Jauh hari sebelum peristiwa WTC 911 terjadi, industri militer swasta Amerika Serikat sesungguhnya telah malang-melintang di negara-negara Islam seperti Saudi Arabia, Bosnia-Herzegovina, Palestina, Kuwait, bahkan juga di Indonesia.
Di wilayah Arab yang kaya raya, PMC-PMC ini mendapat keuntungan ganda: selain memperoleh nilai kontrak yang sangat besar karena para pemimpin Arab kebanyakan korup dan sangat mudah diperdaya, maka PMC-PMC ini juga sering menjadi perpanjangan tangan dunia intelijen Barat guna memotret kekayaan alamnya yang tersimpan jauh di perut bumi.
Selain di wilayah Arab, tentara bayaran juga memiliki proyek-proyek besar—namun jarang dipublikasikan—di benua hitam Afrika. Negeri-negeri seperti Angola, Mozambique, Sierra Leone, Nigeria, Zambia, Afrika Selatan, dan sebagainya, negara-negara itu menjadi ‘santapan’ yang lezat bagi mereka. Walau negara-negara Afrika dianggap sebagai negara miskin, namun di dataran yang gersang dan panas ini, di bawah perut buminya terdapat banyak sekali kekayaan seperti batu mulia dan intan berlian.
Jika di wilayah Arab mereka memperebutkan minyak dan gas bumi, maka di benua hitam Afrika, mereka berlomba-lomba mengisi pundi-pundinya dengan menangguk batu-batu permata yang sangat tinggi nilainya walau di pasaran gelap sekali pun.
Keberadaan tentara bayaran dengan perusahaan kontraktornya masing-masing memang telah menjadi fenomena dunia, namun jarang sekali diangkat ke permukaan. Menurut Jane’s Defenses Review International, Privat Military Company (PMC) sampai tahun 2004 saja diketahui telah bekerja di 40 negara dan ikut ambil bagian dalam sekurangnya 700 konflik dan peperangan di dunia. Terbanyak ada di Dunia Islam dan Afrika.
Bisnis tentara bayaran ternyata tidak hanya yang terkait dengan senjata dan mesiu. Di Balkan, bahkan ada tentara bayaran yang terjun ke dalam bisnis perdagangan wanita. Mereka mencari gadis-gadis kampung, bahkan tak jarang menculiknya, lalu menerbangkannya ke berbagai negara untuk dijadikan komoditas kemaksiatan.
Tentara Bayaran di Saudi Arabia
Bukan suatu hal yang aneh jika Kerajaan Saudi Arabia dekat dengan Barat. Awal berdirinya kerajaan Saudi saja sudah dibantu oleh seorang perwira Yahudi-Inggris bernama Lawrence (Lawrence of Arabia). Ketika itu Klan Ibnu Saud melakukan pemberontakan (bughot) terhadap Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan mendirikan sistem kerajaan di wilayahnya, suatu sistem yang tidak disunnahkan oleh Rasul SAW.
Pembangunan sistem militer di Kerajaan Saudi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh tentara bayaran Barat (baca: Yahudi). Di tahun 1975, Saudi mengandeng Vinnel Corporation untuk pelatihan sekira 75. 000 personel Saudi Arabian National Guard (SANG), sebuah unit militer Saudi yang berasal dari pejuang suku Badui, Barat juga berperan hal penjagaan ladang-ladang minyak di Arab Saudi. Nilai kontraknya mencapai 77 juta dollar AS.
Belakangan diketahui, Pentagon punya andil besar dalam tender Vinnel di Saudi. Selain kontrak pelatihan di atas, di akhir tahun 1970-an, secara rahasia BAE System diminta oleh Saudi Arabia untuk memasok logistik militer dengan nilai kontrak sebesar 40 miliar dollar poundsterling. Amerika Serikat sendiri mendapat jatah memasok pesawat tempur, heli serbu, dan rudal yang nilainya juga mencapai miliaran dollar.
Tentu hal ini belum cukup, segala logistik tempur tersebut memerlukan ribuan personil untuk merakit, memelihara, dan memberi maintenance kepada personil lokal, maka Saudi juga mendatangkan sekira 50 ribu tenaga asing dengan komposisi 22. 000 dari Inggris dan sisanya, 30. 000 dari AS. Sebagian besar dari mereka adalah mercenaries, atau tentara bayaran.
Lagi-lagi, salah satu PMC Amerika yang mendapat proyek besar di Saudi tersebut adalah Vinnel yang dimiliki Northrop. US News melaporkan, untuk proyek pelatihan dan pembangunan fasilitas militer di Saudi saja, Vinnel mendapat konrak senilai 800 juta dollar AS. Itu di luar jutaan dollar lainnya yang dikucurkan Saudi untuk melengkapi peralatan tentaranya.
Kerajaan Saudi Arabia sangat mempercayai Vinnel. Tidak hanya dalam hardware, Saudi juga menunjuk Vinnel untuk menyusun sofware sistem kemiliterannya, meliputi penyusunan doktrin bagi lima akademi militer Saudi, tujuh lapangan tembak, membenahi sistem kesehatan militer, dan juga melengkapi empat brigade mekanis dan lima brigade infanteri.
Tahun 1980, Vinnel lagi-lagi ditunjuk pihak kerajaan Saudi untuk memodernisir angkatan perangnya. Kali ini Royal Saudi Air Force (RSAF) yang meminta Vinnel untuk menyediakan sistem analis hingga logistik dan peralatan radar dan aeronautikal lainnya.
Tak lama kemudian, PMC yang dimiliki sebuah konsorsium pejabat Gedung Putih dan Pentagon seperti James A. Baker dan Frank Carlucci ini juga ditunjuk oleh Royal Saudi Land Forces (RSLF) untuk pengadaan, pelatihan, dan maintenance tank sejenis Bradley Fighting Vehicle.
Sikap politik klan Ibnu Saud yang amat lengket dengan Barat ini mengundang ketidak-puasan bagi sebagian rakyatnya yang melek politik. Di tahun 2000-an, sebuah gedung tempat petinggi Vinnel bekerja di Saudi Arabia ditabrak sebuah bom mobil hingga hancur berkeping-keping. Lalu pada 12 Mei 203, beberapa pejuang Arab menerobos memasuki tiga buah wisma tempat tentara bayaran tersebut dan meledakkan beberapa buah bom. Korban yang jatuh di kedua belah pihak tidak dicatat. Hanya saja, pemerintah Saudi menahan 20 pejuang yang dikatakan sebagai bagian dari Al-Qaidah.
Keberadaan Vinnel di Saudi juga mencuat tatkala Saddam Hussein mengirimkan amada tanknya ke Kuwait dan nyaris mengancam ladang-ladang minyak di wilayah Saudi. SANG yang dilatih Vinnel Corporation berhasil menghalau pasukan Saddam dan bebaslah ladang-ladang minyak Saudi dari terkaman Irak, walau pada hakikatnya ladang-ladang minyak tersebut sudah lama dikuasai AS.
Yang tidak disadari banyak pemimpin Saudi Arabia, dan juga pemimpin-pemimpin negeri lainnya yang sangat tergantug pada PMC AS, Vinnel sesungguhnya—seperti banyak PMC AS lainnya—tidak semata-mata bekerja untuk melayani orderan yang tertera hitam di atas putih, melainkan juga memasukkan program-programnya sendiri, antara lain dan ini yang paling sering adalah mencoba alat-alat atau pun senjata baru. Jika hasilnya memuaskan maka senjata-senjata baru itu pun akan mulai diproduksi massal, tapi sebaliknya, jika dinilai kurang memuaskan maka akan disempurnakan. Tak peduli bahwa uji coba itu, tak jarang sudah terlanjur menimbulkan korban. Inilah yang kadang tida terpikirkan.
Kedekatan Kerajaan Saudi Arabia dengan Amerika Serikat (Yahudi) sesungguhnya sangat tidak masuk akal, karena tokoh-tokoh Arab tersebut pasti telah mengetahui bahwa Allah SWT telah dengan tegas melarang umat-Nya untuk menjadikan musuh-musuh Allah SWT sebagai penolong:
“Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani (Kristen) sebagai penolong, karena sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. ” (QS. Al-Maidah: 51).
Melihat kenyataan di atas, sudah jelas bagi kita, pemimpin-pemimpin Arab ini sesungguhnya pengikut Abu Jahal, bukannya pengikut Muhamad SAW.
Lebih jauh tentang kedekatan Saudi Sarabia dengan AS, dipaparkan dalam buku “Wa’du Kissinger” (DR. Safar Al-Hawali, Mantan Dekan Fakultas Akidah Univesitas Ummul Qura Makkah), yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Belitan Amerika di Tanah Suci, Membongkar Stategi AS Menguasai Timur Tengah” (Jazera, 2005).
Dalam bagian ke lima tulisan ini, akan diulas keberadaan tentara bayaran di Indonesia, Bosnia Herzegovina, dan juga Palestina.
(Rizki Ridyasmara, Eramuslim.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar