Tony Clarke dalam bukunya "The Case Against Global Economy (2001)" berhasil memetakan seratus pemain ekonomi dunia. Dari seratus pemain itu, 52 di antaranya adalah korporasi multinasional dan transnasional (TNCs/ MNCs).
Sementara setengah dari seluruh investasi dunia, sahamnya dimiliki oleh TNCs dan 443 dari 500 perusahaan terkaya di dunia, AS 185 perusahaan, Eropa 158 dan Jepang 100 perusahaan. Perusahaan-perusahaan inilah yang menjadi lokomotif sistem ekonomi neoliberal.
Bersimbiosis dengan lembaga pendanaan dunia, seperti IMF dan World Bank, perusahaan kapitalis itu terus berupaya mencengkeram negara-negara ketiga.
Untuk memuluskan upaya itu, dimunculkan kesepakatan atau perjanjian scjumlah negara, diantaranya, Perjanjian Umum mengenai TariF dan Perdagangan (GATT), yang melahirkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), Perjanjian Maastricht untuk Uni Eropa, Wilayah Perdagangan Bebas Amerika (FTAA), Perjanjian Perdagangan Bebas Asia (AFTA).
Secara sistematis, kongkalikong itu membuat perencanaan sosial, politik, dan ekonomi baru dunia setelah "Revoiusi Industri".
Di Indonesia, para agen globalisasi itu menentukan bagaimana divestasi dan privatisasi harus dilaksanakan. Mereka mensyaratkan divestasi dan privatisasi itu dalam perjanjian pinjaman yang akan mereka berikan terhadap Indonesia.
ADB, misalnya, pada 2001, mengharuskan Jakarta melakukan privatisasi BUMN sebagai syarat pencairan kredit senilai USS 250 juta (sekilar Rp 2,4 triliun). Pencairan dana itu dibuat tersendat, dengan alasan Jakarta belum melaksanakan program privatisasi BUMN sesuai kesepakatan sebelumnya.
Sedangkan IMF selalu mempersyaratkan privatisasi dalam letter of intent (LoI) yang harus ditandalangani oleh pemerintah Indonesia dalam rangka mendapatkan utang dari mereka.
Privatisasi yang diperintahkan IMF tersebut tidak hanya ditujukan untuk memperbaiki kinerja BUMN, tetapi secara langsung diarahkan untuk mengubah status kepemilikan BUMN menjadi perusahaan swasta.
Berdasarkan pernyataan Direktur IMF Kawasan Asia Pasifik, Hubert Neiss, pada Februari 1998, bahwa pasar Asia diupayakan akan lebih banyak dikuasai bank asing sebagai konsekuensi dari persetujuan yang ditandatangani dengan IMF.
Kasus-kasus divestasi dan privatisasi telah berlangsung di Indonesia sejak pasca krisis ekonomi. Tentu saja, BUMN yang divestasi ataupun privatisasi perusahaan yang masuk dalam kategori "blue chip" di pasar saham.
Tidak heran jika sebagian besar perusahaan itu adaiah perusahaan sektor perbankan dan telekomunikasi.
Sementara setengah dari seluruh investasi dunia, sahamnya dimiliki oleh TNCs dan 443 dari 500 perusahaan terkaya di dunia, AS 185 perusahaan, Eropa 158 dan Jepang 100 perusahaan. Perusahaan-perusahaan inilah yang menjadi lokomotif sistem ekonomi neoliberal.
Bersimbiosis dengan lembaga pendanaan dunia, seperti IMF dan World Bank, perusahaan kapitalis itu terus berupaya mencengkeram negara-negara ketiga.
Untuk memuluskan upaya itu, dimunculkan kesepakatan atau perjanjian scjumlah negara, diantaranya, Perjanjian Umum mengenai TariF dan Perdagangan (GATT), yang melahirkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), Perjanjian Maastricht untuk Uni Eropa, Wilayah Perdagangan Bebas Amerika (FTAA), Perjanjian Perdagangan Bebas Asia (AFTA).
Secara sistematis, kongkalikong itu membuat perencanaan sosial, politik, dan ekonomi baru dunia setelah "Revoiusi Industri".
Di Indonesia, para agen globalisasi itu menentukan bagaimana divestasi dan privatisasi harus dilaksanakan. Mereka mensyaratkan divestasi dan privatisasi itu dalam perjanjian pinjaman yang akan mereka berikan terhadap Indonesia.
ADB, misalnya, pada 2001, mengharuskan Jakarta melakukan privatisasi BUMN sebagai syarat pencairan kredit senilai USS 250 juta (sekilar Rp 2,4 triliun). Pencairan dana itu dibuat tersendat, dengan alasan Jakarta belum melaksanakan program privatisasi BUMN sesuai kesepakatan sebelumnya.
Sedangkan IMF selalu mempersyaratkan privatisasi dalam letter of intent (LoI) yang harus ditandalangani oleh pemerintah Indonesia dalam rangka mendapatkan utang dari mereka.
Privatisasi yang diperintahkan IMF tersebut tidak hanya ditujukan untuk memperbaiki kinerja BUMN, tetapi secara langsung diarahkan untuk mengubah status kepemilikan BUMN menjadi perusahaan swasta.
Berdasarkan pernyataan Direktur IMF Kawasan Asia Pasifik, Hubert Neiss, pada Februari 1998, bahwa pasar Asia diupayakan akan lebih banyak dikuasai bank asing sebagai konsekuensi dari persetujuan yang ditandatangani dengan IMF.
Kasus-kasus divestasi dan privatisasi telah berlangsung di Indonesia sejak pasca krisis ekonomi. Tentu saja, BUMN yang divestasi ataupun privatisasi perusahaan yang masuk dalam kategori "blue chip" di pasar saham.
Tidak heran jika sebagian besar perusahaan itu adaiah perusahaan sektor perbankan dan telekomunikasi.
Sektor yang dikuasai Singapura:
1) Sektor Telekomunikasi. Pada 2002, 42 persen saham Indosat diprivatisasi dijual kepada STT Telecom Singapura. Kepemilikan STT Telecom tersebut merupakan saham mayoritas, sehingga memiliki hak yang menentukan arah perusahaan.
Penjualan itu akan membahayakan kepentingan nasional, mengingat Indosat merupakan perusahaan operator satelit dan komunikasi yang dipandang sebagai hajat hidup orang banyak yang sesuai konstitusi seharusnya dikuasai oleh negara.
2) Sektor Perbankan. Saham bank-bank swasta terbesar di Indonesia yang sempat dimiliki pemerintah melalui program-program penyehatan perbankan, sudah dikuasai asing melalui divestasi yang dilakukan oleh BPPN dan PT PPA (Persero).
PT Bank Danamon Tbk, 65,76 persen sahamnya telah dikuasai Konsorsium Temasek Holding dan Deutsche Bank. Begitu pula dengan PT Bank Central Asia Tbk (BCA), telah dikuasai Farindo Investments (Faralion). Bank Internasional Indonesia (BII), Bank Niaga, Bank Permata, Bank NISP juga sudah dikuasai asing. Bank-bank tersebut telah merambah ke tingkat kabupaten, kecamatan, desa-desa dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
3) Sektor Persemenan. PT Semen Gresik Tbk yang di bawahnya bergabung PT Semen Padang, dan PT Semen Tonasa, 25,38 persen sahamnya telah dikuasai Cemex Asia Ltd, Meksiko. PT Indocement Tunggal Prakarsa, sekitar 70 persen sahamnya telah dikuasai Heidelberger.
(Sumber : Tabloid INTELIJEN No. 15 Th. III/2006)
1) Sektor Telekomunikasi. Pada 2002, 42 persen saham Indosat diprivatisasi dijual kepada STT Telecom Singapura. Kepemilikan STT Telecom tersebut merupakan saham mayoritas, sehingga memiliki hak yang menentukan arah perusahaan.
Penjualan itu akan membahayakan kepentingan nasional, mengingat Indosat merupakan perusahaan operator satelit dan komunikasi yang dipandang sebagai hajat hidup orang banyak yang sesuai konstitusi seharusnya dikuasai oleh negara.
2) Sektor Perbankan. Saham bank-bank swasta terbesar di Indonesia yang sempat dimiliki pemerintah melalui program-program penyehatan perbankan, sudah dikuasai asing melalui divestasi yang dilakukan oleh BPPN dan PT PPA (Persero).
PT Bank Danamon Tbk, 65,76 persen sahamnya telah dikuasai Konsorsium Temasek Holding dan Deutsche Bank. Begitu pula dengan PT Bank Central Asia Tbk (BCA), telah dikuasai Farindo Investments (Faralion). Bank Internasional Indonesia (BII), Bank Niaga, Bank Permata, Bank NISP juga sudah dikuasai asing. Bank-bank tersebut telah merambah ke tingkat kabupaten, kecamatan, desa-desa dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
3) Sektor Persemenan. PT Semen Gresik Tbk yang di bawahnya bergabung PT Semen Padang, dan PT Semen Tonasa, 25,38 persen sahamnya telah dikuasai Cemex Asia Ltd, Meksiko. PT Indocement Tunggal Prakarsa, sekitar 70 persen sahamnya telah dikuasai Heidelberger.
(Sumber : Tabloid INTELIJEN No. 15 Th. III/2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar