Suatu hari di triwulan pertama tahun 1991, penyanyi country Dolly Parton diwawancarai Majalah Vogue. Sang reporter menanyakan mengapa gagasan Parton dua bulan sebelumnya yang menginginkan adanya acara kebaktian gereja di stasiun teve, ditolak Hollywood. Parton menjawab, "Tiap orang kini khawatir menyinggung segala hal yang berkaitan dengan sikap keagamaannya, sebab semua yang ada di sini itu Yahudi, dan itu menakutkan kami untuk mempromosikan kekristenan." Komentar Dolly Parton ini seketika direspon oleh Anti Defamation League (ADL), sebuah organisasi Yahudi Amerika yang selalu siap untuk menyerang siapa pun yang berkomentar negatif tentang Yahudi. Abe Foxman, petinggi ADL, langsung memanggil media massa dan mengatakan jika Dolly Parton sama sekali tidak patut mengatakan hal itu dan menuding Parton sebagai anti-Semit, sebuah sikap yang di Amerika Serikat konsekuensinya bisa sangat berat.
Apa yang diungkapkan Dolly Parton sungguh tidak benar. Hanya mengulang pernyataan kaum anti Semit yang menyebarkan kedustaan bahwa Hollywood dipenuhi dan dikendalikan oleh kaum Yahudi. Pernyataan dia bisa menimbulkan api permusuhan antara kaum Yahudi dengan orang-orang Kristen. Saya tegaskan, Yahudi sama sekali tidak mengendalikan Hollywood!" kilahnya.
Mendapat reaksi keras dari ADL, Dolly Parton baru menyadari jika dirinya dalam bahaya besar. Karirnya bisa saja diganjal lobi Yahudi Amerika yang siapapun tahu sangat kuat pengaruhnya di negeri besar itu. Dengan cepat Parton menggelar konferensi pers dan dengan terbuka menyampaikan permintaan maafnya. Parton juga menulis surat ke Foxman, "Saya sangat menyesali apa yang telah saya katakan kemarin. Saya menarik pernyataan itu dan sama sekali tidak bermaksud demikian. Sekali lagi, saya minta maaf." Kepada media massa AS, Foxman menyatakan menerima maaf Parton dan mengatakan, "Pernyataan maafnya benar-benar keluar dan hati yang tulus. Dia telah menyadari kesalahannya dan dia sungguh tahu bahwa kami sama sekali tidak mengendalikan Hollywood". Siapa pun tahu, Dolly Parton benar dan Foxman telah berdusta. Namun lobi Yahudi di AS sangatlah kuat, sehingga dengan dukungan media massa besar yang ada di sana, segala yang hitam bisa menjadi putih dan yang putih bisa dikatakan hitam.
Apa yang diungkapkan Dolly Parton sungguh tidak benar. Hanya mengulang pernyataan kaum anti Semit yang menyebarkan kedustaan bahwa Hollywood dipenuhi dan dikendalikan oleh kaum Yahudi. Pernyataan dia bisa menimbulkan api permusuhan antara kaum Yahudi dengan orang-orang Kristen. Saya tegaskan, Yahudi sama sekali tidak mengendalikan Hollywood!" kilahnya.
Mendapat reaksi keras dari ADL, Dolly Parton baru menyadari jika dirinya dalam bahaya besar. Karirnya bisa saja diganjal lobi Yahudi Amerika yang siapapun tahu sangat kuat pengaruhnya di negeri besar itu. Dengan cepat Parton menggelar konferensi pers dan dengan terbuka menyampaikan permintaan maafnya. Parton juga menulis surat ke Foxman, "Saya sangat menyesali apa yang telah saya katakan kemarin. Saya menarik pernyataan itu dan sama sekali tidak bermaksud demikian. Sekali lagi, saya minta maaf." Kepada media massa AS, Foxman menyatakan menerima maaf Parton dan mengatakan, "Pernyataan maafnya benar-benar keluar dan hati yang tulus. Dia telah menyadari kesalahannya dan dia sungguh tahu bahwa kami sama sekali tidak mengendalikan Hollywood". Siapa pun tahu, Dolly Parton benar dan Foxman telah berdusta. Namun lobi Yahudi di AS sangatlah kuat, sehingga dengan dukungan media massa besar yang ada di sana, segala yang hitam bisa menjadi putih dan yang putih bisa dikatakan hitam.
