak-belakang dengan garis Soekarnoisme.
Jika Soekarno gigih melindungi usaha pribumi dari serangan imperialisme asing, bahkan pernah menasionalisasi sejumlah perusahaan asing (Politik Benteng), Megawati malah menggadaikan banyak perusahaan nasional dan pribumi ke tangan asing. Sejumlah skandal penjualan BUMN hingga kini masih saja belum diusut tuntas oleh pengadilan Indonesia. Sebut saja yang paling fenomenal adalah kasus Indosat.
Megawati pula yang mengeluarkan kebijakan Release and Dischard kepada para konglomerat koruptor. Dengan kebijakan ini, para koruptor yang seharusnya diburu dan digantung terbalik di tiang Monas, oleh Megawati malah diberi ampunan. Saat itulah di dalam masyarakat muncul kalimat satiris, "ia pembela wong licik, bukan pembela wong cilik."
Dalam masa Megawati, peran orang-orang yang mengelilinginya memang sangat menentukan mengingat Mega sebenarnya sama sekali punya kapasitas dalam soal-soal ini semua. Semua pernyataan dan wawancaranya di media massa sama sekali tidak ada yang bernas. Orang-orang di belakang Mega itu antara lain; Theo Syafei —murid dari Jenderal Benny Moerdani, yang diangkat menjadi penasehat utama presiden bidang sosial politik, serta Laksamana Sukardi yang diserahi kementerian BUMN yang akhirnya banyak menggadaikan aset-aset negara dengan harga diskon gedi-gedean. Di masa kepemimpinan Megawati, Indonesia yang sudah hancur menjadi kian remuk.
Dalam dua tahun masa kepemimpinan Mega, Singapura banyak menangguk keuntungan dengan menguasai sejumlah saham aset-aset nasional seperti Telkomsel, Indosat, Bank Central Asia, dan sebagainya.
Bersyukurlah rakyat Indonesia, dalam Pemilihan Umum 2004 yang memilih presiden dan wakilnya secara langsung, Megawati yang menggandeng Hasyim Muzadi kalah telak. Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla naik ke kursi RI-1 dan RI-2. Duet ini, walau tidak begitu ideal, oleh rakyat banyak diharapkan bisa membawa perubahan yang lebih baik dalam waktu yang cepat.
Saat Mega memimpin, kasus Indosat yang memilukan itu disusul dengan rencana pemberlakuan UU Air dan dinaikannya Tarif Dasar Listrik (TDL). Rencana terakhir ini kemudian terbongkar dan masyarakat menjadi tahu bahwa pemerintah Mega sebenarnya bernafsu akan menjual Perusahaan Listrik Negara (PLN) ke pihak asing yang dikuasai Yahudi.
Pengamat ekonomi UGM Revrisond Baswir berpendapat bahwa rencana pemerintah menaikkan TDL per Oktober 2003 tidak terlepas dari agenda untuk melakukan privatisasi terhadap BUMN itu. "Ada berbagai alasan yang dikemukakan pemerintah, tapi yang jelas alasannya adalah bahwa perusahaan ini akan dilego," kata Revrisond Baswir.
Pengamat ekonomi yang cukup kriris ini menyebutkan bahwa pembeli atau investor akan senang dan cepat tertarik jika harga listrik sudah mahal, sehingga peluang pengembalian modal (Break Event Point) akan cepat, dan mereka tidak mau menanggung beban menaikkan harga listrik.
Terkait dengan rencana ini, pemerintah melakukan unbounding atau pemecahan PLN. Unit pembangkitan, unit jaringan, unit distribusi, dan unit lainnya akan dipecah menjadi perusahaan sendiri-sendiri.
"Setelah pemecahan itu, berikutnya adalah penjualan atau privatisasi BUMN itu. Jadi semua dilakukan dalam konteks itu, yaitu untuk menarik minat investor untuk masuk ke situ," lanjutnya.
Berdasar dokumen yang ada, kata Revrisond, pemerintah akan melaksanakan privatisasi terhadap PLN selambat-lambatnya pada tahun 2007, dengan proses pemecahan perusahaan yang direncanakan dimulai pada September 2003. la menyebutkan, agenda privatisasi dengan pemecahan perusahaan dan menaikkan harga kepada konsumen terlebih dahulu tidak hanya terjadi pada PLN tetapi juga pada Pertamina. Sebelumnya, pemerintah merencanakan kenaikan TDL tahap keempat mulai 1 Oktober 2003.
Menteri Ervergi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnorno Yusgiantoro menyatakan bahwa keputusan menaikkanTDL tahap keempat pada 1 Oktober 2003 tinggal menunggu keputusan Presiden Megawati saja setelah mempertimbangkan semua aspek, termasuk nuansa yang berkembang di masyarakat. Pemerintah juga telah membuat tiga opsi tentang TDL Oktober 2003, yaitu tetap naik 6,0 persen sesuai Keppres No 89/2003 tentang Kenaikan TDL, tidak naik, dan naik parsial.
Untunglah, Megawati tidak terpilih lagi dalam Pemilu 2004. Rakyat agaknya sudah semakin pintar. Dan Susilo Bambang Yudhoyono agaknya cukup cerdas untuk tidak mengikuti langkah Mega yang banyak menggadaikan aset-aset bangsa kepada pihak asing.
(Rizki Ridyasmara, "Singapura Basis Israel Asia Tenggara", Khalifa, Jkt, 2005)

Tidak ada komentar: