Menyusuri jejak-jejak yang terkait dengan Yahudi, SABILI sampai pada lokasi pemakaman tentara Nazi Jerman, di Kampung Situ, Desa Sukaresmi, Mega Mendung, Bogor. Ditempuh dari Pasir Muncang, berjarak tiga kilometer. Dan Jalan menuju areal makam tidak terlalu bagus, berbatu serta berundak-undak. Makam yang terletak di kaki Gunung Pangrango, berjumlah sepuluh buah dan dua buah tidak diketahui identitasnya. Dari penelusuran SABILI, setelah perang dunia pertama berakhir, dua bersaudara asal Jerman, Emil dan Theodor Helfferich membeli 900 hektar tanah di kawasan tersebut. Mereka berdua kemudian membangun perkebunan teh, lengkap dengan pabriknya.
Kawasan yang berada 900 meter di atas permukaan laut tersebut, berubah menjadi perkebunan teh yang maju. Karl Helfferich yang merupakan kakak tertua Emil dan Theodor juga sekaligus Wakil Perdana Menteri Kekaisaran Jerman di bawah Kaisar Jerman terakhir, menjadikan tempat tersebut untuk mengabadikan kejayaan 'Armada Asia Timur' milik Jerman di bawah Laksamana Graf Spee yang ditenggelamkan armada Britania.
Dengan lambang Salib besi khas Jerman, tempat itu menjadi peristirahatan terakhir para pelaut muda Jerman yang tewas di kedalaman dasar lautan saat melakukan perjalanan ke Indonesia pada perang dunia kedua. Mereka menggunakan kapal selam berteknologi canggih masa itu.
Sementara tahun 1943 Jepang dan Jerman yang bersekutu mendirikan pangkalan laut bersama di Jakarta. Dengan tujuan membongkar blokade armada sekutu agar hasil bumi dari Asia Tenggara dan Timur dapat dikirim ke pelabuhan Eropa, selain menjadi pangkalan logistik kapal selam Jerman sejak tahun 1944. Tercatat kapal selam canggih seperti U168, U196 dan U219 pemah singgah di situ.
Nah, perkebunan miliki Emil dan Helfferich itu juga turut menyumbang bantuan bagi kejayaan tentara Jerman selama berada di wilayah Indonesia. Termasuk mendirikan berbagai fasilitas pendukung bagi anak buah kapal, serta makam untuk para prajurit yang gugur.
Kejatuhan Jerman pada 8 Mei 1945, menjadikan tempat tersebut sebagai tempat penahanan seluruh tentara Jerman yang berada di pulau Jawa. Termasuk tewasnya tiga serdadu Jerman saat dimulai era kekalahan Jepang bulan Agustus 1945.
Dari keterangan M. Muller, mantan awak kapal selam U195, kapal selam canggih tersebut, mengalami nasib buruk. Beberapa perwira tinggi, seperti friederich Stainfield tentara Jerman kelahiran 15 Desember 1914, tewas dan dimakamkan di situ sejak 30 November 1945. Cerita itu juga diperkuat oleh Asep Subandi (85), pelaku sejarah perjuangan kemerdekaan sekaligus penduduk asli di daerah ini. Bahwa makam tersebut adalah kuburan para perwira tinggi Jerman dari angkatan laut. Menurut Asep, satu persatu para perwira yang tenggelam di laut dekat pelabuhan Jakarta tersebut dibawa dan dikuburkan di sini. Karena, tempat tersebut adalah milik orang Jerman, tambah Asep kepada SABILI.
Di era 1970 dan 1980-an, tempat itu sempat jadi obyek wisata bagi warga sekitar. Karena perkebunan teh yang rindang, suara-suara alam yang indah, membuat masyarakat betah berlama-lama berada di kawasan makam.
Bagi warga Cikopo, tempat tersebut dikenal sebagai kawasan 'Area Domas'. Sejarahnya, selama berabad-abad para bangsawan memakamkan para sesepuhnya di daerah yang sejuk di bawah pepohonan beringin yang dianggap keramat di kaki Gunung Pangrango itu. Nisan di sana pernah mencapai 800 buah. Itulah sebabnya di sebut 'Area Domas'.
Namun memasuki abad XVI, para pejuang kerajaan Islam berhasil menaklukkan kerajaan yang berkuasa saat itu. Proses penglslaman masyarakat Sunda pun dimulai, sementara para Brahmana berhasil melarikan diri ke sebuah pegunungan yang terpencil.
Sampai hari ini, Brahmana tersebut berhasil mengucilkan diri dan tidak boleh ada seorang pun yang menginjak tempat persembunyian mereka. Itu yang kini disebut sebagai suku Badui Dalam. Masyarakat pun percaya jalan dari areal makam tentara Nazi menuju Gunung Pangrango, merupakan jalan setapak yang dibuat oleh pemimpin suku Badui Dalam yang pertama.
Belum banyak masyarakat yang tahu tempat makam tersebut. Hanya para veteran perang Jerman yang masih suka berkunjung, atau pun wisatawan Jerman yang ingin mengetahui sejarah perjalanan bangsanya di era perang dunia.
Sementara dari penulusuran sejarah Ridwan Saidi, mereka adalah para perwira Jerman yang sengaja datang ke Indoensia tahun 1932 untuk mengatasi perkembangan Yahudi di Hindia Belanda. Sebelum tentara Nazi menghabisi Yahudi di Polandia tahun 1939, yang memicu lahirnya perang dunia kedua.
Karena, berdasarkan informasi intelijen Hitler, perkembangan Yahudi sudah terlalu mengkhawatirkan di tanah jajahan Belanda, negara yang akhirnya diinvasi oleh Jerman pada Mei 1940. Yahudi keturunan Belanda, atau yang datang bersama Belanda berkembang selama masa penjajahan, sekitar 350 tahun.
(Fadli Rahman & Afriadi, Sabili 15 Juni 2005)
Kawasan yang berada 900 meter di atas permukaan laut tersebut, berubah menjadi perkebunan teh yang maju. Karl Helfferich yang merupakan kakak tertua Emil dan Theodor juga sekaligus Wakil Perdana Menteri Kekaisaran Jerman di bawah Kaisar Jerman terakhir, menjadikan tempat tersebut untuk mengabadikan kejayaan 'Armada Asia Timur' milik Jerman di bawah Laksamana Graf Spee yang ditenggelamkan armada Britania.
Dengan lambang Salib besi khas Jerman, tempat itu menjadi peristirahatan terakhir para pelaut muda Jerman yang tewas di kedalaman dasar lautan saat melakukan perjalanan ke Indonesia pada perang dunia kedua. Mereka menggunakan kapal selam berteknologi canggih masa itu.
Sementara tahun 1943 Jepang dan Jerman yang bersekutu mendirikan pangkalan laut bersama di Jakarta. Dengan tujuan membongkar blokade armada sekutu agar hasil bumi dari Asia Tenggara dan Timur dapat dikirim ke pelabuhan Eropa, selain menjadi pangkalan logistik kapal selam Jerman sejak tahun 1944. Tercatat kapal selam canggih seperti U168, U196 dan U219 pemah singgah di situ.
Nah, perkebunan miliki Emil dan Helfferich itu juga turut menyumbang bantuan bagi kejayaan tentara Jerman selama berada di wilayah Indonesia. Termasuk mendirikan berbagai fasilitas pendukung bagi anak buah kapal, serta makam untuk para prajurit yang gugur.
Kejatuhan Jerman pada 8 Mei 1945, menjadikan tempat tersebut sebagai tempat penahanan seluruh tentara Jerman yang berada di pulau Jawa. Termasuk tewasnya tiga serdadu Jerman saat dimulai era kekalahan Jepang bulan Agustus 1945.
Dari keterangan M. Muller, mantan awak kapal selam U195, kapal selam canggih tersebut, mengalami nasib buruk. Beberapa perwira tinggi, seperti friederich Stainfield tentara Jerman kelahiran 15 Desember 1914, tewas dan dimakamkan di situ sejak 30 November 1945. Cerita itu juga diperkuat oleh Asep Subandi (85), pelaku sejarah perjuangan kemerdekaan sekaligus penduduk asli di daerah ini. Bahwa makam tersebut adalah kuburan para perwira tinggi Jerman dari angkatan laut. Menurut Asep, satu persatu para perwira yang tenggelam di laut dekat pelabuhan Jakarta tersebut dibawa dan dikuburkan di sini. Karena, tempat tersebut adalah milik orang Jerman, tambah Asep kepada SABILI.
Di era 1970 dan 1980-an, tempat itu sempat jadi obyek wisata bagi warga sekitar. Karena perkebunan teh yang rindang, suara-suara alam yang indah, membuat masyarakat betah berlama-lama berada di kawasan makam.
Bagi warga Cikopo, tempat tersebut dikenal sebagai kawasan 'Area Domas'. Sejarahnya, selama berabad-abad para bangsawan memakamkan para sesepuhnya di daerah yang sejuk di bawah pepohonan beringin yang dianggap keramat di kaki Gunung Pangrango itu. Nisan di sana pernah mencapai 800 buah. Itulah sebabnya di sebut 'Area Domas'.
Namun memasuki abad XVI, para pejuang kerajaan Islam berhasil menaklukkan kerajaan yang berkuasa saat itu. Proses penglslaman masyarakat Sunda pun dimulai, sementara para Brahmana berhasil melarikan diri ke sebuah pegunungan yang terpencil.
Sampai hari ini, Brahmana tersebut berhasil mengucilkan diri dan tidak boleh ada seorang pun yang menginjak tempat persembunyian mereka. Itu yang kini disebut sebagai suku Badui Dalam. Masyarakat pun percaya jalan dari areal makam tentara Nazi menuju Gunung Pangrango, merupakan jalan setapak yang dibuat oleh pemimpin suku Badui Dalam yang pertama.
Belum banyak masyarakat yang tahu tempat makam tersebut. Hanya para veteran perang Jerman yang masih suka berkunjung, atau pun wisatawan Jerman yang ingin mengetahui sejarah perjalanan bangsanya di era perang dunia.
Sementara dari penulusuran sejarah Ridwan Saidi, mereka adalah para perwira Jerman yang sengaja datang ke Indoensia tahun 1932 untuk mengatasi perkembangan Yahudi di Hindia Belanda. Sebelum tentara Nazi menghabisi Yahudi di Polandia tahun 1939, yang memicu lahirnya perang dunia kedua.
Karena, berdasarkan informasi intelijen Hitler, perkembangan Yahudi sudah terlalu mengkhawatirkan di tanah jajahan Belanda, negara yang akhirnya diinvasi oleh Jerman pada Mei 1940. Yahudi keturunan Belanda, atau yang datang bersama Belanda berkembang selama masa penjajahan, sekitar 350 tahun.
(Fadli Rahman & Afriadi, Sabili 15 Juni 2005)