.
Kisah Victor Marchetti
Apa yang dialami Victor Marchetti, seorang editor muda Amerika, di era 1970-an bisa dijadikan gambaran. Saat itu, Marchetti tengah bekerja sebagai screenuriter pada sebuah film spionase. Atasan Marchetti seluruhnya orang Yahudi. Merekalah yang menyeleksi film-film mana yang boleh diedarkan dan mana yang tidak. Bahkan lebih jauh, para petinggi studionya juga memiliki hak untuk menyeleksi tumpukan skenario yang ada dan menentukan mana skenario yang akan dibuat menjadi film dan mana skenario yang akan masuk tong sampah. "Seluruh atasanku orang Yahudi, termasuk CEO dan 20th Century Fox, kecuali satu yang bukan Yahudi, Alan Ladd Jr," ujar Marchetti. Dalam satu rapat, di MCA-Universal, studio tempat diproduksmya film 'Schlinder's List', rapat sempat dihentikan sejenak tatkala seaeorang masuk ke ruang rapat dan duduk di dekat Marchetti. Sosoknya kecil dan tidak menyolok. Marchetti juga tidak pernah melihatnya selama bekerja di Hollywood. Orang asing ini kemudian bicara dengan atasan Marchetti dengan bahasa dan aksen yang sungguh tidak dipahami editor muda Amerika ini sembari menunjuk-nunjuk skrip film. Setelah itu dengan sedikit melempar senyum ke arah Marchetti, orang asing itu kemudian keluar ruangan. "Siapa dia?" tanya Marchetti pada pimpinan studio. Orang berpengaruh di Hollywood yang menjadi atasannya Marchetti ini dengan terus terang menjawab, "Dia orang Israel. Saya ingin meyakinkan bahwa film-film yang kita buat seluruhnya tidak ada yang menyinggung perasaannya."
Rapat pun dilanjutkan. Diam-diam Marchetti menghitung di sekeliling ruangan. Ada Sembilan orang di ruangan rapat tersebut dan Marchetti merasa terasing karena dia satu-satunya yang bukan Yahudi. "Ini bukan terjadi sekali dua kali saja. Saya sering mengikuti rapat di berbagai studio Hollywood ini, dan hampir keseluruhan rapat yang saya ikuti, sayalah satu-satunya peserta rapat yang gentiles (non-Yahudi)," ujar Marchetti. "Ini sungguh-sungguh konyol. Sekelompok kecil orang yang populasinya tidak sampai tiga persen dibanding total populasi Amerika, dan para tokohnya juga memiliki loyalitas ganda selain kepada negara Amerika, mampu mengontrol kebudayaan bangsa ini, sistem keuangan, dan juga lembaga-lembaga pemerintahan. Namun ketika ada orang yang menyatakan fakta tersebut, mereka akan segera menyerangnya dan menuding orang yang mengatakan fakta itu sebagai rasis. Realitas ini sungguh-sungguh konyol," keluh Marchetti. Kisah tentang Marchetti dan juga Dolly Parton di atas dimuat dalam satu esai pertanggal 1 April 1994 tentang Pandangan Baru Amerika yang dicetak secara terbatas. Marchetti yang pernah bekerja di CIA selama 14 tahun sebagai Asisten Eksekutif Deputy Director kemudian menulis sebuah buku berjudul "The CIA and the Cult of Intelligence". Presentasi Marchetti sendiri dalam The Ninth IHR Conference berjudul "Propaganda and Disinformation: How the CIA Manufactures History" diterbitkan pada musim gugur tahun 1989 oleh Journal of Historical Review.
Apa yang diungkapkan Marchetti sesungguhnya bukan barang baru mengingat di tahun 1988, sebuah buku setebal 502 halaman telah terbit di New York. Judulnya cukup menarik: An Empire Of Their Own. How The Jews Invented Hollywood, penulisnya bernama Neal Gabler. Secara ringkas, buku ini memaparkan bagaimana Hollywood dikuasai oleh Yahudi, dari tukang lampu, penulis skrip, skenario, sutradara, pemain, produser, hmgga bos-bos besar studio filmnya.
Oleh para pengamat, buku Neal Gabler ini dianggap sebagai buku yang berani dan bahkan salah-salah membacanya bisa dikategorikan sebagai buku yang mampu mendorong orang untuk bersikap anti-Semit. Ini bisa benar bisa pula tidak. Faktanya adalah, apa-apa yang diungkap buku tersebut adalah seratus persen fakta sesungguhnya: Bagaimana orang-orang Yahudi telah mencengkeram kuku kekuasaannya atas industri perfilman Amerika dan juga dunia. "Yahudi tidak akan datang ke Hollywood jika mereka tidak ingin menguasainya," tegas Gabler.
Di dalam bukunya, Gabler memaparkan kisah-kisah kecurangan yang dilakukan para pengusaha film Yahudi di Hollywood. "Adolf Zukor dan Carl Laemmle, dua tokoh pengusaha Hollywood, telah menggunakan kamera Edison secara illegal tanpa membayar royaltinya. Louis B.Mayer menipu produser film 'Birth of a Nation' lewat pemalsuan data-data pembukuan yang menguntungkan dirinya sendiri lebih dan $500.000 dan pertunjukan film tersebut di tahun 1915," tulis Gabler.
Di awal abad ke-21, wilayah Hollywood merupakan salah satu tujuan utama para imigran Yahudi dari penjuru dunia, terutama yang berprofesi sebagai pekerja seni. Mereka datang secara sendiri-sendiri maupun secara berkelompok. Yang punya modal langsung mendirikan studio-studio, dan yang datang seiidiri-sendiri dengan modal tekad semata bekerja keras menarik perhatian para produser dan sutradara. Kian lama, wilayah Hollywood kian ramai. Daerah yang tadinya sepi dan hanya berupa dua buah peternakan, kini telah berubah menjadi daerah yang tidak pernah tidur. Siang disinari cahaya matahari yang melimpah dan malam diguyur cahaya lampu ribuan bahkan jutaan kilowatt. Sampai sekarang, Hollywood menjadi salah satu 'The American Dreaming bagi anak-anak muda seluruh dunia yang memilih karir sebagai pekerja seni. Tanpa tahu apa yang sesungguhnya berada di balik tirai gemerlap Hollywood.
Kisah Victor Marchetti
Apa yang dialami Victor Marchetti, seorang editor muda Amerika, di era 1970-an bisa dijadikan gambaran. Saat itu, Marchetti tengah bekerja sebagai screenuriter pada sebuah film spionase. Atasan Marchetti seluruhnya orang Yahudi. Merekalah yang menyeleksi film-film mana yang boleh diedarkan dan mana yang tidak. Bahkan lebih jauh, para petinggi studionya juga memiliki hak untuk menyeleksi tumpukan skenario yang ada dan menentukan mana skenario yang akan dibuat menjadi film dan mana skenario yang akan masuk tong sampah. "Seluruh atasanku orang Yahudi, termasuk CEO dan 20th Century Fox, kecuali satu yang bukan Yahudi, Alan Ladd Jr," ujar Marchetti. Dalam satu rapat, di MCA-Universal, studio tempat diproduksmya film 'Schlinder's List', rapat sempat dihentikan sejenak tatkala seaeorang masuk ke ruang rapat dan duduk di dekat Marchetti. Sosoknya kecil dan tidak menyolok. Marchetti juga tidak pernah melihatnya selama bekerja di Hollywood. Orang asing ini kemudian bicara dengan atasan Marchetti dengan bahasa dan aksen yang sungguh tidak dipahami editor muda Amerika ini sembari menunjuk-nunjuk skrip film. Setelah itu dengan sedikit melempar senyum ke arah Marchetti, orang asing itu kemudian keluar ruangan. "Siapa dia?" tanya Marchetti pada pimpinan studio. Orang berpengaruh di Hollywood yang menjadi atasannya Marchetti ini dengan terus terang menjawab, "Dia orang Israel. Saya ingin meyakinkan bahwa film-film yang kita buat seluruhnya tidak ada yang menyinggung perasaannya."
Rapat pun dilanjutkan. Diam-diam Marchetti menghitung di sekeliling ruangan. Ada Sembilan orang di ruangan rapat tersebut dan Marchetti merasa terasing karena dia satu-satunya yang bukan Yahudi. "Ini bukan terjadi sekali dua kali saja. Saya sering mengikuti rapat di berbagai studio Hollywood ini, dan hampir keseluruhan rapat yang saya ikuti, sayalah satu-satunya peserta rapat yang gentiles (non-Yahudi)," ujar Marchetti. "Ini sungguh-sungguh konyol. Sekelompok kecil orang yang populasinya tidak sampai tiga persen dibanding total populasi Amerika, dan para tokohnya juga memiliki loyalitas ganda selain kepada negara Amerika, mampu mengontrol kebudayaan bangsa ini, sistem keuangan, dan juga lembaga-lembaga pemerintahan. Namun ketika ada orang yang menyatakan fakta tersebut, mereka akan segera menyerangnya dan menuding orang yang mengatakan fakta itu sebagai rasis. Realitas ini sungguh-sungguh konyol," keluh Marchetti. Kisah tentang Marchetti dan juga Dolly Parton di atas dimuat dalam satu esai pertanggal 1 April 1994 tentang Pandangan Baru Amerika yang dicetak secara terbatas. Marchetti yang pernah bekerja di CIA selama 14 tahun sebagai Asisten Eksekutif Deputy Director kemudian menulis sebuah buku berjudul "The CIA and the Cult of Intelligence". Presentasi Marchetti sendiri dalam The Ninth IHR Conference berjudul "Propaganda and Disinformation: How the CIA Manufactures History" diterbitkan pada musim gugur tahun 1989 oleh Journal of Historical Review.
Apa yang diungkapkan Marchetti sesungguhnya bukan barang baru mengingat di tahun 1988, sebuah buku setebal 502 halaman telah terbit di New York. Judulnya cukup menarik: An Empire Of Their Own. How The Jews Invented Hollywood, penulisnya bernama Neal Gabler. Secara ringkas, buku ini memaparkan bagaimana Hollywood dikuasai oleh Yahudi, dari tukang lampu, penulis skrip, skenario, sutradara, pemain, produser, hmgga bos-bos besar studio filmnya.
Oleh para pengamat, buku Neal Gabler ini dianggap sebagai buku yang berani dan bahkan salah-salah membacanya bisa dikategorikan sebagai buku yang mampu mendorong orang untuk bersikap anti-Semit. Ini bisa benar bisa pula tidak. Faktanya adalah, apa-apa yang diungkap buku tersebut adalah seratus persen fakta sesungguhnya: Bagaimana orang-orang Yahudi telah mencengkeram kuku kekuasaannya atas industri perfilman Amerika dan juga dunia. "Yahudi tidak akan datang ke Hollywood jika mereka tidak ingin menguasainya," tegas Gabler.
Di dalam bukunya, Gabler memaparkan kisah-kisah kecurangan yang dilakukan para pengusaha film Yahudi di Hollywood. "Adolf Zukor dan Carl Laemmle, dua tokoh pengusaha Hollywood, telah menggunakan kamera Edison secara illegal tanpa membayar royaltinya. Louis B.Mayer menipu produser film 'Birth of a Nation' lewat pemalsuan data-data pembukuan yang menguntungkan dirinya sendiri lebih dan $500.000 dan pertunjukan film tersebut di tahun 1915," tulis Gabler.
Di awal abad ke-21, wilayah Hollywood merupakan salah satu tujuan utama para imigran Yahudi dari penjuru dunia, terutama yang berprofesi sebagai pekerja seni. Mereka datang secara sendiri-sendiri maupun secara berkelompok. Yang punya modal langsung mendirikan studio-studio, dan yang datang seiidiri-sendiri dengan modal tekad semata bekerja keras menarik perhatian para produser dan sutradara. Kian lama, wilayah Hollywood kian ramai. Daerah yang tadinya sepi dan hanya berupa dua buah peternakan, kini telah berubah menjadi daerah yang tidak pernah tidur. Siang disinari cahaya matahari yang melimpah dan malam diguyur cahaya lampu ribuan bahkan jutaan kilowatt. Sampai sekarang, Hollywood menjadi salah satu 'The American Dreaming bagi anak-anak muda seluruh dunia yang memilih karir sebagai pekerja seni. Tanpa tahu apa yang sesungguhnya berada di balik tirai gemerlap Hollywood.
.
(Majalah Eramuslim Digest Edisi Koleksi III Tahun 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar