ImageCampur tangan AS di Indonesia bak matahari di siang bolong.Kini, giliran Utusan Khusus Deplu AS menyambangi MUI.Anehnya, kunjungan ini tak tercium pers.
Tak ada angin tak ada hujan. Siang itu, sekitar jam 15.00 Wib, dua orang bule berkebangsaan Amerika Serikat (AS) dan seorang berkebangsaan Pakistan menyambangi kantor MUI di Jl Proklamasi 5 Jakarta Pusat, Selasa (29/7). Tamu yang dipimpin oleh Gregg J Rickman, Utusan Khusus Departemen Luar Negeri AS untuk Mengawasi dan Melawan Gerakan Anti Yahudi ini, diterima Ketua MUI Drs H Amidhan, Drs HA Nazri Adlani, Ketua Komisi Luar Negeri MUI Junaedi dan Staf Sekretariat MUI Anwar Abas.
Dalam pertemuan yang berlangsung singkat ini, Gregg meyakinkan MUI bahwa Yahudi itu terpisah menjadi dua yakni, Yahudi sebagai agama dan Yahudi sebagai kekuatan politik (Zinosme). Mereka mengklaim, misi yang dibawa adalah Yahudi sebagai agama bukan politik apalagi gerakan Zionis. Karenanya, Gregg menawarkan sebuah hubungan harmonis sebagai sesama pemeluk agama. Apalagi, Yahudi, Kristen dan Islam merupakan satu rumpun agama yang dibawa Nabi Ibrahim as.
Menjawab ajakan ini, Ketua MUI Drs H Amidhan menegaskan, umat Islam Indonesia tidak bisa memisahkan Yahudi sebagai agama dengan Yahudi sebagai Zionisme. “Semua Yahudi adalah Zionis,” ujarnya. Apalagi, pemerintah RI memiliki komitmen mewujudkan terbentuknya negara Palestina merdeka, sebagai amanat Pembukaan UUD 45, konstitusi tertinggi negeri ini. “Selama Israel menghambat terbentuknya negara Palestina merdeka, pemerintah dan umat Islam Indonesia tidak akan menjalin hubungan dengan Israel,” tegasnya
Ketua Komisi Luar Negeri MUI Junaedi menambahkan, jika ingin meningkatkan hubungan AS dengan Indonesia, keliru jika mereka membawa Yahudi di Indonesia. Pasalnya, di Indonesia tidak ada lagi komunitas Yahudi. Ketika, Junaedi menyinggung soal Taurat yang tidak asli lagi karena banyak diubah manusia, mereka tersinggung dan balik mengatakan bahwa al-Qur’an juga tidak otentik lagi. Akhirnya, Junaedi pun menjelaskan panjang lebar bahwa keaslian al-Qur’an tetap terjaga hingga akhir zaman.
Karena MUI tak merespon ajakan mereka, akhirnya dua utusan Pemerintah AS dan seorang diplomat yang menjabat Sekretaris Bidang Kebudayaan Kedutaan Besar AS di Jakarta ini, cepat-cepat berpamitan. Uniknya, ketiganya tak sempat menikmati teh hangat dan makanan kecil yang sudah disediakan. Bahkan, ketiganya pun tidak lagi bersalaman dengan tuan rumah sebagaimana saat mereka datang.
Meski begitu, Gregg masih sempat meninggalkan sebuah CD di meja tamu yang berisi Laporan Departemen Luar Negeri AS tentang Contemporary Global Anti-Semitism; A Report Provided to the United Statet Congres (Laporan Gerakan Global Anti Yahudi Kontemporer; yang Dikeluarkan Kantor Utusan Khusus untuk Mengawasi dan Melawan Gerakan Anti Yahudi).
Dalam laporan setebal 81 halaman yang diperoleh Sabili ini, Indonesia disebutkan sebagai salah satu negara yang memiliki lembaga independen anti Yahudi. Hal ini terdapat pada Bagian 6 yang membahas tentang Anti-Semitism in Private Media (Anti Yahudi dalam Media Independen), hal 55–59. Di sini tertulis, Majalah Sabili menjadi bagian dari media independen yang sering menyuarakan gerakan anti Yahudi.
Berikut kutipan pernyataan dalam laporan tentang Sabili ini. “Sabili adalah majalah yang dibaca secara luas, sering mempublikasikan artikel dengan banyak pendapat yang mengusung semangat anti Yahudi dan topik serupa untuk melakukan himbauan. Contohnya, tentang eksistensi aktivitas konspirasi Zionis di Indonesia.”
Anehnya, kedatangan dua orang utusan khusus Pemerintah AS dan seorang pejabat diplomat Kedubes AS di Jakarta menyambangi MUI ini, sama sekali tak diketahui media. Padahal, pada saat yang sama, isu intervensi dan campur tangan AS terhadap Indonesia sedang mancapai klimaks. Pasalnya, pada hari itu juga, Selasa (29/7), 40 anggota Kongres AS mengirimkan surat kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Surat yang dikirim melalui Duta Besar RI di AS Sudjadnan Parnohadiningrat ini berisi, permintaan agar pemerintah Indonesia segera membebaskan tanpa syarat dua anggota Organisasi Papua Perdeka (OPM), Filep Karma dan Yusak Pakage. Keduanya dijatuhui hukuman masing-masing 15 dan 10 tahun penjara, April 2005, karena aktivitas separatisnya, mengibarkan bendera Bintang Kejora di Abepura, 1 Desember 2004.
Sebelumnya, Division Head Public Relation PT Indosat, Adita Irawati menyatakan, staf Kedubes AS juga menyambangi kantornya. Mereka meminta, agar Indosat memutuskan kontrak dengan TV Al-Manar, karena televisi ini milik Hizbullah. Pemerintah AS menyatakan, pejuang Hizbullah dan TV Al-Manar yang berbasis di Libanon merupakan organisasi teroris. Memang, agar diterima pemirsa di kawasan Asia Tenggara, Cina, Taiwan dan Australia, Al-Manar menyewa satelit C2 milik Pt Indosat. Kontrak diteken selama tiga tahun, sejak April 2008 sampai April 2011.
Anehnya lagi, pada saat isu-isu ini muncul ke publik, tiba-tiba pada acara peringatan Hari Pribumi Internasional di Wamena, Papua, Sabtu (9/8), terjadi pengibaran bendera Bintang Kejora. Akibatnya, kerusuhan pun pecah, yang mengakibatkan tewasnya Otinus Tabuni (41).
Meski sulit menemukan benang merah keterkaitan kasus ini, tapi kita bisa membaca kecenderungannya. Salah satunya, Gregg J Rickman, Utusan Khusus Deplu AS ini mengaku, kunjungannya demi misi Yahudi sebagai agama bukan gerakan zionis. Jika atas nama agama kenapa yang datang bukan Rabi Yahudi? Apa urusannya Deplu AS dengan misi agama? Aneh? (Dwi H, Diyah K, Citra S)
(Sumber : Sabili.co.id)
15 September 2008
Langganan:
Postingan (Atom)