Semoga melalui media digital personal website yang sangat sederhana ini, tali silaturahmi dan pertemanan yang terputus dapat tersambung kembali dan mengakrabkan kita, sebab hidup dgn ilmu akan lebih mudah, hidup dgn seni akan lebih indah & hidup dgn iman pasti akan terarah.

Masukan yang bersifat membangun dapat dikirimkan melalui email : bagyoesx@gmail.com atau bagyo_27061965@yahoo.co.id atau SMS/Kontak HP 08159552196

08 Desember 2008

KEBIJAKSANAAN MINYAK DI INDONESIA

Christopher Lingle dalam artikel (Jakarta Post 20 Februari 2008) yang berjudul "Restoring Indonesia's economy to a higher growth path" mencatat bahwa pengangguran di Indonesia mencapai 40% dari total angkatan kerja. Selain itu, Bank Dunia menyebutkan sekitar 49,5% Rakyat Indonesia berpendapatan di bawah 2 US$/hari. Di sektor pendidikan, yang menjadi pilar utama pembangunan Sumber Daya Manusla (SDM), justru menggambarkan situasi yang lebih miris. Menurut data Susenas 2004, dan penduduk usia sekolah 7-24 tahun yang berjumlah 76,0 juta orang; yang tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai 41,5 juta orang atau sebesar 55 persen. Sementara itu, menurut data Balitbang Depdiknas 2004, angka putus sekolah atau drop-out di tingkat SD/MI tercatat sebanyak 685.967 anak, yang berhasil lulus SD/MI tetapi tidak melanjutkan ke jenjang SMP/MTs dan putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054 orang."
Situasi INi sangat kontras dengan nilai profit kandungan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia yang justru memberikan kemakmuran melimpah kepada korporasi-korporasi asing. Dalam laporan pendapatannya untuk tahun triwulan kedua 2008, pihak Exxon Mobil memperoleh keuntungan sebesar US$ 138 milyar (Rp.1.2 42 trilyun). Angka ini naik 40% dibandingkan dengan periode yang sama tahun silam, "yang hanya" US$ 98 milyar. Dengan pendapataan sebesar itu, Exxon Mobil menjadi "Negara" terkaya ke-18 dunia. Exxon Mobile merupakan perusahaan milik keluarga kapitalis Yahudi John D. Rockefeller.
Sekitar 90% migas Indonesia "dikelola" oleh perusahaan Multi National Companye (MNC) seperti Exxon Mobil, Chevron, Halliburtons, Unocal, yang mayoritas berasal dari AS. Dari ''kerjasama tersebut" MNC dari AS mendapat keuntungan yang sangat besar melebihi dari kontrak bisnis yang wajar. Sebagai contoh jika ongkos pompa minyak (tidak termasuk pengilangan dan distribusi ke SPBU) yang wajar hanya sekitar US$ 4/barrel (Rp 231/ liter), maka MNC mengeruk keuntungan hingga US5 50/barrel atau lebih dari 12 kali lipat, Jika dikalikan dengan 365 juta barrel/ tahun maka keuntungan lebih MNC tersebut adalah Rp 154,5 trilyun. Sementara di dokumen CIA tentang Indonesia disebut bahwa sektor listrik di Indonesia masih "regulated". Tarifnya masih "diatur" oleh pemerintah Indonesia, sehingga harganya terjangkau oleh mayoritas rakyat Indonesia yang masih menengah ke bawah. Hal ini jelas tidak menguntungkan bagi para "investor" AS yang ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Untuk itu harus dideregulasi. "Subsidi" harus dicabut sehingga harganya menglkuti harga pasar atau yang sekarang disebut "Harga Keekonomian".
Untuk itu pemerintah AS lewat USAID mengucurkan jutaan dollar yang dikucurkan kepada kaki tangan mereka agar kebijakan mereka bisa berjalan di Indonesia, yaitu deregulasi, pengurangan subsidi (penaikan harga), dan reformasi bidang energi. Untuk itu USAID jadi "Donatur Utama" agar usaha tersebut berhasil. Untuk tahun 2001 dan 2002 saja mereka menganggarkan masing-masing US$ 4 juta (Rp 37,2 milyar) agar berhasil.
Berikut cuplikan dan dokumen USAID yany berjudul "Energy Sector Governance Strengthened":
By minimizing the role of government as a regulator, reducing subsidies, &nd promoting private sector involvement, a reformed energy sector can contribute billions of dollars in tax revenue. USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform, which helps leverage larger multilateral loans.
the Government of Indonesia, with USAID assistance, ensured that national and local parliaments, civil society organizations, media, and universities were involved in the decision. As a result, there was minimal public outcry. USAID also supported this process by providing policy analysis for energy pricing and subsidy removal.

Keuntungan yang diperoleh korporasi-korporasi Negara imperialis ini tidaklah setara denqan Produk Domestic Bruto (PDB) beberapa Negara dunia ketiga tempat korporasi tersebut menghisap. Menurut laporan Energy Information Administration (EIA) dalam laporannya mengatakan bahwa total produksi minyak Indonesia rata-rata 1,1 juta barel per hari, dengan 81% (atau 894.000 barel) adalah minyak mentah (crude oil). Untuk produksi gas alamr Indonesia sanggup memproduksi 97.8 juta kubik. Indonesia masuk dalam daftar ke 9 penghasil gas alam di dunia, dan merupakan urutan pertama di kawasan Asia Pasifik.
Sayangnya, hampir 90% dari total produksi tersebut berasal dari 6 MNC, yakni; Total (diperkirakan market share-nya di tahun 2004, 30%), Exxon Mobil (17%) Vico (BP-Eni joint venture, 11%), Conoco Phillips (11%), BP (6%), and Chevron (4%).
Karena proses perampokan kekayaan alam Indonesia ini sepenuhnya dilegitimasi oleh perundang-undangan pemerintah Indonesia, maka tidak ada jalan lain, rakyat Indonesia harus melakukan nasionalisasi (pengambil-alihan) terhadap seluruh perusahaan tambang asing tersebut. Langkah ini merupakan jalan yang tepat dan sanggup menyelamatkan kekayaan alam yang seharusnya diperuntukkan untuk rakyat Indonesia. Pada hari Buruh Internasional, Morales resmi mengumumkan nasionalisasi 20 perusahaan minyak dan gas asing.
Pengumuman langsung didukung tindakan dengan mengirim tentara Bolivia ke ladang minyak dan gas alam. Penempatan pasukan militer itu merupakan simbol bahwa instalasi minyak dan gas itu telah menjadi milik negara Bolivia. Gara-gara dekrit itu, penerimaan Bolivia di sektor migas melonjak menjadi US$ 780 juta (sekitar Rp 7 triliun) pada tahun 2007. Jumlah itu enam kali lipat dibanding penerimaan pada 2002. Bagaimana jika perusahaan asing menolak? "Mereka boleh pergi", ujar Menteri Energi Andres Soliz.
Di Indonesia, di bawah Bung Karno, pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan UU No.86/1958 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, termasuk sektor pertambangan. Selain itu, Bung Karno memberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1960 yang mempertegas pengelolaan minyak dalam kontrol Negara. Setelah itu, Bung Karno menyerahkan skema profit-sharing agreement (PSA) yakni 60:40, ditambah kebijakan lain seperti MNC wajib menyerahkan 25 persen area eksplorasi setelah 5 tahun dan 25 persen lainnya setelah 10 tahun.
Selain itu, MNC wajib menyediakan kebutuhan untuk pasar domestik dengan harga tetap dan menjual aset distribusi-pemasaran setelah jangka waktu tertentu. Skema Bung Karno langsung disetujui oleh presiden AS saat itu, John F Kennedy, dan tiga raksasa minyak dunia (Stanvac, Caltex, dan Shell). Cerita sukses Bung Karno itu bisa dilihat dalam prestasi sektor pendidikan, yakni tingkat melek huruf naik dari 10 ke 50 persen (1960). Biaya pendidikan pada masa itu juga sangat murah. Ketegasan dan keberanian Bung Karno ini menyebabkannya mempunyai banyak lawan politik, termasuk alas an penggulingannya. Indonesia pernah diskors dari kegiatan keolahragaan internasional. Tetapi Presiden Soekarno tidak mau kalah. Ia menyelenggarakan GANEFO (Games of The New Emerging Forces).

(Sumber : Dr. Wang Xiang Jun, PhD, Rencana Besar Yahudi di Indonesia, Pustaka Radja, Cetakan III, 2008)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Good Information...wah informasi yang sangat bermanfaat dan bagus. Tulis terus Bung...