Barangkali, tak tepat benar. Tapi di kalangan ekonom Indonesia, kini berkembang. sinisme yang mengatakan, ada ribuan-bahkan jutaan-alasan untuk memvonis sepak terjang "Mafia Berkeley" lebih kejam ketimbang praktik mafioso yang dijalankan Keluarga Corleono dalam trilogi The Godfather. Ribuan dan jutaan alasan itu adalah nasib rakyat Indonesia yang sampai saat ini masih berada di bawah garis kemiskinan gara-gara kebijakan ekonomi yang terlalu memihak pada pasar bebas dan pro-IMF serta Bank Dunia.
Tahun ini, tepat 51 tahun mulai berseminya mazhab liberal yang dibawa para teknokrat dan ahli ekonomi alumni University of California, Berkeley, itu. Uniknya, perayaannya tak dilakukan para penganutnya. Melainkan oleh para 'pengagumnya', yakni mereka yang justru kerap mengkritisi kebijakan-kebijakan Mafia Berkeley itu.
Menurut para 'pengagum' Mafia Berkeley tersebut, 50 tahun keberadaan mereka di Indonesia hanya menyumbangkan satu hal. Yakni, kegagalan Indonesia menjadi negara yang sejahtera dan besar di Asia Tenggara. "Kita semakin ketinggalan dari segi pendapatan perkapita, distribusi pendapatan paling timpang, stok utang paling besar, dan landasan struktural dan industri yang paling rapuh," ujar mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli, dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley Vs Alternatif Sistem Perekonomian Indonesia, Senin 5 Juni 2006.
Menurut Rizal, nyaris tak ada kasus sejenis di dunia, di mana sekelompok ekonom berkuasa selama hampir 40 tahun-sejak pertengahan 1950-an hingga sekarang. Para ekonom itu, seakan turun-temurun melanggengkan arah, strategi, dan kebijakan ekonomi nasional.
Peran Ford Foundation
Kelahiran istilah Mafia Berkeley dibidani oleh Ford Foundation dan Rockefeller Foundation. Pada dekade 1950-1960 keduanya membidik para mahasiswa cerdas Indonesia untuk disekolahkan ke University of California, Berkeley. Kepentingan AS sangat jelas, mengganjal laju komunisme dan paham ekonominya di Indonesia.
Dari sana, lahirlah Prof Sumitro Djojohadikusumo, yang kerap dijuluki "begawan ekonomi Indonesia." Generasi berikutnya diperankan oleh Prof Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, dan JB Sumarlin. Kini. mazhab itu -sengaja atau tidak- terwariskan kepada figur-figur yang pernah dan sedang berada di pusat kekuasaan, seperti Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Jusuf Anwar, Boediono, Sri Mulyani, atau bahkan ekonom muda yang tidak sekolah di Berkeley, semacam Chatib Basri dari LPEM UI.
Rizal menilai, kebijakan yang mereka ambil secara prinsip satu jalur dengan kebijakan ekonomi generik ala IMF dan Bank Dunia. Di mana untuk tiap masalah ekonomi di negara-negara berkembang atau belum berkembang, hanya ada satu jawaban, liberalisasi di segala bidang. Jauhkan tangan pemerintah terhadap kinerja ekonomi, biarkan invisible hands dari Adam Smith yang mengatur pasar.
Garis kebijakan para ekonom Berkeley dikenal dengan sebutan "Konsensus Washington" -yaitu kebijakan anggaran yang ketat dan penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan, liberalisasi industri dan perdagangan, serta privatisasi aset-aset pemerintah yang strategis.
"Sekilas program Konsensus Washington ini sangat wajar dan netral, namun dibaliknya tersembunyi kepentingan negara-negara maju yang merupakan kreditor utama utang luar negeri Indonesia," jelas Rizal, yang memang amat anti-IMF
Asing yang untung
Bagi mantan kepala Bappenas, Kwik Kian Gie, sepak terjang Mafia Bekeley bisa terlihat dari keputusan pemerintah terhadap investor asing di perusahaan minyak. "Kita punya sangat banyak insinyur pertambangan lulusan luar negeri tapi 92 persen hasil minyak kita justru dieksploitasi oleh perusahaan asing. Pertamina hanya kebagian delapan persen," kata Kwik.
Lalu, apa komentar para penganut mazhab Berkeley terhadap sinisme para penentangnya tadi. Jawaban Menkeu Sri Mulyani saat raker dengan Komisi XI beberapa waktu lalu barangkali bisa mewakili.
"Saya tetap bekerja untuk Indonesia, bukan untuk IMF. Jangan mentang-mentang saya sekolah di luar (negeri) lalu dijuluki Mafia Berkeley, maka saya dianggap tidak punya nasionalisme," sergah Sri Mulyani.
Tapi, fakta yang terjadi saat ini tentu lebih jernih menilai. Yakni, pertumbuhan ekonomi yang lambat, tumpukan utang luar negeri yang menggunung, sektor riil ogah bergerak, pengangguran meningkat, serta pemerataan pembangunan yang masih sebatas mimpi.
Tahun ini, tepat 51 tahun mulai berseminya mazhab liberal yang dibawa para teknokrat dan ahli ekonomi alumni University of California, Berkeley, itu. Uniknya, perayaannya tak dilakukan para penganutnya. Melainkan oleh para 'pengagumnya', yakni mereka yang justru kerap mengkritisi kebijakan-kebijakan Mafia Berkeley itu.
Menurut para 'pengagum' Mafia Berkeley tersebut, 50 tahun keberadaan mereka di Indonesia hanya menyumbangkan satu hal. Yakni, kegagalan Indonesia menjadi negara yang sejahtera dan besar di Asia Tenggara. "Kita semakin ketinggalan dari segi pendapatan perkapita, distribusi pendapatan paling timpang, stok utang paling besar, dan landasan struktural dan industri yang paling rapuh," ujar mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli, dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley Vs Alternatif Sistem Perekonomian Indonesia, Senin 5 Juni 2006.
Menurut Rizal, nyaris tak ada kasus sejenis di dunia, di mana sekelompok ekonom berkuasa selama hampir 40 tahun-sejak pertengahan 1950-an hingga sekarang. Para ekonom itu, seakan turun-temurun melanggengkan arah, strategi, dan kebijakan ekonomi nasional.
Peran Ford Foundation
Kelahiran istilah Mafia Berkeley dibidani oleh Ford Foundation dan Rockefeller Foundation. Pada dekade 1950-1960 keduanya membidik para mahasiswa cerdas Indonesia untuk disekolahkan ke University of California, Berkeley. Kepentingan AS sangat jelas, mengganjal laju komunisme dan paham ekonominya di Indonesia.
Dari sana, lahirlah Prof Sumitro Djojohadikusumo, yang kerap dijuluki "begawan ekonomi Indonesia." Generasi berikutnya diperankan oleh Prof Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, dan JB Sumarlin. Kini. mazhab itu -sengaja atau tidak- terwariskan kepada figur-figur yang pernah dan sedang berada di pusat kekuasaan, seperti Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Jusuf Anwar, Boediono, Sri Mulyani, atau bahkan ekonom muda yang tidak sekolah di Berkeley, semacam Chatib Basri dari LPEM UI.
Rizal menilai, kebijakan yang mereka ambil secara prinsip satu jalur dengan kebijakan ekonomi generik ala IMF dan Bank Dunia. Di mana untuk tiap masalah ekonomi di negara-negara berkembang atau belum berkembang, hanya ada satu jawaban, liberalisasi di segala bidang. Jauhkan tangan pemerintah terhadap kinerja ekonomi, biarkan invisible hands dari Adam Smith yang mengatur pasar.
Garis kebijakan para ekonom Berkeley dikenal dengan sebutan "Konsensus Washington" -yaitu kebijakan anggaran yang ketat dan penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan, liberalisasi industri dan perdagangan, serta privatisasi aset-aset pemerintah yang strategis.
"Sekilas program Konsensus Washington ini sangat wajar dan netral, namun dibaliknya tersembunyi kepentingan negara-negara maju yang merupakan kreditor utama utang luar negeri Indonesia," jelas Rizal, yang memang amat anti-IMF
Asing yang untung
Bagi mantan kepala Bappenas, Kwik Kian Gie, sepak terjang Mafia Bekeley bisa terlihat dari keputusan pemerintah terhadap investor asing di perusahaan minyak. "Kita punya sangat banyak insinyur pertambangan lulusan luar negeri tapi 92 persen hasil minyak kita justru dieksploitasi oleh perusahaan asing. Pertamina hanya kebagian delapan persen," kata Kwik.
Lalu, apa komentar para penganut mazhab Berkeley terhadap sinisme para penentangnya tadi. Jawaban Menkeu Sri Mulyani saat raker dengan Komisi XI beberapa waktu lalu barangkali bisa mewakili.
"Saya tetap bekerja untuk Indonesia, bukan untuk IMF. Jangan mentang-mentang saya sekolah di luar (negeri) lalu dijuluki Mafia Berkeley, maka saya dianggap tidak punya nasionalisme," sergah Sri Mulyani.
Tapi, fakta yang terjadi saat ini tentu lebih jernih menilai. Yakni, pertumbuhan ekonomi yang lambat, tumpukan utang luar negeri yang menggunung, sektor riil ogah bergerak, pengangguran meningkat, serta pemerataan pembangunan yang masih sebatas mimpi.
(Republika, Selasa 6 Juni 2006, Halaman 1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar