Semoga melalui media digital personal website yang sangat sederhana ini, tali silaturahmi dan pertemanan yang terputus dapat tersambung kembali dan mengakrabkan kita, sebab hidup dgn ilmu akan lebih mudah, hidup dgn seni akan lebih indah & hidup dgn iman pasti akan terarah.

Masukan yang bersifat membangun dapat dikirimkan melalui email : bagyoesx@gmail.com atau bagyo_27061965@yahoo.co.id atau SMS/Kontak HP 08159552196

08 Desember 2008

DAFTAR PERUSAHAAN YAHUDI

1. America On Line AOL Time Warner (AOL Time Warner)
2. APAX Partners & Co. Ltd.
3. Coca Cola Company
4. DANONE
5. Delta Galil
6. Walt Disney
7. Estee Lauder
8. IBM Company
9. Jhonson & Jhonson
10. Kimberly-Clark
11. Lewis Trust
12. LOREAL
13. Marks & Spencer
14. NESTLE
15. News Coporation
16. NOKIA
17. REVLON
18. The Limited
19. Home Depot
20. INTEL
21. STARBUCKS

(Sumber : Dr. Wang Xiang Jun, PhD, Rencana Besar Yahudi di Indonesia, Pustaka Radja, Cetakan III, 2008)

KETURUNAN YAHUDI DI INDONESIA

1. Rita Aaron, Indonesian model
2. Cornelia Agatha, Indonesian actress (Jewish father)
3. Marini Sardi, Indonesian singer (Jewish mother)
4 Mariana Renata, Indonesian model and actrees (Jewish father, converted to Catholicism)
5. Xaviera Hollander, writer (Indonesian-born; Jewish father)
6. Yapto S. Suryo Sumarno, political activist, brother of Marini (Jewish mother)
7. Benjamin/Benny Prakarsa Y., coffee trader in Lampung-South Sumatra (Jewish mother)
8. Nicholas Muliadi, famous Indonesian merchant (Jewish mother)
9. Ridi Maulana, deceased drug dealer (Jewish ancestry)
10. Ahmad Dhani, Indonesian singer-songwriter (Jewish ancestry) although he is a muslim
11. Yaacov Baruch, Indonesian Jewish Community leader in Manado. He descended from Dutch-Jews Van Beugen family, according to the Jewish Times.

(Sumber : Dr. Wang Xiang Jun, PhD, Rencana Besar Yahudi di Indonesia, Pustaka Radja, Cetakan III, 2008)

INDONESIA MEMANG SUDAH DIRENCANAKAN MELALUI KONSENSUS WASHINGTON

Indonesia merupakan target dari kaum Yahudi di Amerika, dimana hal ini dapat dilihat dalam ”WASHINGTON KONSENSUS”. Berikut kutipannya :

In a commentary on the Malawi experience prepared for the Center for Global Development, development economists Vijaya Ramachandran and Peter Timmer argue that fertilizer subsidies in parts of Africa (and Indonesia) can have benefits that substantially exceed their costs. They caution, however, that how the subsidy is operated iscrucial to its long-term success, and warn -for example- against allowing fertilizer distribution to become a monopoly. Ramachandran and Timmer also stress that African farmers need more than just input subsidies - they need better research to develop new inputs and new seeds, as well as better transport and energy infrastructure. The World Bank reportedly now sometimes supports the temporary use of fertilizer subsidies aimed at the poor and carried out in a way that fosters private markets: "In Malawi, Bank officials say they generally support Malawi's policy, though they criticize the government for not having a strategy to eventually end the subsidies, Question whether its 2007 corn production estimates are inflated and say there is still a lot of room for improvement in how the subsidy is carried out".

(Sumber : Dr. Wang Xiang Jun, PhD, Rencana Besar Yahudi di Indonesia, Pustaka Radja, Cetakan III, 2008)

PENGUASAAN HAJAT HIDUP ORANG BANYAK DI INDONESIA

Mengingat jaringan Internasional Zionis merupakan satu-satunya negeri yang tidak terlalu mementingkan pertumbuhan perekonomian dan terlalu sibuk dengan pertumbuhan kekuatan militer, maka Israel lewat jaringan perusahaan-perusahaan Zionisnya yang tersebar di seluruh dunia, termasuk Indonesia, merayu warga dunia agar mau membelanjakan uangnya membeli produk-produk pendukung Zionisme.
Dengan globalisasi, konsep Neo Imperialisme dapat diterapkan dengan mudah tanpa harus 'menjajah' secara terang-terangan. Cukup dikendalikan dengan kekuatan politik, uang (ekonomi), dan ideologi. Contohnya, negara kita, Indonesia, negara ini tidak perlu diserang atau direbut melalui kekuatan militer. Dengan pola pikir penduduknya yang bodoh negara ini cukup diotak-atik melalui perekonomian, ideology dan politik.
Bayangkan, kita lebih suka apel Washington yang mengandung zat besi yang berlebihan bagi tubuh orang-orang yang hidup di iklim tropis dibandingkan apel Malang yang mengandung sel-sel anti-kanker yang cocok untuk tubuh orang-orang yang hidup di iklim tropis.
Kita lebih suka belanja di Carrefour, minum Coca Cola dan membeli barang-barang import yang lebih murah dan kadang lebih berkualitas (karena dibuat oleh teknologi dan mesin) tapi tanpa sadar secara kolektif ikut memboroskan devisa negara karena toh semua keuntunqan yang didapat dari barang-barang import maupun perusahaan asing di Indonesia akan kembali ke negara asal mereka.
Belum lagi, hancurnya industri dalam negeri karena kalah bersaing dengan barang-barang import dari China, Korea, Jepang, Amerika, dll. Dan kehancuran ini berarti PHK besar-besaran dan bertambahnya pengangguran-pengangguran dl Indonesia.
Masalahnya, karena kita mau praktis saja. Kita mau mengkonsumsi barang yang murah dan berkwalitas, tapi kita enggan memproduksinya. Kita Lebih suka belanja dengan nyaman di Carrefour karena di pasar tradisionil becek, banyak copet dan mesti nawar lagi.

(Sumber : Dr. Wang Xiang Jun, PhD, Rencana Besar Yahudi di Indonesia, Pustaka Radja, Cetakan III, 2008)

KEBIJAKSANAAN MINYAK DI INDONESIA

Christopher Lingle dalam artikel (Jakarta Post 20 Februari 2008) yang berjudul "Restoring Indonesia's economy to a higher growth path" mencatat bahwa pengangguran di Indonesia mencapai 40% dari total angkatan kerja. Selain itu, Bank Dunia menyebutkan sekitar 49,5% Rakyat Indonesia berpendapatan di bawah 2 US$/hari. Di sektor pendidikan, yang menjadi pilar utama pembangunan Sumber Daya Manusla (SDM), justru menggambarkan situasi yang lebih miris. Menurut data Susenas 2004, dan penduduk usia sekolah 7-24 tahun yang berjumlah 76,0 juta orang; yang tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai 41,5 juta orang atau sebesar 55 persen. Sementara itu, menurut data Balitbang Depdiknas 2004, angka putus sekolah atau drop-out di tingkat SD/MI tercatat sebanyak 685.967 anak, yang berhasil lulus SD/MI tetapi tidak melanjutkan ke jenjang SMP/MTs dan putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054 orang."
Situasi INi sangat kontras dengan nilai profit kandungan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia yang justru memberikan kemakmuran melimpah kepada korporasi-korporasi asing. Dalam laporan pendapatannya untuk tahun triwulan kedua 2008, pihak Exxon Mobil memperoleh keuntungan sebesar US$ 138 milyar (Rp.1.2 42 trilyun). Angka ini naik 40% dibandingkan dengan periode yang sama tahun silam, "yang hanya" US$ 98 milyar. Dengan pendapataan sebesar itu, Exxon Mobil menjadi "Negara" terkaya ke-18 dunia. Exxon Mobile merupakan perusahaan milik keluarga kapitalis Yahudi John D. Rockefeller.
Sekitar 90% migas Indonesia "dikelola" oleh perusahaan Multi National Companye (MNC) seperti Exxon Mobil, Chevron, Halliburtons, Unocal, yang mayoritas berasal dari AS. Dari ''kerjasama tersebut" MNC dari AS mendapat keuntungan yang sangat besar melebihi dari kontrak bisnis yang wajar. Sebagai contoh jika ongkos pompa minyak (tidak termasuk pengilangan dan distribusi ke SPBU) yang wajar hanya sekitar US$ 4/barrel (Rp 231/ liter), maka MNC mengeruk keuntungan hingga US5 50/barrel atau lebih dari 12 kali lipat, Jika dikalikan dengan 365 juta barrel/ tahun maka keuntungan lebih MNC tersebut adalah Rp 154,5 trilyun. Sementara di dokumen CIA tentang Indonesia disebut bahwa sektor listrik di Indonesia masih "regulated". Tarifnya masih "diatur" oleh pemerintah Indonesia, sehingga harganya terjangkau oleh mayoritas rakyat Indonesia yang masih menengah ke bawah. Hal ini jelas tidak menguntungkan bagi para "investor" AS yang ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Untuk itu harus dideregulasi. "Subsidi" harus dicabut sehingga harganya menglkuti harga pasar atau yang sekarang disebut "Harga Keekonomian".
Untuk itu pemerintah AS lewat USAID mengucurkan jutaan dollar yang dikucurkan kepada kaki tangan mereka agar kebijakan mereka bisa berjalan di Indonesia, yaitu deregulasi, pengurangan subsidi (penaikan harga), dan reformasi bidang energi. Untuk itu USAID jadi "Donatur Utama" agar usaha tersebut berhasil. Untuk tahun 2001 dan 2002 saja mereka menganggarkan masing-masing US$ 4 juta (Rp 37,2 milyar) agar berhasil.
Berikut cuplikan dan dokumen USAID yany berjudul "Energy Sector Governance Strengthened":
By minimizing the role of government as a regulator, reducing subsidies, &nd promoting private sector involvement, a reformed energy sector can contribute billions of dollars in tax revenue. USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform, which helps leverage larger multilateral loans.
the Government of Indonesia, with USAID assistance, ensured that national and local parliaments, civil society organizations, media, and universities were involved in the decision. As a result, there was minimal public outcry. USAID also supported this process by providing policy analysis for energy pricing and subsidy removal.

Keuntungan yang diperoleh korporasi-korporasi Negara imperialis ini tidaklah setara denqan Produk Domestic Bruto (PDB) beberapa Negara dunia ketiga tempat korporasi tersebut menghisap. Menurut laporan Energy Information Administration (EIA) dalam laporannya mengatakan bahwa total produksi minyak Indonesia rata-rata 1,1 juta barel per hari, dengan 81% (atau 894.000 barel) adalah minyak mentah (crude oil). Untuk produksi gas alamr Indonesia sanggup memproduksi 97.8 juta kubik. Indonesia masuk dalam daftar ke 9 penghasil gas alam di dunia, dan merupakan urutan pertama di kawasan Asia Pasifik.
Sayangnya, hampir 90% dari total produksi tersebut berasal dari 6 MNC, yakni; Total (diperkirakan market share-nya di tahun 2004, 30%), Exxon Mobil (17%) Vico (BP-Eni joint venture, 11%), Conoco Phillips (11%), BP (6%), and Chevron (4%).
Karena proses perampokan kekayaan alam Indonesia ini sepenuhnya dilegitimasi oleh perundang-undangan pemerintah Indonesia, maka tidak ada jalan lain, rakyat Indonesia harus melakukan nasionalisasi (pengambil-alihan) terhadap seluruh perusahaan tambang asing tersebut. Langkah ini merupakan jalan yang tepat dan sanggup menyelamatkan kekayaan alam yang seharusnya diperuntukkan untuk rakyat Indonesia. Pada hari Buruh Internasional, Morales resmi mengumumkan nasionalisasi 20 perusahaan minyak dan gas asing.
Pengumuman langsung didukung tindakan dengan mengirim tentara Bolivia ke ladang minyak dan gas alam. Penempatan pasukan militer itu merupakan simbol bahwa instalasi minyak dan gas itu telah menjadi milik negara Bolivia. Gara-gara dekrit itu, penerimaan Bolivia di sektor migas melonjak menjadi US$ 780 juta (sekitar Rp 7 triliun) pada tahun 2007. Jumlah itu enam kali lipat dibanding penerimaan pada 2002. Bagaimana jika perusahaan asing menolak? "Mereka boleh pergi", ujar Menteri Energi Andres Soliz.
Di Indonesia, di bawah Bung Karno, pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan UU No.86/1958 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, termasuk sektor pertambangan. Selain itu, Bung Karno memberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1960 yang mempertegas pengelolaan minyak dalam kontrol Negara. Setelah itu, Bung Karno menyerahkan skema profit-sharing agreement (PSA) yakni 60:40, ditambah kebijakan lain seperti MNC wajib menyerahkan 25 persen area eksplorasi setelah 5 tahun dan 25 persen lainnya setelah 10 tahun.
Selain itu, MNC wajib menyediakan kebutuhan untuk pasar domestik dengan harga tetap dan menjual aset distribusi-pemasaran setelah jangka waktu tertentu. Skema Bung Karno langsung disetujui oleh presiden AS saat itu, John F Kennedy, dan tiga raksasa minyak dunia (Stanvac, Caltex, dan Shell). Cerita sukses Bung Karno itu bisa dilihat dalam prestasi sektor pendidikan, yakni tingkat melek huruf naik dari 10 ke 50 persen (1960). Biaya pendidikan pada masa itu juga sangat murah. Ketegasan dan keberanian Bung Karno ini menyebabkannya mempunyai banyak lawan politik, termasuk alas an penggulingannya. Indonesia pernah diskors dari kegiatan keolahragaan internasional. Tetapi Presiden Soekarno tidak mau kalah. Ia menyelenggarakan GANEFO (Games of The New Emerging Forces).

(Sumber : Dr. Wang Xiang Jun, PhD, Rencana Besar Yahudi di Indonesia, Pustaka Radja, Cetakan III, 2008)

15 September 2008

Propaganda Israel Di Balik Kunjungan AS Ke MUI

ImageCampur tangan AS di Indonesia bak matahari di siang bolong.Kini, giliran Utusan Khusus Deplu AS menyambangi MUI.Anehnya, kunjungan ini tak tercium pers.

Tak ada angin tak ada hujan. Siang itu, sekitar jam 15.00 Wib, dua orang bule berkebangsaan Amerika Serikat (AS) dan seorang berkebangsaan Pakistan menyambangi kantor MUI di Jl Proklamasi 5 Jakarta Pusat, Selasa (29/7). Tamu yang dipimpin oleh Gregg J Rickman, Utusan Khusus Departemen Luar Negeri AS untuk Mengawasi dan Melawan Gerakan Anti Yahudi ini, diterima Ketua MUI Drs H Amidhan, Drs HA Nazri Adlani, Ketua Komisi Luar Negeri MUI Junaedi dan Staf Sekretariat MUI Anwar Abas.

Dalam pertemuan yang berlangsung singkat ini, Gregg meyakinkan MUI bahwa Yahudi itu terpisah menjadi dua yakni, Yahudi sebagai agama dan Yahudi sebagai kekuatan politik (Zinosme). Mereka mengklaim, misi yang dibawa adalah Yahudi sebagai agama bukan politik apalagi gerakan Zionis. Karenanya, Gregg menawarkan sebuah hubungan harmonis sebagai sesama pemeluk agama. Apalagi, Yahudi, Kristen dan Islam merupakan satu rumpun agama yang dibawa Nabi Ibrahim as.

Menjawab ajakan ini, Ketua MUI Drs H Amidhan menegaskan, umat Islam Indonesia tidak bisa memisahkan Yahudi sebagai agama dengan Yahudi sebagai Zionisme. “Semua Yahudi adalah Zionis,” ujarnya. Apalagi, pemerintah RI memiliki komitmen mewujudkan terbentuknya negara Palestina merdeka, sebagai amanat Pembukaan UUD 45, konstitusi tertinggi negeri ini. “Selama Israel menghambat terbentuknya negara Palestina merdeka, pemerintah dan umat Islam Indonesia tidak akan menjalin hubungan dengan Israel,” tegasnya

Ketua Komisi Luar Negeri MUI Junaedi menambahkan, jika ingin meningkatkan hubungan AS dengan Indonesia, keliru jika mereka membawa Yahudi di Indonesia. Pasalnya, di Indonesia tidak ada lagi komunitas Yahudi. Ketika, Junaedi menyinggung soal Taurat yang tidak asli lagi karena banyak diubah manusia, mereka tersinggung dan balik mengatakan bahwa al-Qur’an juga tidak otentik lagi. Akhirnya, Junaedi pun menjelaskan panjang lebar bahwa keaslian al-Qur’an tetap terjaga hingga akhir zaman.

Karena MUI tak merespon ajakan mereka, akhirnya dua utusan Pemerintah AS dan seorang diplomat yang menjabat Sekretaris Bidang Kebudayaan Kedutaan Besar AS di Jakarta ini, cepat-cepat berpamitan. Uniknya, ketiganya tak sempat menikmati teh hangat dan makanan kecil yang sudah disediakan. Bahkan, ketiganya pun tidak lagi bersalaman dengan tuan rumah sebagaimana saat mereka datang.

Meski begitu, Gregg masih sempat meninggalkan sebuah CD di meja tamu yang berisi Laporan Departemen Luar Negeri AS tentang Contemporary Global Anti-Semitism; A Report Provided to the United Statet Congres (Laporan Gerakan Global Anti Yahudi Kontemporer; yang Dikeluarkan Kantor Utusan Khusus untuk Mengawasi dan Melawan Gerakan Anti Yahudi).

Dalam laporan setebal 81 halaman yang diperoleh Sabili ini, Indonesia disebutkan sebagai salah satu negara yang memiliki lembaga independen anti Yahudi. Hal ini terdapat pada Bagian 6 yang membahas tentang Anti-Semitism in Private Media (Anti Yahudi dalam Media Independen), hal 55–59. Di sini tertulis, Majalah Sabili menjadi bagian dari media independen yang sering menyuarakan gerakan anti Yahudi.

Berikut kutipan pernyataan dalam laporan tentang Sabili ini. “Sabili adalah majalah yang dibaca secara luas, sering mempublikasikan artikel dengan banyak pendapat yang mengusung semangat anti Yahudi dan topik serupa untuk melakukan himbauan. Contohnya, tentang eksistensi aktivitas konspirasi Zionis di Indonesia.”

Anehnya, kedatangan dua orang utusan khusus Pemerintah AS dan seorang pejabat diplomat Kedubes AS di Jakarta menyambangi MUI ini, sama sekali tak diketahui media. Padahal, pada saat yang sama, isu intervensi dan campur tangan AS terhadap Indonesia sedang mancapai klimaks. Pasalnya, pada hari itu juga, Selasa (29/7), 40 anggota Kongres AS mengirimkan surat kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

Surat yang dikirim melalui Duta Besar RI di AS Sudjadnan Parnohadiningrat ini berisi, permintaan agar pemerintah Indonesia segera membebaskan tanpa syarat dua anggota Organisasi Papua Perdeka (OPM), Filep Karma dan Yusak Pakage. Keduanya dijatuhui hukuman masing-masing 15 dan 10 tahun penjara, April 2005, karena aktivitas separatisnya, mengibarkan bendera Bintang Kejora di Abepura, 1 Desember 2004.

Sebelumnya, Division Head Public Relation PT Indosat, Adita Irawati menyatakan, staf Kedubes AS juga menyambangi kantornya. Mereka meminta, agar Indosat memutuskan kontrak dengan TV Al-Manar, karena televisi ini milik Hizbullah. Pemerintah AS menyatakan, pejuang Hizbullah dan TV Al-Manar yang berbasis di Libanon merupakan organisasi teroris. Memang, agar diterima pemirsa di kawasan Asia Tenggara, Cina, Taiwan dan Australia, Al-Manar menyewa satelit C2 milik Pt Indosat. Kontrak diteken selama tiga tahun, sejak April 2008 sampai April 2011.

Anehnya lagi, pada saat isu-isu ini muncul ke publik, tiba-tiba pada acara peringatan Hari Pribumi Internasional di Wamena, Papua, Sabtu (9/8), terjadi pengibaran bendera Bintang Kejora. Akibatnya, kerusuhan pun pecah, yang mengakibatkan tewasnya Otinus Tabuni (41).

Meski sulit menemukan benang merah keterkaitan kasus ini, tapi kita bisa membaca kecenderungannya. Salah satunya, Gregg J Rickman, Utusan Khusus Deplu AS ini mengaku, kunjungannya demi misi Yahudi sebagai agama bukan gerakan zionis. Jika atas nama agama kenapa yang datang bukan Rabi Yahudi? Apa urusannya Deplu AS dengan misi agama? Aneh? (Dwi H, Diyah K, Citra S)

(Sumber : Sabili.co.id)

23 Januari 2008

(bag.5) Tentara Bayaran AS & Proyeknya di Dunia Islam

Di negeri ini, tentara bayaran (mercenaries) memiliki catatan sejarah yang panjang. Walau minim publikasi, para mercenaries ini sebenarnya sudah bermain di Nusantara bersamaan waktunya dengan pendaratan pasukan kolonial VOC di abad ke-16.

Kala itu, Rothschild senior dari Bavaria—kini dikenal sebagai Jerman—telah memiliki bisnis tentara bayaran dan menyewakan banyak personil ke pihak negara-negara kolonial seperti Inggris dan Belanda.

Sekadar untuk diketahui, tentara bayaran modern merupakan salah satu warisan dari tradisi Knights Templar di abad ke-12, saat mereka masih menjadi ordo khusus militer di Yerusalem saat Perang Salib. Warisan ini kemudian diteruskan oleh para pemuka Yahudi dan salah satunya dikelola oleh Rothschild. Guna mendapatkan laba yang banyak, maka mereka menimbulkan konflik di mana-mana.

Dan sejak dulu hingga kini, di mana ada konflik maka bisnis tentara bayaran akan mendapat keuntungan besar. Jika tidak ada konflik, maka mereka akan sekuat tenaga menciptakannya. Hukum ini berlaku dari dulu hingga sekarang.

Pasukan yang menyertai dan mengawal maskapai pedagangan Hindia Belanda (VOC) kebanyakan merupakan tentara bayaran. VOC sendiri merupakan maskapai perdagangan internasional Yahudi pertama yang dimiliki para pengusaha Yahudi Belanda. Jadi, hal wajar bila maskapai perdagangan Yahudi menggunakan jasa bisnis tentara bayaran yang dikelola oleh tokoh Yahudi Internasional seperti halnya Rothschild.

Salah satu tentara bayaran legendaris dunia yang pernah dipakai penjajah kolonialis di Indonesia adalah tentara Gurkha dari Nepal. Inggris menggunakan tentara bayaran ini sampai sekarang dan senantiasa memasangkannya secara tandem dengan unit SAS, unit pasukan elit Inggris.

Selain Gurkha, Marsose yang merupakan pasukan khusus infanteri Belanda tatkala menghadapi Mujahidin Aceh juga bisa dianggap sebagai tentara bayaran. Personel pasukan Marsose banyak yang diambil dari tenaga-tenaga lokal dari suku Jawa dan dilatih oleh Belanda serta mendapat upah. Mereka bekerja dan loyal kepada Belanda karena mendapat upah.

Kasus Allan Pope

Riwayat tentara bayaran AS di Indonesia yang sempat terekam dalam sejarah bisa jadi hanya kita dapatkan dalam peristiwa ditembak jatuhnya sebuah pesawat Amerika yang dipiloti Allan Pope dalam peristiwa Pemberontakan Permesta. Agen CIA sekaligus tentara bayaran ini berhasil ditangkap hidup-hidup oleh tentara Republik.

Mengutip situs Angkasa online (September 1999), peristiwa ditangkapnya Allan Pope tak bisa lepas dari heroisme Kapten Udara Ign. Dewanto: “Apron Liang, 18 Mei 1958. Kapten Udara Ignatius Dewanto tengah bersiap di kokpit P-51 Mustang.

Pagi itu, dia ditugaskan menyerang pangkalan udara Aurev (Angkatan Udara Revolusioner, AU Permesta) di Sulawesi Utara. Roket-roket menggantung di sayap pesawat, seperti tak sabar menyiulkan nyanyian kematian. Saat itulah, hanya beberapa saat sebelum Dewanto take off menuju Manado, sebuah berita memaksanya membatalkan serangan ke Manado dan harus mengarahkan pesawat ke Ambon. Apa yang terjadi? Ambon dibom B-26 Invader Aurev! Aurev merupakan Angkatan Udara Revolusioner milik pemberontak Permesta.

Mesin segera dihidupkan. Empat bilah baling-baling memutar mesin Rolls-Royce Merlin berkekuatan 1. 590 tenaga kuda. Dewanto lepas landas dan seperti tidak sabar, memacu pesawatnya. Ketika di udara, Dewanto mendapatkan Ambon mengepulkan asap di mana-mana. Puing-puing berserakan, menandakan baru saja mendapat serangan udara. Berputar sejenak, B-26 tak kunjung terlihat. Pesawat kemudian diarahkannya ke barat. Ferry tank dilepas untuk menambah kelincahan pesawat.

Dewanto terbang rendah. Berbarengan saat pandangannya tertumbuk ke konvoi kapal ALRI, sekelebat dilihatnya sebuah pesawat. "B-26, " gumamnya. Celaka, pesawat buruannya ternyata tengah melaju ke arah konvoi kapal. Dewanto menambah kecepatan, mengejar. Dia beruntung, karena persis berada di belakang B-26. Walau sempat ragu karena posisi musuh tepat antara kapal dan dia, Dewanto langsung melontarkan roketnya. Satu, dua, tiga roket, semua luput. Tak satupun mengenai sasaran. Dalam waktu yang begitu cepat, disusulnya dengan rentetan senapan mesin 12, 7. Dewanto yakin, tembakannya menghantam sasaran.

Saat bersamaan, dari bawah KRI Sawega tak ketinggalan. Bofors, Oerlikon, 12, 7, water mantle 7. 62, menyalak berbarengan. Tak ketinggalan pasukan di geladak, menembakkan senjata yang kebetulan ada di tangan mereka. "Pesawat musuh kena, " teriak personil yang ada di atas kapal. Alhasil, B-26 yang diterbangkan seorang serdadu bayaran bernama Allen Lawrence Pope beserta juru radio Hary Rantung (desertir AURI), terbakar dan tercebur ke laut. Pope tertangkap dan diadili.

Tahun 1996, dalam peristiwa pembebasan Tim Ekspedisi Lorents 95 di Mapenduma, Kopassus juga dikabarkan dibantu sejumlah personil tentara bayaran dan unit SAS Inggris, dalam menghadapi OPM pimpinan Kelly Kwalik sehingga bisa membebaskan 11 orang sandera dan ‘hanya’ menelan korban 2 orang sandera.

Bosnia dan Palestina

Kabar tentang keterlibatan tentara bayaran juga berhembus dari bumi Bosnia Herzegovina dan Palestina. Di Bosnia, sejumlah PMC juga diberitakan mendapat proyek besar, antara lain Vinnel Corporation. Beberapa PMC diyakini juga ikut dalam proyek militer ini namun tidak dipaparkan secara jelas data-datanya.

Di Palestina juga demikian. Namun untuk di bumi para Nabi ini, proyek-proyek yang dikucurkan kepada PMC-PMC AS kebanyakan berupa pembangunan infrastruktur sipil mapun militer, seperti pembangunan tembok pembatas, rumah susun, pangkalan militer, penyediaan alat-alat berat, dan sebagainya. Di Palestina, PMC-PMC AS tidak secara langsung menerjunkan personil mercenariesnya.

Namun ada pula kabar yang belum bisa dikonfirmasi kepastiannya tapi diungkap oleh sejumlah orang yang pernah mengunjungi Palestina, bahwa tentara-tentara Zionis-Israel yang ada di Palestina itu, ada yang bukan warga setempat, melainkan sesungguhnya berasal dari kesatuan-kesatuan tentara reguler dari negara-negara Barat, yang setibanya di Palestina mengganti seragamnya dengan seragam Israeli Defence Force (IDF). Mereka juga dibayar sesuai dengan proyek-proyeknya. Hanya saja, yang belakangan ini sulit sekali untuk mencari data-datanya yang akurat.

Bisnis Tentara Bayaran yang menjadi salah satu unggulan PMC-PMC AS dan Barat, dan proyeknya di Dunia Islam, merupakan lahan yang sangat subur untuk menangguk keuntungan. Bisnis ini dipercaya banyak kalangan akan terus bertahan, dan bahkan bertambah subur di kemudian hari. Wallahu’alam bishawab.
(Rizki Ridyasmara, Eramuslim.com)

(bag.4) Tentara Bayaran AS & Proyeknya di Dunia Islam

Jauh hari sebelum peristiwa WTC 911 terjadi, industri militer swasta Amerika Serikat sesungguhnya telah malang-melintang di negara-negara Islam seperti Saudi Arabia, Bosnia-Herzegovina, Palestina, Kuwait, bahkan juga di Indonesia.

Di wilayah Arab yang kaya raya, PMC-PMC ini mendapat keuntungan ganda: selain memperoleh nilai kontrak yang sangat besar karena para pemimpin Arab kebanyakan korup dan sangat mudah diperdaya, maka PMC-PMC ini juga sering menjadi perpanjangan tangan dunia intelijen Barat guna memotret kekayaan alamnya yang tersimpan jauh di perut bumi.

Selain di wilayah Arab, tentara bayaran juga memiliki proyek-proyek besar—namun jarang dipublikasikan—di benua hitam Afrika. Negeri-negeri seperti Angola, Mozambique, Sierra Leone, Nigeria, Zambia, Afrika Selatan, dan sebagainya, negara-negara itu menjadi ‘santapan’ yang lezat bagi mereka. Walau negara-negara Afrika dianggap sebagai negara miskin, namun di dataran yang gersang dan panas ini, di bawah perut buminya terdapat banyak sekali kekayaan seperti batu mulia dan intan berlian.

Jika di wilayah Arab mereka memperebutkan minyak dan gas bumi, maka di benua hitam Afrika, mereka berlomba-lomba mengisi pundi-pundinya dengan menangguk batu-batu permata yang sangat tinggi nilainya walau di pasaran gelap sekali pun.

Keberadaan tentara bayaran dengan perusahaan kontraktornya masing-masing memang telah menjadi fenomena dunia, namun jarang sekali diangkat ke permukaan. Menurut Jane’s Defenses Review International, Privat Military Company (PMC) sampai tahun 2004 saja diketahui telah bekerja di 40 negara dan ikut ambil bagian dalam sekurangnya 700 konflik dan peperangan di dunia. Terbanyak ada di Dunia Islam dan Afrika.

Bisnis tentara bayaran ternyata tidak hanya yang terkait dengan senjata dan mesiu. Di Balkan, bahkan ada tentara bayaran yang terjun ke dalam bisnis perdagangan wanita. Mereka mencari gadis-gadis kampung, bahkan tak jarang menculiknya, lalu menerbangkannya ke berbagai negara untuk dijadikan komoditas kemaksiatan.

Tentara Bayaran di Saudi Arabia

Bukan suatu hal yang aneh jika Kerajaan Saudi Arabia dekat dengan Barat. Awal berdirinya kerajaan Saudi saja sudah dibantu oleh seorang perwira Yahudi-Inggris bernama Lawrence (Lawrence of Arabia). Ketika itu Klan Ibnu Saud melakukan pemberontakan (bughot) terhadap Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan mendirikan sistem kerajaan di wilayahnya, suatu sistem yang tidak disunnahkan oleh Rasul SAW.

Pembangunan sistem militer di Kerajaan Saudi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh tentara bayaran Barat (baca: Yahudi). Di tahun 1975, Saudi mengandeng Vinnel Corporation untuk pelatihan sekira 75. 000 personel Saudi Arabian National Guard (SANG), sebuah unit militer Saudi yang berasal dari pejuang suku Badui, Barat juga berperan hal penjagaan ladang-ladang minyak di Arab Saudi. Nilai kontraknya mencapai 77 juta dollar AS.

Belakangan diketahui, Pentagon punya andil besar dalam tender Vinnel di Saudi. Selain kontrak pelatihan di atas, di akhir tahun 1970-an, secara rahasia BAE System diminta oleh Saudi Arabia untuk memasok logistik militer dengan nilai kontrak sebesar 40 miliar dollar poundsterling. Amerika Serikat sendiri mendapat jatah memasok pesawat tempur, heli serbu, dan rudal yang nilainya juga mencapai miliaran dollar.

Tentu hal ini belum cukup, segala logistik tempur tersebut memerlukan ribuan personil untuk merakit, memelihara, dan memberi maintenance kepada personil lokal, maka Saudi juga mendatangkan sekira 50 ribu tenaga asing dengan komposisi 22. 000 dari Inggris dan sisanya, 30. 000 dari AS. Sebagian besar dari mereka adalah mercenaries, atau tentara bayaran.

Lagi-lagi, salah satu PMC Amerika yang mendapat proyek besar di Saudi tersebut adalah Vinnel yang dimiliki Northrop. US News melaporkan, untuk proyek pelatihan dan pembangunan fasilitas militer di Saudi saja, Vinnel mendapat konrak senilai 800 juta dollar AS. Itu di luar jutaan dollar lainnya yang dikucurkan Saudi untuk melengkapi peralatan tentaranya.

Kerajaan Saudi Arabia sangat mempercayai Vinnel. Tidak hanya dalam hardware, Saudi juga menunjuk Vinnel untuk menyusun sofware sistem kemiliterannya, meliputi penyusunan doktrin bagi lima akademi militer Saudi, tujuh lapangan tembak, membenahi sistem kesehatan militer, dan juga melengkapi empat brigade mekanis dan lima brigade infanteri.

Tahun 1980, Vinnel lagi-lagi ditunjuk pihak kerajaan Saudi untuk memodernisir angkatan perangnya. Kali ini Royal Saudi Air Force (RSAF) yang meminta Vinnel untuk menyediakan sistem analis hingga logistik dan peralatan radar dan aeronautikal lainnya.

Tak lama kemudian, PMC yang dimiliki sebuah konsorsium pejabat Gedung Putih dan Pentagon seperti James A. Baker dan Frank Carlucci ini juga ditunjuk oleh Royal Saudi Land Forces (RSLF) untuk pengadaan, pelatihan, dan maintenance tank sejenis Bradley Fighting Vehicle.

Sikap politik klan Ibnu Saud yang amat lengket dengan Barat ini mengundang ketidak-puasan bagi sebagian rakyatnya yang melek politik. Di tahun 2000-an, sebuah gedung tempat petinggi Vinnel bekerja di Saudi Arabia ditabrak sebuah bom mobil hingga hancur berkeping-keping. Lalu pada 12 Mei 203, beberapa pejuang Arab menerobos memasuki tiga buah wisma tempat tentara bayaran tersebut dan meledakkan beberapa buah bom. Korban yang jatuh di kedua belah pihak tidak dicatat. Hanya saja, pemerintah Saudi menahan 20 pejuang yang dikatakan sebagai bagian dari Al-Qaidah.

Keberadaan Vinnel di Saudi juga mencuat tatkala Saddam Hussein mengirimkan amada tanknya ke Kuwait dan nyaris mengancam ladang-ladang minyak di wilayah Saudi. SANG yang dilatih Vinnel Corporation berhasil menghalau pasukan Saddam dan bebaslah ladang-ladang minyak Saudi dari terkaman Irak, walau pada hakikatnya ladang-ladang minyak tersebut sudah lama dikuasai AS.

Yang tidak disadari banyak pemimpin Saudi Arabia, dan juga pemimpin-pemimpin negeri lainnya yang sangat tergantug pada PMC AS, Vinnel sesungguhnya—seperti banyak PMC AS lainnya—tidak semata-mata bekerja untuk melayani orderan yang tertera hitam di atas putih, melainkan juga memasukkan program-programnya sendiri, antara lain dan ini yang paling sering adalah mencoba alat-alat atau pun senjata baru. Jika hasilnya memuaskan maka senjata-senjata baru itu pun akan mulai diproduksi massal, tapi sebaliknya, jika dinilai kurang memuaskan maka akan disempurnakan. Tak peduli bahwa uji coba itu, tak jarang sudah terlanjur menimbulkan korban. Inilah yang kadang tida terpikirkan.

Kedekatan Kerajaan Saudi Arabia dengan Amerika Serikat (Yahudi) sesungguhnya sangat tidak masuk akal, karena tokoh-tokoh Arab tersebut pasti telah mengetahui bahwa Allah SWT telah dengan tegas melarang umat-Nya untuk menjadikan musuh-musuh Allah SWT sebagai penolong:

“Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani (Kristen) sebagai penolong, karena sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. ” (QS. Al-Maidah: 51).

Melihat kenyataan di atas, sudah jelas bagi kita, pemimpin-pemimpin Arab ini sesungguhnya pengikut Abu Jahal, bukannya pengikut Muhamad SAW.

Lebih jauh tentang kedekatan Saudi Sarabia dengan AS, dipaparkan dalam buku “Wa’du Kissinger” (DR. Safar Al-Hawali, Mantan Dekan Fakultas Akidah Univesitas Ummul Qura Makkah), yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Belitan Amerika di Tanah Suci, Membongkar Stategi AS Menguasai Timur Tengah” (Jazera, 2005).

Dalam bagian ke lima tulisan ini, akan diulas keberadaan tentara bayaran di Indonesia, Bosnia Herzegovina, dan juga Palestina.
(Rizki Ridyasmara, Eramuslim.com)

22 Januari 2008

(bag.3) Tentara Bayaran AS & Proyeknya di Dunia Islam

Salah satu Privat Military Company (PMC) Amerika yang terkenal adalah Halliburton, di mana Wakil Presiden Dick Cheney, penggagas doktrin Pax Americana, tercatat pernah menjabat sebagai CEO-nya. Menurut Jane’s Defense International Review, Halliburton merupakan PMC kelas dunia yang paling kaya dan dimanjakan pemerintah AS.

Dalam ‘proyek pembangunan kembali Irak’, Halliburton mendapat kucuran dana sebanyak delapan miliar dollar AS dari Gedung Putih. Jelas, penunjukkan langsung Halliburton ini tidak lepas dari peran seorang Dick Cheney.

Dick Cheney sendiri menjadi CEO Halliburton selepas jabatannya sebagai Menteri Pertahanan AS (1989-1993), dengan David Gribbin, Deputinya ketika masih di Pentagon. Keduanya juga diduga kuat berada di balik mega proyek di Balkan senilai 2, 2 miliar dollar AS kepada Kellog Brown & Root, anak perusahaan Halliburton. Kontrak-kontrak yang diterima Halliburton ini tergolong besar karena umumnya nilai kontrak yang diterima PMC-PMC berkisar ‘hanya’ jutaan dollar.

Halliburton pada awalnya bukanlah PMC, melainkan perusahaan jasa pengolahan minyak dan gas bumi yang telah berdiri sejak 1919. Kiprahnya di bisnis kontraktor militer mencuat setelah AS melakukan invasi pertamanya ke Irak (Desert Storm) sekitar tahun 1992. Pentagon menunjuk Halliburton sebagai pihak yang dianggap layak untuk menyiapkan program dukungan bagi keberadaan militer AS di Irak. Proyek pertama hanya berupa penyiapan konsep, bukan dalam bentuk nyata, tapi walau demikian nilai kontraknya sudah sebesar sembilan juta dollar AS.

Usai Perang Dingin yang diawali dengan runtuhnya Uni Soviet, Gedung Putih memangkas jumlah tentaranya dari yang semula 1, 5 juta menjadi hanya setengahnya. Ini merupakan hal yang sangat riskan. Agar hal ini tidak menimbulkan ancaman bagi stabilitas dalam negeri, Gedung Putih menunjuk Halliburton agar membentuk wadah bagi mantan tentara reguler AS yang terkena resionalisasi berupa PMC. Tugas dari pemerintah AS ini dilakukan dengan sangat baik. Sejak itulah Halliburton menjadi rujukan pertama Gedung Putih dalam bidang kontraktor militer.

Walau demikian, bidang usaha PMC yang dilakukan Halliburton sebenarnya bukan hanya dilakukan pasca Perang Dingin saja. Antara tahun 1962 hingga 1972, Halliburton ditunjuk oleh pemerintah AS menangani proyek pembuatan jalan, lapangan terbang, dan pangkalan militer di Vietnam Selatan, dari daerah demiliterisasi hingga ke Delta Sungai Mekong. Nilai kontraknya 10 juta dollar, tergolong besar untuk saat itu. Selain di Vietnam, Haliburton juga mendapat proyek membangun pangkalan militer AS di Deigo Garcia, yang terletak di Samudera Hindia.

Halliburton dan Irak

Seberapa besar keuntungan yang diraih Halliburton dalam proyek ‘pembangunan kembali’ Irak? Menurut Jane’s Defense International Review, Halliburton hanyalah satu dari banyak PMC yang disewa pemerintahan Bush di Irak. Selain Halliburton terdapat Blackwater Security Consulting, Vinnel, Dyncorp, dan sebagainya. Bahkan Dyncorp mendapat total nilai kontrak di Irak sebesar 226, 865 miliar dollar. Hanya saja, Halliburton memang dipercaya sebagai PMC yang paling besar memperoleh keuntungan dari Irak dari banyak segi.

Menurut sumber yang sama, dalam proyek Irak, Haliburton menerjunkan personil sebanyak 24. 000 orang atau tiga perempat dari total jumlah pekerja asing yang ada di Irak. Rata-rata para pekerja Halliburton memperoleh penghasilan sebanyak 100. 000 dollar setahun. Tentu saja, jumlah personel dan jumlah nilai kontrak yang sebenarnya bisa jadi jauh di atas data yang tersedia. Bahkan menurut Jane’s Report, total nilai kontrak Halliburton di Irak dalam setahun mencapai 12, 5 miliar dollar AS.

Blackwater Security Consulting

Jika Halliburton dikenal sebagai PMC termakmur dan paling dekat dengan Gedung Putih, sebenarnya ada satu lagi PMC besar yang juga dekat dengan pemerintahan Bush, bahkan dikenal sebagai PMC yang paling modern, yakni Blackwater Security Consulting.

Muray Horton di dalam bukunya “The Privatisation of War” (2004) menyebut Blackwater sebagai PMC dunia yang paling mutakhir di dalam kelengkapan dan sarananya. Horton memaparkan, “Blackwater merupakan satu-satunya PMC yang memiliki fasilitas paling lengkap, luas, modern, dan mutakhir. Bahkan tentara reguler AS sendiri sering berlatih di fasilitasnya Blackwater yang memiliki luas total 2. 400 hektar are dan diperlengkapi dengan miniatur kota sebagai tempat berlatih perang kota. ”

Blackwater yang didirikan pada tahun 1996 oleh seorang mantan Navy Seal AS memang bukan PMC sembarangan. Dalam merekrut anggotanya, selain mantan tentara reguler AS, Blackwater juga banyak merekrut mantan personil pasukan elit dari banyak negara.

Hingga tahun 2006, menurut data resmi yang dikeluarkan, Blackwater telah menghasilkan 50. 000 personil dengan kualifikasi tentara profesional. Di banding PMC lain yang masih malu-malu mengakui sebagai ‘sarang tentara bayaran’, Blackwater secara terang-terangan berani memperlihatkan hal itu.

Kasus serangan di Falujah Irak akhir Maret 2004 mencuatkan nama Blackwater di Irak. Namun sayang, tidak ada data yang bisa diperoleh tentang berapa nilai kontrak yang disandang PMC ini di Irak maupun Afghanistan.

Afghanistan

Selain Irak, Amerika Serikat sesungguhnya juga punya proyek besar di Afghanistan. Selain proyek ‘pembangunan kembali’ Afghanistan setelah luluh-lantak dihancurkan oleh Amerika, proyek pengamanan terhadap aset Amerika di Bumi Para Mullah ini juga tergolong penting. Salah satu aset AS adalah Hamid Karzai, bonekanya di Afghan.

Guna melindungi Hamid Karzai dari incaran pejuang Thaliban, AS mengerahkan ratusan pasukan koalisi dan juga menyewa jasa tentara bayaran dari Dyncorp. Jumlah personil Dyncorp yang ditugaskan melakukan pengawalan terhadap Karzai konon sampai 300 personil.

Namun belakangan, cara-cara pengamanan terhadap Karzai ala AS ini mendapat protes dari kalangan pemerintahan Afghan sendiri. Rakyat Afghan pun memprotes hal yang sama. Puncak kegeraman rakyat Afghan terhadap tentara bayaran AS adalah ketika markas Dyncorp yang berada di Kabul diledakkan oleh pihak yang tidak diketahui pada Agustus 2004. Peledakan itu menewaskan 14 personil Dyncorp.

Setelah peristiwa itu, Karzai akhirnya mengganti tim pengawalnya. Para pejuang Afghanistan anti Thaliban dengan senapan favoritnya, AK-47, mulai terlihat mengawal Karzai. Tetapi lagi-lagi keterlibatan Dyncorp tidak bisa dipisahkan dar Karzai. Para pejuang Afgan anti Thaliban yang direkrut melakukan pengawalan terhadap Karzai ternyata telah mendapat pelatihan tempur dari Dyncorp.

Sampai dengan akhir 2005, Karzai diberitakan mendapat pengawalan dari sekira 600 pejuang Afghan terlatih, dan dari jumlah itu sekira 25 orang terdiri dari perempuan Afghan sendiri. Setelah melatih pasukan lokal Afghan, personil Dyncorp dikabarkan banyak yang menganggur dan mereka banyak yang kemudian hengkang dari Afghan untuk pindah ke daerah konflik lainnya, walau sebagian dari mereka tetap di Afghan sebagai instruktur tim pengawal Hamid Karzai.

Di Irak, Dyncorp mendapat jatah proyek melatih polisi Irak pasca Saddam. Total nilai proyek untuk pelatihan ini saja mencapai 2 miliar dollar.

Selain di Irak dan Afghanistan, PMC-PMC Amerika juga telah bertebaran di Bosnia-Herzegovina, Palestina, Arab Saudi, Kuwait, bahkan di Indonesia mereka juga beroperasi. Tulisan selanjutnya akan mengupas peran mereka di negara-negara Islam tersebut. (Rizki Ridyasmara, Eramuslim.com)

(bag.2) Tentara Bayaran AS & Proyeknya di Dunia Islam

Bisnis kontraktor militer yang dimiliki sejumlah tokoh penting pemerintahan AS, antara lain meliputi aktivitas penyediaan tentara bayaran (Mercenaries), pelatihan tempur bagi tentara reguler suatu negara, penyediaan logistik militer dari yang sederhana seperti peluru aneka kaliber hingga pesawat jet tempur, misi pengawalan, dan sebagainya.

Setelah peristiwa penyergapan di Falujah akhir Maret 2004 yang menewaskan empat personel Mercenaries dari Blackwater Security Consulting, eksistensi tentara bayaran di daerah konflik menjadi kian terbuka.

Pemerintahan Gedung Putih tidak bisa lagi mengelak tudingan bahwa mereka telah mempergunakan banyak jasa kontraktor militer (Privat Military Company, PMC) di dalam berbagai invasi ke banyak negara semisal Afghanistan dan Irak. Bahkan menurut sejumlah pengamat, sikap agresif politik luar negeri AS di masa George Walker Bush tidak bisa lepas dari kepentingan para pialang industri militer seperti Wapres Dick Cheney maupun Bush sendiri. Para pialang industri militer ini jelas akan mengeruk keuntungan yang dahsyat jika perang berkobar di mana-mana.

Jauh sebelum terjadinya peristiwa WTC di tahun 2001, para pialang indusri militer AS yang juga merupakan tokoh-tokoh puncak di Gedung Putih serta Pentagon, telah merancang strategi penguasaan dunia melalui penggunaan mesin perang di mana pada akhirnya Amerika Serikat akan muncul menjadi satu-satunya adi daya dunia tanpa satu pun kekuatan dunia yang sanggup menandinginya.

Strategi ini tidak semata-mata berangkat dari perhitungan bisnis semata, melainkan berkolaborasi dengan keyakinan Kristen Zionis yang mulai tumbuh di Amerika pada era 1970-an. Menurut keyakinan Kristen Zionis AS, Maranatha atau turunnya kembali Yesus Kristus (Messiah) hanya akan terjadi jika bangsa Yahudi telah diselamatkan di Yerusalem dan Haikal Sulaiman telah berdiri kembali. Kelompok ini sangat yakin bahwa Messiah akan memimpin mereka memerangi dan menghabisi umat Islam hingga Yerusalem bisa sepenuhnya dikuasai mereka di hari akhir.

Berangkat dari keyakinan inilah, para pialang industri militer AS yang juga sebagian besar dari mereka duduk di posisi puncak Gedung Putih dan Pentagon, mengatur strategi agar Yerusalem bisa sepenuhnya dikuasai dan melumpuhkan kekuatan kaum Muslimin dunia.

Penolakan Amerika terhadap Perjanjian Rudal Balistik 1972, penolakan ratifikasi Protokol Kyoto tentang lingkungan, serta penolakan-penolakan AS terhadap berbagai perjanjian internasional sesungguhnya menjadi indikasi bahwa AS sedang berjalan sendiri dengan agendanya. AS tidak mau terikat dengan semua itu, karena AS telah begitu yakin dengan kekuatan sendiri, dia mampu untuk mengendalikan dan menundukan dunia.

Peristiwa WTC, 11 September 2001 merupakan pintu gerbang bagi pialang industri militer AS menangguk untung besar-besaran. Namun sebelum melihat peristiwa yang terjadi sekarang, agar memiliki pemahaman yang lengkap mengenai bisnis tentara bayaran dengan PMC-nya di Amerika, maka ada baiknya kita tengok dulu latar belakangnya

Iran Contra

Mega skandal Iran Contra yang melibatkan sejumlah pejabat top di Gedung Putih di era 1980-an, termasuk Presiden Ronald Reagan, bisa jadi merupakan pelajaran sangat berharga bagi rezim Geung Putih. Kasus Iran Contra merupakan sebuah kasus penjualan senjata yang dilakukan pemerintah AS ke Iran yang sebagian keuntungannya dialirkan ke kantong Gerilyawan Contra di Nicaragua.

Hal ini berawal dari peristiwa penyanderaan 52 warga AS yang berlangsung sejak 1 November 1979 di Gedung Kedutaan Besar AS di Teheran, Iran. Pemimpin Iran yang baru saja naik tahta, Ayatollah Khomeini, berada di belakang penyanderaan tersebut.

Saat itu, Presiden AS Jimmy Carter yang tengah berkampanye untuk memenangkan pemilu keduanya, memerintahkan agar diadakan sebuah operasi pembebasan bagi penyanderaan tersebut. Namun operasi pembebasan yang bersandi Eagle Claw yang dilancarkan pada bulan April 1980 gagal total sebelum sampai di Teheran. Helikopter tempur yang penuh berisi pasukan elit Delta Force mengalami kecelakaan di wilayah gurun sebelah timur Iran. Delapan serdadu pasukan elit itu tewas. Jelas, popularitas Jimmy Carter jatuh di mata rakyat AS.

Diam-diam, pesaing utamanya dalam pemilu presiden AS, Ronald Reagan, setelah melihat kegagalan Carter, berinisiatif untuk membentuk satu tim khusus yang akan membebaskan warga AS tersebut secara rahasia. Operasi rahasia ini bukan operasi tempur, melainkan sebuah lobi tingkat tinggi.

Reagan mengontak Iran dan mengatakan bahwa AS akan melakukan barter, jika ke-52 warganya dibebaskan maka AS akan memberi Iran sejumlah senjata antitank untuk menghadapi Irak dan uang tunai sebesar 40 juta dollar AS. Tergiur oleh tawaran serius yang diajukan utusan Reagan, Iran pun melepaskan sandera tersebut.

Simpati rakyat AS beralih penuh kepada Reagan dan memenangi pemilu presiden mengalahkan Carter. Tepat di hari pelantikan Reagan, 20 Januari 1981, ke-52 warga AS yang disandera Iran tiba di AS dengan selamat. Reagan telah menjadi pahlawan bagi rakyat Amerika.

Namun orang-orang yang tidak menyukai Reagan, termasuk Tim Sukses Jimmy Carter, pada akhirnya mencium aroma tak sedap di balik kesuksesan Reagan membebaskan ke-52 sandera tersebut. Secara intensif mereka menggelar pengusutan rahasia yang akhirnya menggelinding bagai bola liar yang menyeret sejumlah petinggi Gedung Putih ke pengadilan.

Salah satu kabar yang berhembus kencang adalah, George H. Bush dan William Casey selaku Manager Tim Sukses Reagan menemui PM Iran Bani Sadr di Paris soal negosiasi senjata gelap. Richard Brenneke, anggota tim sukses Reagan yang juga mantan agen CIA, membantah kabar itu di pengadilan, walau sebenarnya kejadian itu benar-benar terjadi. Setelah melewati banyak sekali tahap pemeriksaan dengan ratusan saksi, pengadilan AS akhirnya berhasil menyingkap skandal itu dan 176 tokoh politik utama di AS dianggap terlibat.

Kasus itu ditutup semasa Presiden Bill Clinton. Dengan alasan nasionalisme, maka ke-176 orang tersebut lalu dibebaskan. Walau demikian, menurut kelaziman hukum yang ada harus tetap ada yang masuk penjara, maka Letkol Oliver North pun dikorbankan dengan dakwaan menjual senjata secara gelap ke Iran dan menyalurkan dana hasil penjualan senjata itu ke Gerilyawan Contra di Nicaragua.

Pemerintah AS belajar banyak dari skandal Iran Contra tersebut. Sejak itu, timbul pemikiran bahwa terlalu beresiko jika pemerintah terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan beresiko tinggi seperti yang telah terjadi dalam Iran Contra. Menggunakan badan intelijen resmi pun resikonya sama. Sebab itu, dibutuhkan pihak ketiga yang bisa menjadi perpanjangan tangan pemerintah tetapi secara institusi terpisah dari pemerintahan.

Maka dari pemikiran itulah kemudian timbul gagasan untuk membentuk Private Military Company (PMC) yang dikelola oleh para mantan pejabat militer dan anggotanya juga mantan tentara. Dengan adanya PMC, pemerintah atau pihak-pihak yang berkepentingan tinggal mengorder sesuatu, seringkali inipun dilakukan oleh ‘tangan lain’, dan membayarnya, setelah itu tinggal menunggu laporan bahwa misi sudah selesai dari PMC yang ditugaskan.

Amerika sendiri diketahui banyak sekali memakai jasa PMC dalam proyek-proyek pengamanan, utamanya di wilayah luar Amerika seperti Irak, Afghanistan, dan sebagainya. Rezim George Walker Bush dianggap sebagai rezim yang paling banyak memakai PMC dan berperan besar dalam perkembangan bisnis pewaris Templar ini. Wakil Presiden Dick Cheney, salah satu penggagas utama Doktrin Pax Americana (The New World Order dalam nama lain) dan ‘Dewa Perang Gedung Putih’, merupakan mantan CEO Halliburton, sebuah PMC yang paling makmur dan paling besar di AS, bahkan dunia.

Selain itu, berakhirnya perang dingin di era 1980-an yang disebabkan runtuhnya imperium blok timur dengan pecahnya Uni Sovyet menjadi negara-negara kecil dan juga diikuti oleh negara-negara blok komunis di Eropa Timur, dengan sendirinya hal ini menyebabkan ratusan ribu tentara Amerika yang ditempatkan di pos-pos luar negeri di negara-negara anggota NATO menjadi menganggur alias tidak punya pekerjaan. Keadaannya serupa saat Ksatria Templar kembali ke Eropa setelah terusir kalah dari pasukan umat Islam di bawah pimpinan Salahuddin al-Ayyubi.

Akibat berakhirnya perang dingin, jumlah tentara AS yang tadinya sekira 1, 5 juta personil akhirnya harus dipangkas setengahnya. Pemerintah AS menganggap wadah PMC adalah wadah yang tepat untuk menampung 750-an ribu tentara regular yang diberhentikan. Di PMC-PMC yang menampung mereka, para mantan tentara ini mendapatkan gaji dan fasilitas yang kurang lebih sama seperti ketika masih bertugas di dinas ketentaraan resmi, bahkan banyak dari mereka yang menerima lebih baik.

Sebab itu, PMC-PMC di Amerika setelah berakhirnya era perang dingin bertumbuhan bagaikan jamur di musim hujan. Dan yang banyak ini tentu memerlukan proyek agar bisnisnya bisa berjalan. (Rizki Ridyasmara, Eramuslim.com)

(bag.1) Tentara Bayaran AS & Proyeknya di Dunia Islam

Marine Basecamp yang terletak di Timur Fallujah, Irak, pagi itu tampak tidak ada kesibukan yang berarti. Tanggalan di kalender menunjuk angka 31 Maret 2004. Wesley Batalona, mantan pasukan elit Army Ranger AS berpangkat sersan yang kini bekerja pada Blackwater Security Consulting, sebuah perusahaan penyedia perangkat militer dan juga tentara bayaran, tengah mempersiapkan diri melakukan misi pengawalan. Bersama tiga rekannya—Scott Helvenston, Jerry Zovko, dan Michael Teague—mereka mendapat tugas untuk mendampingi konvoi truk yang akan mengambil peralatan dapur di Markas Komando 82nd Airborne di Falujjah.

Wajah Batalona terlihat sedikit tegang. Tugas di pagi ini terkesan begitu mendadak dan tidak mengindahkan standar prosedur operasional yang berlaku. Sebagai mantan pasukan khusus, Batalona mengerti betul bahwa standarisasi keamanan tidak bisa diabaikan. Walau kelihatan sepele namun kesalahan sedikit saja bisa berakibat fatal.

Di front pertempuran seperti di Irak ini, siapa pun tidak bisa menduga kapan akan terjadi penyerangan, kapan bom atau ranjau akan meledak, kapan rudal akan mampir dan mengkoyak tubuh. Satu-satunya ikhtiar yang bisa dilakukan adalah memenuhi peraturan dan standar operasi yang ada. Itu pun kerap tidak cukup. Nyawa tetap terancam setiap waktu, setiap detik.

Dalam Standard Operating Procedure (SOP) banyak kontraktor militer termasuk Blackwater, dalam misi pengawalan kendaraan apa pun yang akan melintasi daerah merah satu atau daerah yang dinilai sangat berbahaya karena rawan bentrokkan senjata atau belum dikuasai sepenuhnya seperti Fallujah City, maka satu kendaraan SUV pengawal seperti Humvee, Land Rover Defender, Perentie, atau pun Flyer LSV yang dilengkapi dengan senapan mesin berat di dek belakang harus diisi minimal tiga orang, yang terdiri dari pengemudi, pendamping pengemudi yang duduk di samping depan sebagai pengawas keadaan sekitar dan dilengkapi dengan senjata serbu sejenis Colt M4A1 Carbin-Grenade Launcher atau bisa juga senapan mesin ringan SAW (Squad Automatic Weapon) sejenis Minimi, dan satu awak lagi sebagai penembak pendukung—rear gunner—yang berdiri di belakang mengawaki senapan mesin berat yang terpasang di dek seperti M2HB kaliber 12, 7 mm yang memiliki jarak tembak efektif antara 2. 000 hingga 3. 000 meter dengan magasin rantai tak terbatas.

Namun dalam misi di pagi hari akhir Maret 2004 itu, satu SUV hanya diawaki dua personel: supir dan pendamping, tanpa penembak pendukung di belakang. Entah mengapa hal ini bisa terjadi. Persiapan yang dilakukan pun terkesan terburu-buru.

Batalona tidak bisa mengajukan komplain tentang hal ini karena komandan base-camp masih ada di dalam tenda pribadinya. Biasanya ia tidak mau diganggu sepagi ini. Batalona akhirnya hanya bisa memendam sendiri ketidakpuasannya. "Nanti jika misi selesai, aku akan mengajukan komplain, " gerutunya.

Konvoi telah berjalan beriringan meninggalkan base camp Marinir AS di timur Fallujah menuju pusat kota. Sejak awal bergabung dengan Blackwater, Batalona telah sadar, pekerjaan ini memang mengandung resiko tinggi, bahkan taruhannya nyawa. Tapi upah yang diterima pun sangat menggiurkan ketimbang tetap berada dalam kesatuan Army Ranger.

Lewat kacamata Oakley hitamnya, Batalona berusaha tetap tenang mengawasi keadaan sekitar. Hari telah terang. Pandangannya jauh ke depan, merambah gurun pasir di kiri kanan jalan yang berserak dengan puing-puing rumah, gedung, dan bangkai kendaraan di sisi jalan. Jari telunjuknya tidak lepas dari picu senjata serbunya. Batalona tidak mau sedikit pun kecolongan. Instingnya mengatakan bahwa perjalanan pengawalan ini tidak bisa dianggap enteng. Fallujah merupakan daerah sangat berbahaya. Sering sekali kendaraan tempur tentara Amerika hancur tiba-tiba saat melaju di jalan raya ini terkena ledakan ranjau atau terkaman RPG yang diluncurkan dari tempat tersembunyi oleh para gerilyawan Irak.

Konvoi berjalan dengan kecepatan sedang. Menurut informasi intelijen, rute yang akan dilalui menuju pusat kota Fallujah pagi ini sudah aman. Bisa jadi, sebab itu konvoi berjalan lurus menuju pusat kota, tidak mengambil rute alternatif belok ke utara yang hanya berjarak tidak lebih dari dua kilometer dari garis perbatasan kota dan dinilai sangat aman karena terdapat sejumlah pos penjagaan tentara Amerika di pinggir jalan.

Selepas bergerak ke kiri dari jalan raya pusat kota menghindari persimpangan utama, tidak sampai dua menit kemudian, keheningan di pagi hari itu dikejutkan dengan suara ledakan amat keras yang menghantam salah satu truk yang berada di deretan ketiga. Truk besar dengan boks tertutup itu segera hancur menjadi rongsokan besi yang berkobaran.

Tak sampai satu tarikan nafas, ledakan itu kemudian disusul dengan bunyi rentetan tembakan dari berbagai arah dan ledakan granat di sana-sini. Suasana di pagi hari itu mirip dengan pesta mercon berskala besar. Entah dari mana datangnya, Batalona melihat banyak gerilyawan Irak sudah mengepung mereka. Dengan berbagai varian senapan serbu seperti AK-47 dan M-16, para gerilyawan yang menutupi kepala mereka dengan kafiyeh hitam dan putih itu terus merangsek maju menembaki apa saja yang dilihatnya bergerak. Berkali-kali mereka berteriak “Allahu Akbar”.

Secepat kilat Batalona melompat dari kendaraan dan berguling mencari perlindungan di samping roda. Sambil tiarap, lelaki yang telah berumur dan berambut putih itu menembakkan senjatanya. Colt M4A1 Carbine menyemburkan peluru berkaliber 5, 56 standar NATO secara terarah. Asap dan debu menghalangi pandangannya. Oakley hitamnya entah jatuh di mana.

Batalona kaget bukan kepalang ketika melihat beberapa di antara para penyerangnya memanggul RPG dan mengarahkan senjata dahsyat itu ke arah mobilnya. Secara refleks Batalona berguling menjauh di antara desingan peluru dan debu, sembari tetap menembak. Benar saja, semburat api terlihat dari salah satu moncong RPG yang dipanggul gerilyawan Irak dan langsung menghantam Humvee yang ditumpanginya. Ledakan keras terdengar menggelegar, memecahkan gendang telinga tentara bayaran itu yang tiarap tidak jauh dari ledakan. Kobaran api dan asap hitam membubung tinggi dari kendaraan mereka.

Batalona sekuat tenaga tetap bertahan. Dua magasin peluru kaliber 5, 56 telah dihabiskan berikut satu granat dari bawah laras Colt M4A1-nya. Namun apa daya, para penyerangnya lebih menguasai medan. Dengan gesit mereka berlarian sambil tetap menembak dan melempar granat. Ini membuat para pengawal yang sebenarnya sudah berpengalaman di berbagai medan pertempuran panik. Keadaan di lapangan ternyata berbeda sekali dengan apa yang selama ini digambarkan dalam berbagai film produksi Hollywood yang menyampaikan pesan bahwa tentara Amerika itu gagah berani dalam medan perang.

Penyergapan tidak berlangsung lama. Sejumlah kendaraan berhasil dibakar dan dihancurkan para gerilyawan. Mayat para pengawal dan lainnya bergelimpangan tak keruan. Tubuh mereka tak utuh lagi dan hangus terbakar.

Yang lebih menyeramkan, tak berapa lama usai penyergapan, di atas palang jembatan baja Sungai Euphrat, dua mayat tentara bayaran Amerika Serikat itu ditemukan tergantung terbalik dengan kepala menghadap ke bawah. Warga Fallujah bergerombol menyaksikan pemandangan tersebut. Beberapa anak kecil tampak mengacungkan dua jari tangannya membentuk huruf V, Victory, sembari tertawa riang. Para wartawan teve dari berbagai negara pun sudah mengabadikan peristiwa itu dengan kameranya masing-masing.

“Dalam penyergapan yang dilakukan para pemberontak Irak di pagi hari di pusat kota Fallujah, 31 Maret 2004, sedikitnya diketahui, empat personel tentara bayaran, para pengawal dari Blackwater Security Consulting—Scott Helvenston, Wesley Batalona, Jerry Zovko, dan Michael Teague—ditemukan tewas. Mereka mati dengan tubuh hangus terpanggang dan terpotong. Dua di antaranya digantung terbalik di atas jembatan Sungai Euphrat, ” ujar penyiar CNN yang menayangkan kejadian tersebut on-location dari jembatan Sungai Euphrat, Fallujah, Irak.

Kejadian itu kontan menggemparkan dunia dan warga Amerika khususnya. Para personel Blackwater yang banyak terdiri dari anggota pasukan elit dari berbagai negara yang kini bertugas di Irak bersumpah akan menuntut balas kematian rekan-rekan mereka dengan cara yang amat menghinakan.

Empat hari kemudian, serangan besar terjadi di kota Fallujah dan menewaskan banyak penduduk sipil. Tidak diketahui apakah serangan tersebut berhasil menghabisi para pembunuh keempat anggota Blackwater atau tidak.

Peristiwa penyergapan Mujahidin Irak terhadap empat personil kontraktor milter Blackwater menyedot perhatian dunia. Bukan karena keberhasilan penyergapan Mujahidin Irak, tetapi lebih karena faktor adanya bukti tentara bayaran yang dipekerjakan di Irak. Sesuatu yang selama ini ditutup-tutupi pemerintah Amerika Serikat.(Rizki Ridyasmara, Eramuslim.com)

18 Januari 2008

YUDAISME HARAMKAN HOLLYWOOD

Coba Anda sebutkan satu perusahaan hiburan besar dunia, satu lokasi perjudian besar dunia, satu lokasi pelacuran besar dunia, satu organisasi kejahatan dunia, atau satu kelompok mafia ternama dunia, pasti di dalamnya Anda akan menjumpai orang-orang Yahudi sebagai pemiliknya.
Itulah orang Yahudi. Mereka berada di setiap poros kejahatan dunia yang menyebarkan segala hal yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan dan keluhuran. Mereka, kaum Yahudi, di mana pun berada senantiasa melakukan pengrusakan, pengkhianatan, penzaliman, dan sebagainya. Ini terjadi sejak zaman para nabi, para raja dan bangsawan, hingga di masa millennium sekarang ini.
Namun di balik itu semua, kaum Yahudi ternyata tetap memegang teguh nilai-nilai keyahudiannya dan bahkan merekalah di dunia mi, salah satu fundamentalis yang paling fanatik dan tidak ada toleransi dalam hal keyakinannya.

Keluarga Rotschild
Salah satu potret yang bagus tentang keluarga Yahudi adalah apa yang dipraktikkan oleh keluarga Rotschild, keluarga terkaya Yahudi di Eropa di abad ke-18, yang berada di belakang penaklukan-penaklukan negara-negara Eropa dan juga Amerika.
Rothschild dalam bahasa Jerman memiliki arti sebagai Tameng merah (Red Shield).
Keluarga Yahudi yang di tahun 1773 mengundang 12 keluarga Yahudi tetpandang Eropa lainnya di Bavaria yang kemudian melahirkan konsep Protocolat Zionis dan mendirikan Illuminati ini berawal dari kelahiran seorang bayi Yahudi Jerman yang diberi nama mayer Amshell Bauer.
mayer Amshell Bauer lahir pada tahun 1743 di sebuah perkampungan Yahudi di Frankfurt, Bavaria (sekarang Jerman). Ayah mayer bernama Moses Amschell Bauer yang bekerja sebagai lintah darat (rentenir) dan tukang emas yang berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari kota yang satu ke kota lamnya. Bakat Moses sebagai rentenir kelak akan diteruskan dan dikembangkan oleh anak-cucunya.
Kelahiran Mayer membuar moses menghentikan bisnis 'nomaden'nya dan menetap di sebuah rumah agak besar dipersimpangan judenstrasse (Jalan Yahudi) kota Frankfurt. Di rumah itu, Moses membuka usaha simpan-pinjam uangnya. Di pintu masuk kedai renten-nya, moses menggantungkan sebuah simbol Tameng Merah sebagai merk dagangnya: Rothschild.
Anak pertamanya ini, Mayer Amshell, menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Dengan tekun Moses mengajari Mayer segala pengetahuan tentang bisnis pinjam-meminjam uang. Moses juga sering menceritakan pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya dari berbagai sumber dan dan pengalaman-pengalamannya.
Moses sebenarnya ingin menjadikan Mayer sebagai pendeta Yahudi (Rabi). Namun ajal keburu menjemputnya sebelum sang anak, tumbuh dewasa. Sepeninggal ayahnya, Mayer sempat meneruskan usaha rentenir yang diwariskan ayahnya di rumah. Namun tidak lama kemudian Mayer ingin belajar lebih mendalam tentang bisnis uang. Akhirnya ia bekerja di sebuah bank milik keluarga Oppenheimer di Hanover. Di bank ini, Mayer dengan cepat menyerap semua aspek bisnis perbankan modern. Kariernya pun melesat, bahkan sang pemilik bank yang terkesan dengan Mayer menjadikannya sebagai mitra muda dalam kepemilikian bank tersebut.
Setelah merasa cukup banyak menimba ilmu tentang bisnis perbaukan, Mayer kembali ke frankfurt untuk meneruskan usaha ayahnya yang sempat dilepaskannya untuk beberapa waktu. Mayer bertekad, bisnis uang akan dijadikannya sebagai bisnis inti keluarga ini. la akan mendidik anak-anaknya kelak dengan segala pengetahuan tentang bisnis penting tersebut dan menjadikannya keluarga besar penguasa bisnis perbankan Eropa dan juga dunia.
Salah satu langkah yang diambil Mayer adalah dengan mengganti nama keluarga 'Bauer' yang dalam bahasa Jerman berarti 'Petani' dengan merk dagang usahanya, yakni 'Tameng Merah (Rothschild). mayer sendiri memakai gelar Rothschild I.
Berkat kecerdasan yang diramu dengan kelicikan dan keberaniannya, usaha rumahan ini berkembang pesat. Rotshchild I mulai melobi kalangan istana. (orang yang pertama ia dekati adalah Jenderal von estorff, bekas salah satu pimpinannya ketika masih bekerja di Oppenheimer Bank di Hanover. Rothschild I mengetahui benar, sang jenderal memiliki hobi mengumpulkan koin-koin kuno dan langka. Dengan jeli Rothschild memanfaatkan celah ini untuk bisa dekat dengan sang Jenderal.
Untuk menambah perbendaharaan koin-koin kuno dan langka, Rotshchild menghubungi sesama rekannya orang Yahudi yang dalam waktu singkat berhasil mengumpulkan benda-benda tersebut. Sambil membawa barang yang sangat diminati jenderal von estorff, Rothschild 1 menemui sang Jenderal di rumahnya dan menawarkan semua koin itu dengan harga sangat murah. Jelas, kedatangan Rotshchild disambut gembira sang jenderal. Bukan itu saja, rekan-rekan dan teman bisnis sang jenderal pun tertarik dengan Rothschild dan kemudian jadilah Rotshchild diterima sepenuh hati dalam lingkaran pertemanan dengan Jenderal von estorff.
Suatu hari, tanpa disangka-sangka, Rothschild I dipertemukan oleh jenderal von Estorff kepada Pangeran Wilhelm secara pribadi. Pangeran ternyata memiliki hobi yang sama dengan jenderal. Wilhelm membeli banyak medali dan koin langka dari Rotshchild dengan harga yang juga dibuat miring. Inilah kali pertamanya seorang Rotshchild bertransaksi dengan seorang kepala negara.
Dan perkenalannya dengan Wilhelm, terbukalah akses Rothschild untuk membuat jaringan dengan para pangeran lainnya. Untuk membuat pertemanan bisnis menjadi pertemanan pribadi, Rotshchild menulis banyak surat kepada para pangeran yang berisi puji-pujian dan penghormatan yang begitu tinggi atas kebangsawanan mereka. Rothschild juga memohon agar mereka memberi perlindungan kepadanya.
Pada tanggal 21 September 1769, upayanya membuahkan hasil. Pangeran Wilhelm dengan senang hati meresmikan kedainya, Rothschild pun memasang lambang principalitas Hess-Hanau di depan kedainya sebagai lambang restu dan perlindungan Sang Pangeran. Lambang itu bertuliskan huruf emas dengan kalimat, "M.A. Rothschild. Dengan limpahan karunia ditunjuk sebagai abdi istana dari Yang Mulia Pangeran Wilhelm Von Hanau".
Tahun 1770, saat berusia 27 tahun, Rothschild menikahi Guetele Schnaper yang masih berusia tujuhbelas tahun. Dari perkawinannya, mereka dikarunia sepuluh orang anak. Putera-puteranya bernama Amshell III, Salomon, Nathan, Karlmann (Karl), dan Jacob (James). Kepada anak-anaknya, selain mendidik mereka dengan keras soal pengetahuan bisnis perbankan dan aneka pengalamannya, Rothschild I juga menanamkan kepada mereka keyakinan-keyakinan Talmudian (bukan Taurat) dengan intensif.
Frederich Morton, penulis biografi Rothschild Dynasti menulis, "Setiap Sabtu malam (Sabbath), usai kebaktian di sinagoga, Amshell mengundang seorang rabi ke rumahnya. Sambil duduk membungkuk di kursi hijau, mencicipi anggur, mereka berbincang-bincang tentang Talmud dan pesan para Rabi sampai larut malam. Bahkan pada hari kerja pun Amshell senang terlihat tekun mendaras Talmud ...dan seluruh keluarga harus duduk dan mendengarkan rabi tersebut dengan tertib dan hening."
Dalam berbisnis dan menjalankan usahanya, keluarga Rotschild merupakan keluarga yang sangat tegas, licin, dan menghalalkan segala cara guna memuluskan tujuan-tujuan dan kepentingannya. Namun dalam urusan peribadatan, keluarga ini sangadah konservatif.
Sefiap hari Sabbath keluarga ini mengundang seorang Rabi untuk sepanjang hari mengkaji Talmud dan mendengarkan segala pesan-pesannya. Bahkan seorang Rotschild, kemana pun pergi selalu membawa Kitab Talmud untuk didarasnya di setiap ada kesempatan.

Pendidikan Sejak Dini.
Ketika anak-anak di luar Yahudi lebih senang menonton kartun yang ditayangkan teve dan jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, maka keluarga-keluarga Yahudi tidak demikian. Mereka secara ketat mengontrol anak-anaknya, bahkan film-film seperti yang dihasilkan Hollywood banyak yang tidak boleh ditonton. Secara turun-temurun mereka sudah menganggap pendidikan adalah nomor satu yang harus diberikan kepada anak-anaknya.
Pendeta Christy Indra T, dan ROCK Ministry Makassar, dalam salah satu kotbahnya yang berjudul "Pentingnya Pendidikan" (17 Juni 2007) menyinggung soal konsep orang-orang Israel dalam mendidik anak-anaknya: "Mari kita lihat bagaimana orang Israel mendidik anak-anak mereka. Cara mendidik orang Yahudi adalah, jika didapati ada sekitar 20 anak usia sekolah, maka komunitas itu akan memilih satu orang kepala sekolah dan satu orang rabbi. Di usia 3 tahun, anak Israel harus bisa membaca, dan di usia 5 tahun mereka harus mengerti kitab Imamat (cara ibadab bangsa Yahudi hingga kini)."
Ulangan 6:4-9 menyatakan, "Ajarkan Firman Tuhan dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun, ".. .Bangsa Yahudi concern dengan hal metode pendidikan ini. bahkan ada informasi yang bisa diambil pelajaran oleh kita, setelah penghancuran Yerusalem, para arkeolog menemukan sedikitnya ada 480 sekolah hanya di bekas kota Yerusalem saja," ujar Pdt. Indra yang memiliki arti bahwa orang-orang Yahudi memang sangat memandang penting pendidikan.
Jika keluarga Yahudi saja demikian ketat dan konsern dalam mendidik anak-anaknya sejak dini, maka bagaimanakah sistem pendidikan terhadap anak-anak kita? Jika mereka begitu taat di dalam kebathilan, maka mengapa kita tidak bisa lebih taat padahal kita berada di dalam kebenaran? Rasulullah jauh-jauh hari sudah memperingatkan kita, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi," (HR al-Bukhari). Bagaimana dengan anak-anak kita?

(Edisi Ketiga Majalah Eramuslimdigest.com)

09 Januari 2008

WALT DISNEY (HIDDEN) AGENDA

Wes Penre, tokoh di belakang kebangkitan musik rock dan heavy-metal AS di era 1980-an, mantan anggota kelompok pemuja setan, yang kemudian bertobat dan menjadi pendiri dunia hiburan AS, dalam situs Illuminaty News (4 Juli 2004) menulis sebuah artikel singkat berjudul "The Walt Disney Agenda ".
Penre membuka artikel itu dengan kalimat, "Saya menonton film kemarin, judulnya 'The Haunted Mansion", dibintangi oleh Eddie Murphy. Film im diproduksi oleh Disney. Ini bukan sekadar film setan dengan akting yang payah, ada sesuatu di baliknya. Pertanyaan pertama tentang film ini, setelah saya menontonnya adalah: Untuk siapa sebenamya film ini? Orang-orang dewasa, atau anak-anak? Jika untuk orang dewasa, film ini sangatlah naif, terlalu enteng, dan tidak lucu. Namun jika untuk anak-anak, ini adalah film yang amat sangat menakutkan. Lalu, untuk siapa sebenarnya Disney membuat film ini?"
Untuk menjawab semua pertanyaan itu, demikian Penre, maka kita perlu mengetahui siapa sesungguhnya Walt Disney, apa misi utama perusahaan Disney, untuk apa didirikan, dan akan digunakan sebagai apa? "Saya sangat menganjurkan Anda untuk menyimak baik-baik tulisan Fritz Springmeier's yang ada di situs ww.theforbiddenknowledge.com/ hardtruth/thedisneybloodlinept1 .htm" ujar Penre. "Walt Disney merupakan anggota Freemasonry derajat 33°, suatu derajat tertinggi yang hanya bisa dicapai oleh tokoh-tokoh Yahudi, dan juga anggota Illuminaty. Di balik seluruh karakter kartun yang diciptakannya yang tersebar di aneka film, buku cerita, dongeng, dan sebagainya, ada agenda tersembunyi illuminaty untuk mempengaruhi dan men-setting pemikiran anak-anak," tulis Penre.
Seluruh produksi Disney mengandung simbol-simbol Masonik, okultisme, dan juga indoktrinasi maupun pengendalian alam pikiran. "Lewat Disney, mereka telah meracuni pemikiran manusia sedari anak-anak agar bisa menerima 'The New World Order" suatu saat kelak. Mereka juga memperkenalkan sejak dini kepada anak-anak seluruh dunia apa yang disebut sebagai black-Magic, The Sorcery, sebagai jalan keluar yang bagus. Simaklah terus dengan kritis apa-apa yang disampaikan oleh Springmeier di atas. Anda akan terkejut-kejut dibuatnya," tandas Penre yang juga banyak menulis masalah-masalah Illuminaty di dunia hiburan Amerika.
Tanpa Anda sadari, anak-anak Anda telah "menghilang" ke dalam Disneyland dan diculik oleh perusahaan Disney dan dikorbankan serta diperbudak menjadi agen-agen The New World Order di masa depannya. Hebatnya lagi, Disney mampu melakukan ini semua di kamar-kamar tidur dan kamar-kamar keluarga seluruh keluarga di dunia ini. "Sekarang kita kembali kepada film The Haunted Mansion'. Kami paham, betapa tidak mungkinnya para orangtua melarang anak-anak menonton film ini, yang seolah-olah diperuntukkan bagi anak-anak, namun banyak memuat unsur-unsur kekerasan, seksualitas, dan sejenisnya," tambahnya.
Wes Penre dan juga Springmeier yakin bahwa ada 'sesuatu' di Disneyland yang selama ini tidak terungkap ke permukaan. "Seorang sahabat mengirim saya sebuah surat beberapa hari yang lalu. Dalam suratnya dia bercerita bahwa dia punya seorang kawan yang baru saja pulang dan Disneyland di California. Di suatu tempat di tengah areal Disneyland, orang ini masuk dan bersembunyi ke dalam semak-semak untuk sekadar merokok. Tanpa diduga, dari semak-semak itu terlihat sebuah lorong ke dalam tanah. Dia masuk ke dalam dengan hati-hati. Dan dalam tanah dia mendengar suara tangisan anak-anak. Tiba-tiba, sebelum dia masuk lebih dalam, kepalanya ditodong pistol oleh petugas keamanan. Dia ditangkap dan diusir dari taman hiburan itu. Anehnya, dia dikawal petugas tersebut hingga masuk ke mobilnya dan keluar dari area parkir. Dia sampai hari ini terus berpikir, apa yang sebenarnya berada di dalam tanah itu? Anak-anak siapa yang menangis di dalam ruangan tersembunyi itu?".
.
(Majalah Era Muslim Digest Edisi Koleksi III Tahun 2007)

WALT DISNEY & ZIONISME

Rasanya tidak ada seorang pun yang tidak menyukai Donald BebEk di bumi ini. Demikian pula dengan Mickey Mouse dan anjingnya, Pluto, Goofy, Mini Mouse, dan sebagainya. Namun sayangnya, kejenakaan dan hiburan yang dikemas secara apik tersebut hanya sebatas di layar kaca. Di dunia nyata, perusahaan Walt Disney, tempat berbagai macam karakter kartun nan jenaka itu ternyata menjadi salah satu penyokong gerakan Zionisme Intemasional. Walt Disney Company yang didirikan oleh dua bersaudara, Walter Elias Disney (5 Desember 1901-15 Desember 1966) dan Roy Oliver Disney, pada 16 Oktober 1923 di Burbank, dekat Hollywood, California-AS, awalnya bernama Disney Brother Cartoon Studio. Walter atau disingkat Walt saja lahir di Chicago dan pasangan Elias Disney dan Flora Call. Pada 1906, keluarga ini pindah dari Chicago ke Marceline, Missouri. Walt menempuh pendidikan di Breton Grammar School (lulus 1917). Selain itu Walt juga belajar di Chicago Art Institute. Pada Perang Duma I, saat masih berusia 16 tahun, Walt berpartisipasi sebagai supir ambulans di umur 16 tahun, dengan sebelumnya memalsukan tahun kelahirannya satu tahun ke belakang agar bisa masuk. Walt bertugas sebagai anggota dari Pasukan Ambulans Palang Merah Amerika di Perancis sampai 1919. Tahun 1925, Walt menikahi Lilian Bounds, yang pada waktu itu bekerja di Ink & Paint departement di studio, hingga akhir hayatnya dan dikarunia dua puteri: Diane dan Sharon.
Kembali ke AS, Walt yang memang gemar dengan kartun mendirikan Iwerks-Disney Commercial Artists, lalu pada 1922, Walt kembali mendirikan Laugh-0'-Grams, Inc.. Keduanya bergerak di gambar kartun. Peruntungannya belum baik. Setelah membuat kisah Alice's The Wonderland, perusahaannya bangkrut.
Saudara kandungnya, Roy Oliver Disney mengundang Walt ke Hollywood. Dan dari sinilah kedua kakak beradik ini mulai menuai sukses hingga sekarang. Laba perusahaan Disney pada 2004 adalah sebesar US$ 30,8 miliar dan telah masuk dalam pasar saham Dow Jones Industrial Average. Keberhasilan perusahaan ini tidak lepas dari bantuan finansial yang dikucurkan jaringan bisnis kelompok Illuminati seperti Bank of Amerika dan juga keluarga Rockefeller. Kedua pendiri Disney Company ini juga tercatat sebagai anggota Freemasonry AS.
.
Penyokong Zionis-lsrael
Dalam acara Walt Disneys Millennium Exhibition di Epcot Centre, Flonda-AS, yang berlangsung sejak 1 Oktober 2000, perusahaan int turut mempromosikan Jerusalem sebagai Ibukota Israel. Padahal Disney mengetahui bahwa Resolusi PBB nomor 242, 237, dan 405, telah menyatakan bahwa pendudukan Zionis-lsrael atas Tanah Palestina adalah ilegal, dan sebab itu sama sekali tidak bisa dibenarkan mengatakan bahwa Jerusalem merupakan Ibukota Israel.
Acara pameran yang keseluruhannya menghabiskan dana hingga US$ 8 juta, di mana Israel turut menyumbangkan dana sebcsar US$ 1,8 juta dan aktif sebagai penggagas pameran tersebut secara garis besar mempromosikan eksistensi Israel. Menteri Luar Negeri Israel Ehud Barak menyatakan bahwa pameran internasional ini sangat berguna bagi Israel dalam mempromosikan Jerusalem sebagai ibukotanya (Jewish Bulletin News, "Arab Groups call for boycott of everything Disney", by Julia Goldman: http:/Jewishsf.com/bk990924/idisney. shtml).
Sebab itulah ketika Dr. Yusuf Qaradhawy mengeluarkan fatwa pemboikotan membeli produk dari perusahaan penyokong Zionis-Israel pada November 2000, Disneys Company termasuk ke dalam daftar boikot Dunia Islam. Liga Arab sendiri juga berinisiatif menggelar pertemuan untuk mengusulkan agar negara-negara anggotanya melakukan pemboikotan terhadap Disneys Company. Namun sayang, di saat mendekati keputusan final, Pangeran Al-Walid ibnu Talal dari Saudi melakukan sabotase guna menggagalkan usulan tersebut. Pangeran Talal yang juga pemegang saham di Euro Disneyland ini mengatakan, "Jika kita memboikot Disney, Israel akan menang sebab hal ini akan membuat kita jelek di mata Amerika Serikat." Entah, pangeran Saudi ini lupa apa tidak, jika Tuhan umat Islam itu Allah SWT dan bukanlah AS.
Sampai saat ini, walau Dunia Islam tetap memasukkan Disney dan segala macam pernik-perniknya yang berhubungan dengan perusahaan tersebut dalam daftar boikot, namun tetap saja orang-orang Arab ramai mengunjungi dan mengalirkan uangnya ke perusahaan penyokong Zionis-lsrael ini. Dilaporkan, tiap tahun tak kurang dari 200,000 orang Arab mengunjungi Disneyland dan angka perdagangan perusahaan Disney dengan negeri-negeri Timur Tengah pun mencapai angka lebih dan US$ 100 juta per tahunnya.
.
(Majalah Era Muslim Digest Edisi Koleksi III Tahun 2007)

MEL GIBSON and JEWS PROBLEM

King of Malibu. Demikian salah satu julukan bagi Mel Gibson, aktor asal Australia yang berhasil menaklukkan Hollywood dan kini menjadi sutradara sekaligus produser bagi film-filmnya sendiri. Jika saja aktor yang namanya mulai diperhitungkan lewat film Madmax di era tahun 1980-an ini memiliki sikap yang sama dengan seleb Hollywood lainnya terhadap The Jews Issues, maka bisa jadi namanya mungkin tidak menonjol.
Salah satu hukum tidak tertulis di Hollywood adalah: Jangan sekali-kali menyinggung perasaan orang Yahudi atau menyinggung sentiment anti-Yahudi di pusat industri perfilman Amerika ini jika engkau mau terus sukses. Tetapi seorang Mel Gibson dengan penuh kesadaran dan juga nyali, menyatakan secara terbuka bahwa dirinya tidak suka dengan sepak-terjang orang-orang Yahudi, tidak saja orang-orang Yahudi yang memang banyak di Hollywood, tetapi juga dengan ulah kaum Yahudi di dunia.
Sebagai orang kreatif, Mel Gibson bahkan memasukkan pikiran-pikirannya dalam film-film yang digarapnya sendiri. Walau dalam hal ini dia tidak berterus-terang dan memilih bersikap diplomasi. Namun biar begitu, jaringan Yahudi Hollywood telah terluka dan berupaya agar karir Mel Gibson terganjal. Adu otot antara seorang Mel Gibson melawan jaringan Yahudi Hollywood terus berlangsung hingga tulisan ini dibuat. Belum ada hasil final, siapa yang menang dan siapa yang kalah. Atau bisa jadi tidak ada yang kalah dan tidak ada pula yang keluar sebagai pemenang.
.
Are You a Jew?
Setelah membuat film The Passion of The Christ yang di dalamnya Gibson secara tegas menyatakan Yesus disalib gara-gara pengkhianatan orang Yahudi, Gibson sebenarnya sudah menjadi incaran jaringan Yahudi Amerika. Namun saat itu 'penyerangan' terhadap Gibson masih dilakukan secara malu-malu, walau di sejumlah media massa Amerika, kelompok Yahudi ini mulai membuat kartun-kartun yang mengejek Gibson.
Kemarahan kelompok Yahudi Amerika bisa jadi kian meninggi saat terjadi insiden di Pacific Coast Highway, sebuah jalan raya di pantai Malibu, dekat kediamannya. Hari itu jum'at dini hari, 28 Juli 2006. Di daerah yang masuk ke dalam wilayah Los Angeles ini, di saat jarum jam baru menunjuk angka 02.36 waktu setempat, sebuah sedan Lexus LS 430 keluaran terbaru tiba-tiba melesat di Pacific Coast Highway.
Di sisi kanan jalan, sebuah kendaraan patroli LAPD (Los Angeles Police Department) tampak tengah mengawasi kendaraan yang lewat. Melihat Lexus yang berlari bagai orang kesetanan, dua orang petugas LAPD yang berada di dalam mobilnya melirik alat pengukur kecepatan kendaraan. Mereka tercengang melihat angka digital yang muncul di monitor kecilnya: 87 mil per jam. Padahal jalan raya tersebut masuk dalam zona kecepatan maksimal 45 mil per jam.
Mobil patrol polisi itu langsung tancap gas berupaya mengejar Lexus. Sirine berbunyi meraung-raung membelah kota. Sesuatu yang sangat biasa terjadi di Los Angeles. Tak lama kemudian, mobil polisi berhasil menghentikan Lexus. Dua petugas LAPD keluar dengan sangat hati-hati, Seorang tetap di mobil dengan pistol terarah ke ruang kemudi Lexus, dan yang seorang lagi menghampiri mobil mewah tersebut dengan sebelumnya memerintahkan agar pengemudi keluar dari mobil dengan kedua tangan terangkat keatas.
Seorang lelaki keluar dengan gerakan agak limbung. Kedua petugas LAPD tersebut kaget bukan kepalang. Mereka sangat mengenal orang ini. "Tuan Gibson, anda telah melanggar batas kecepatan kendaraan...," ujar salah seorang petugas. Dia mencium bau alkohol dari tubuh aktor dan sutradara ternama Holywood tersebut. Steve Whitmore, Juru Bicara LAPD, menceritakan kembali kejadian tersebut kepada wartawan, "Setelah dilakukan serangkaian tes kepada Mel Gibson, LAPD menemukan bukti bahwa tokoh tersebut berada di bawah pengaruh alkohol ketika ngebut di jalan raya, Di dalam darahnya kami menemukan ada kandungan alkohol sebesar 0,12 persen. Padahal di California ini, pengemudi berusia 21 tahun ke atas hanya diizinkan di bawah 0,08 persen. Atas pelanggaran tersebut, LAPD menahan Mel Gibson di dalam selnya. Mel Gibson masuk penjara pukul 04,06 pagi dan beberapa jam kemudian, pukul 09.45 waktu setempat, dibebaskan dengan membayar uang jaminan sebesar lima ribu dollar Jika saja ceritanya hanya sampai di situ maka peristiwa penahanan sementara Mel Gibson boleh jadi merupakan cerita yang sangat biasa. Hanya saja, saat ditangkap polisi, Mel Gibson sempat dengan nada marah berkata pada petugas LAPD, "Semua Yahudi harus bertanggungjawab terhadap seluruh peperangan yang terjadi di muka bumi!'.
James Mee, sang polisi tersebut, terkejut mendengar ucapan Mel Gibson yang di Amerika merupakan sebuah tabu yang luar biasa dan akan memiliki implikasi yang sangat luas. Melihat wajah polisi yang menunjukkan kekagetan, Met Gibson berkata lagi, "Are you a Jew?"
Dengan cepat segala pernyataan Gibson tersebar di seantero Amerika. Berbagai kelompok Yahudi Amerika dengan serius menuding Mel Gibson merupakan seorang anti Semit. Terlebih bukan sekali ini saja sikap bermusuhan terhadap orang-orang Yahudi yang ditunjukkan dengan telanjang oleh Gibson. Beberapa peristiwa terdahulu juga menunjukkan hal serupa.
Seperti yang telah disinggung di muka, dalam "The Passion of Christ "sendiri misalnya, di dalam film yang mengisahkan kehidupan Yesus 18 jam sebelum disalib, Gibson yang menyutradarai film ini dengan tegas hendak mengatakan bahwa kaum Yahudilah yang sesungguhnya berada di balik penyaliban dan kesengsaraan Yesus. Film ini mendapat kecaman dan juga pujian di seluruh dunia.
Yang memuji menyatakan bahwa Gibson telah sangat berhasil memotret kesengsaraan Yesus ketika mendapat siksaan dan penguasa Romawi Herodes dan kaki tangannya. Sedangkan yang mengecam, kebanyakan dari kelompok Zionis, menyatakan bahwa Gibson menuding kaum Yahudi telah menyiksa Yesus dan secara tegas memperlihatkan sosok Gibson scbagai seorang anti-Semit. Selain itu, beberapa waktu lalu Gibson juga telah menyatakan keinginannya untuk memproduksi sebuah film tentang mitos holokous. Menurut Gibson, peristiwa holokous yang diklaim kelompok Zionis Internasional sebagai tragedi besar pembantaian enam juta Yahudi Eropa yang dilakukan Nazi Jerman selama Perang Dunia II merupakan sebuah kebohongan yang sangat besar.
Ayah dari Mel Gibson, Hutton Gibson, mendukung sikap anaknya dan dengan berani menyatakan keyakinannya bahwa holokous hanya sebuah mitos dan kedustaan yang tak layak untuk dipercayai sedikit pun. Mel bersama Hutton pun mengajak seluruh warga Amerika dan dunia untuk bisa bersikap kritis terhadap perjalanan sejarah dunia yang seluruhnya mereka yakini ada yang mendalanginya demi mencapai tujuan politik dan kekuasaannya atas seluruh bangsa di dunia.
Atas sikap bapak dan anak ini, berbagai kelompok Zionis Amerika secara rapi berupaya untuk mematahkan karir dan kreativitas Mel Gibson.
Bukan seorang Mel Gibson jika ia tidak berani mempertanggung-jawabkan segala yang dinyatakannya. "Saya bukan seorang rasialis, bukan pula anti-Semit, seperti yang banyak dituduhkan kepada saya. Saya hanya ingin berkata jujur tentang apa yang saya yakini. Jika hal ini menyinggung perasaan sekelompok orang, maka saya menyatakan minta maaf," ujarnya ringan.
Bagi orang-orang Yahudi Amerika, permintaan maaf ini dirasa belum cukup. Apalagi secara sepihak Gibson telah membatalkan acara kunjungannya ke komunitas Yahudi Amerika. Maka berbondong-bondonglah orang-orang dan organisasi Yahudi Amerika melakukan pencitra-burukan terhadap Mel Gibson, antara lain lewat berbagai kartun dan karikatur yang bernada sinis bahkan kasar yang dimuat di berbagai surat kabar dan majalah yang beredar luas di Amerika dan juga Eropa. Entah bagaimana 'pertarungan' ini akan berakhir. Yang jelas, Mel Gibson telah berupaya menjadi seseorang yang jujur. la merupakan sedikit bintang Hollywood yang berani bersikap beda.
.
(Majalah Era Muslim Digest Edisi Koleksi III Tahun 2007)