Coba Anda sebutkan satu perusahaan hiburan besar dunia, satu lokasi perjudian besar dunia, satu lokasi pelacuran besar dunia, satu organisasi kejahatan dunia, atau satu kelompok mafia ternama dunia, pasti di dalamnya Anda akan menjumpai orang-orang Yahudi sebagai pemiliknya.
Itulah orang Yahudi. Mereka berada di setiap poros kejahatan dunia yang menyebarkan segala hal yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan dan keluhuran. Mereka, kaum Yahudi, di mana pun berada senantiasa melakukan pengrusakan, pengkhianatan, penzaliman, dan sebagainya. Ini terjadi sejak zaman para nabi, para raja dan bangsawan, hingga di masa millennium sekarang ini.
Namun di balik itu semua, kaum Yahudi ternyata tetap memegang teguh nilai-nilai keyahudiannya dan bahkan merekalah di dunia mi, salah satu fundamentalis yang paling fanatik dan tidak ada toleransi dalam hal keyakinannya.
Keluarga Rotschild
Salah satu potret yang bagus tentang keluarga Yahudi adalah apa yang dipraktikkan oleh keluarga Rotschild, keluarga terkaya Yahudi di Eropa di abad ke-18, yang berada di belakang penaklukan-penaklukan negara-negara Eropa dan juga Amerika.
Rothschild dalam bahasa Jerman memiliki arti sebagai Tameng merah (Red Shield).
Keluarga Yahudi yang di tahun 1773 mengundang 12 keluarga Yahudi tetpandang Eropa lainnya di Bavaria yang kemudian melahirkan konsep Protocolat Zionis dan mendirikan Illuminati ini berawal dari kelahiran seorang bayi Yahudi Jerman yang diberi nama mayer Amshell Bauer.
mayer Amshell Bauer lahir pada tahun 1743 di sebuah perkampungan Yahudi di Frankfurt, Bavaria (sekarang Jerman). Ayah mayer bernama Moses Amschell Bauer yang bekerja sebagai lintah darat (rentenir) dan tukang emas yang berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari kota yang satu ke kota lamnya. Bakat Moses sebagai rentenir kelak akan diteruskan dan dikembangkan oleh anak-cucunya.
Kelahiran Mayer membuar moses menghentikan bisnis 'nomaden'nya dan menetap di sebuah rumah agak besar dipersimpangan judenstrasse (Jalan Yahudi) kota Frankfurt. Di rumah itu, Moses membuka usaha simpan-pinjam uangnya. Di pintu masuk kedai renten-nya, moses menggantungkan sebuah simbol Tameng Merah sebagai merk dagangnya: Rothschild.
Anak pertamanya ini, Mayer Amshell, menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Dengan tekun Moses mengajari Mayer segala pengetahuan tentang bisnis pinjam-meminjam uang. Moses juga sering menceritakan pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya dari berbagai sumber dan dan pengalaman-pengalamannya.
Moses sebenarnya ingin menjadikan Mayer sebagai pendeta Yahudi (Rabi). Namun ajal keburu menjemputnya sebelum sang anak, tumbuh dewasa. Sepeninggal ayahnya, Mayer sempat meneruskan usaha rentenir yang diwariskan ayahnya di rumah. Namun tidak lama kemudian Mayer ingin belajar lebih mendalam tentang bisnis uang. Akhirnya ia bekerja di sebuah bank milik keluarga Oppenheimer di Hanover. Di bank ini, Mayer dengan cepat menyerap semua aspek bisnis perbankan modern. Kariernya pun melesat, bahkan sang pemilik bank yang terkesan dengan Mayer menjadikannya sebagai mitra muda dalam kepemilikian bank tersebut.
Setelah merasa cukup banyak menimba ilmu tentang bisnis perbaukan, Mayer kembali ke frankfurt untuk meneruskan usaha ayahnya yang sempat dilepaskannya untuk beberapa waktu. Mayer bertekad, bisnis uang akan dijadikannya sebagai bisnis inti keluarga ini. la akan mendidik anak-anaknya kelak dengan segala pengetahuan tentang bisnis penting tersebut dan menjadikannya keluarga besar penguasa bisnis perbankan Eropa dan juga dunia.
Salah satu langkah yang diambil Mayer adalah dengan mengganti nama keluarga 'Bauer' yang dalam bahasa Jerman berarti 'Petani' dengan merk dagang usahanya, yakni 'Tameng Merah (Rothschild). mayer sendiri memakai gelar Rothschild I.
Berkat kecerdasan yang diramu dengan kelicikan dan keberaniannya, usaha rumahan ini berkembang pesat. Rotshchild I mulai melobi kalangan istana. (orang yang pertama ia dekati adalah Jenderal von estorff, bekas salah satu pimpinannya ketika masih bekerja di Oppenheimer Bank di Hanover. Rothschild I mengetahui benar, sang jenderal memiliki hobi mengumpulkan koin-koin kuno dan langka. Dengan jeli Rothschild memanfaatkan celah ini untuk bisa dekat dengan sang Jenderal.
Untuk menambah perbendaharaan koin-koin kuno dan langka, Rotshchild menghubungi sesama rekannya orang Yahudi yang dalam waktu singkat berhasil mengumpulkan benda-benda tersebut. Sambil membawa barang yang sangat diminati jenderal von estorff, Rothschild 1 menemui sang Jenderal di rumahnya dan menawarkan semua koin itu dengan harga sangat murah. Jelas, kedatangan Rotshchild disambut gembira sang jenderal. Bukan itu saja, rekan-rekan dan teman bisnis sang jenderal pun tertarik dengan Rothschild dan kemudian jadilah Rotshchild diterima sepenuh hati dalam lingkaran pertemanan dengan Jenderal von estorff.
Suatu hari, tanpa disangka-sangka, Rothschild I dipertemukan oleh jenderal von Estorff kepada Pangeran Wilhelm secara pribadi. Pangeran ternyata memiliki hobi yang sama dengan jenderal. Wilhelm membeli banyak medali dan koin langka dari Rotshchild dengan harga yang juga dibuat miring. Inilah kali pertamanya seorang Rotshchild bertransaksi dengan seorang kepala negara.
Dan perkenalannya dengan Wilhelm, terbukalah akses Rothschild untuk membuat jaringan dengan para pangeran lainnya. Untuk membuat pertemanan bisnis menjadi pertemanan pribadi, Rotshchild menulis banyak surat kepada para pangeran yang berisi puji-pujian dan penghormatan yang begitu tinggi atas kebangsawanan mereka. Rothschild juga memohon agar mereka memberi perlindungan kepadanya.
Pada tanggal 21 September 1769, upayanya membuahkan hasil. Pangeran Wilhelm dengan senang hati meresmikan kedainya, Rothschild pun memasang lambang principalitas Hess-Hanau di depan kedainya sebagai lambang restu dan perlindungan Sang Pangeran. Lambang itu bertuliskan huruf emas dengan kalimat, "M.A. Rothschild. Dengan limpahan karunia ditunjuk sebagai abdi istana dari Yang Mulia Pangeran Wilhelm Von Hanau".
Tahun 1770, saat berusia 27 tahun, Rothschild menikahi Guetele Schnaper yang masih berusia tujuhbelas tahun. Dari perkawinannya, mereka dikarunia sepuluh orang anak. Putera-puteranya bernama Amshell III, Salomon, Nathan, Karlmann (Karl), dan Jacob (James). Kepada anak-anaknya, selain mendidik mereka dengan keras soal pengetahuan bisnis perbankan dan aneka pengalamannya, Rothschild I juga menanamkan kepada mereka keyakinan-keyakinan Talmudian (bukan Taurat) dengan intensif.
Frederich Morton, penulis biografi Rothschild Dynasti menulis, "Setiap Sabtu malam (Sabbath), usai kebaktian di sinagoga, Amshell mengundang seorang rabi ke rumahnya. Sambil duduk membungkuk di kursi hijau, mencicipi anggur, mereka berbincang-bincang tentang Talmud dan pesan para Rabi sampai larut malam. Bahkan pada hari kerja pun Amshell senang terlihat tekun mendaras Talmud ...dan seluruh keluarga harus duduk dan mendengarkan rabi tersebut dengan tertib dan hening."
Dalam berbisnis dan menjalankan usahanya, keluarga Rotschild merupakan keluarga yang sangat tegas, licin, dan menghalalkan segala cara guna memuluskan tujuan-tujuan dan kepentingannya. Namun dalam urusan peribadatan, keluarga ini sangadah konservatif.
Sefiap hari Sabbath keluarga ini mengundang seorang Rabi untuk sepanjang hari mengkaji Talmud dan mendengarkan segala pesan-pesannya. Bahkan seorang Rotschild, kemana pun pergi selalu membawa Kitab Talmud untuk didarasnya di setiap ada kesempatan.
Pendidikan Sejak Dini.
Ketika anak-anak di luar Yahudi lebih senang menonton kartun yang ditayangkan teve dan jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, maka keluarga-keluarga Yahudi tidak demikian. Mereka secara ketat mengontrol anak-anaknya, bahkan film-film seperti yang dihasilkan Hollywood banyak yang tidak boleh ditonton. Secara turun-temurun mereka sudah menganggap pendidikan adalah nomor satu yang harus diberikan kepada anak-anaknya.
Pendeta Christy Indra T, dan ROCK Ministry Makassar, dalam salah satu kotbahnya yang berjudul "Pentingnya Pendidikan" (17 Juni 2007) menyinggung soal konsep orang-orang Israel dalam mendidik anak-anaknya: "Mari kita lihat bagaimana orang Israel mendidik anak-anak mereka. Cara mendidik orang Yahudi adalah, jika didapati ada sekitar 20 anak usia sekolah, maka komunitas itu akan memilih satu orang kepala sekolah dan satu orang rabbi. Di usia 3 tahun, anak Israel harus bisa membaca, dan di usia 5 tahun mereka harus mengerti kitab Imamat (cara ibadab bangsa Yahudi hingga kini)."
Ulangan 6:4-9 menyatakan, "Ajarkan Firman Tuhan dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun, ".. .Bangsa Yahudi concern dengan hal metode pendidikan ini. bahkan ada informasi yang bisa diambil pelajaran oleh kita, setelah penghancuran Yerusalem, para arkeolog menemukan sedikitnya ada 480 sekolah hanya di bekas kota Yerusalem saja," ujar Pdt. Indra yang memiliki arti bahwa orang-orang Yahudi memang sangat memandang penting pendidikan.
Jika keluarga Yahudi saja demikian ketat dan konsern dalam mendidik anak-anaknya sejak dini, maka bagaimanakah sistem pendidikan terhadap anak-anak kita? Jika mereka begitu taat di dalam kebathilan, maka mengapa kita tidak bisa lebih taat padahal kita berada di dalam kebenaran? Rasulullah jauh-jauh hari sudah memperingatkan kita, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi," (HR al-Bukhari). Bagaimana dengan anak-anak kita?
(Edisi Ketiga Majalah Eramuslimdigest.com)
18 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar