Gejala separatisme semakin menguat kemunculannya di Indonesia, dengan dua contoh paling kuat saat ini adalah di Aceh dan Papua. Di satu sisi, separatisme mengancam konsepsi nation-state yang ditopang oleh ide integritas teritorial dan bangun ke-Indonesia-an kita. Sementara itu, di sisi lain separatisme juga sangat erat berkaitan dengan hak paling mendasar dari segala bangsa dan manusia di dunia untuk menentukan nasib dan kemajuannya sendiri.
Mengingat hal-hal tersebut, menjadi masuk akal apabila gerakan-gerakan separatisme yang menuntut penentuan nasib sendiri umumnya terjadi dalam bentuk-bentuk perjuangan bersenjata, sekecil apa pun tingkat kekerasannya, misalnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua. Di samping itu, karena relatif kecilnya keberhasilan separatisme dengan mengandalkan perlawanan bersenjata, cita-cita self determination sudah mulai tergantikan oleh prinsip-prinsip self governing, sebagaimana terwujud dalam tuntutan desentralisasi, mulai dari tingkat paling umum seperti otonomi, hingga tuntutan bagi terbentuknya federalisme. Prinsip self determination ini dieliminasi oleh Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bernomor 1541 yang menegaskan bahwa bangsa-bangsa yang telah menjadi komponen populasi suatu negara pasca kolonial tidak lagi memiliki hak penentuan nasib sendiri (yang hanya dimiliki oleh negara terjajah). Jelasnya, Resolusi 1541 ini menyatakan bahwa suatu wilayah dapat diklasifikasikan sebagai wilayah tanpa pemerintahan (non self governing) dan populasi wilayah tersebut memiliki hak menentukan nasib sendiri hanya jika wilayah tersebut memiliki pemisahan geografis yang jelas dengan negara administratif dan populasi dalam wilayah tersebut memiliki etnis atau budaya yang berbeda dengan negara administratif Belanda berhasil membuat Inggris menyetujui Traktat Sumatera tahun 1871 yang antara lain menyebutkan menyebutkan bahwa Belanda bebas untuk memperluas kekuasaannya di seluruh Sumatera, dan karenanya tidak perlu mengindahkan lagi Traktat London.
Saat ini, mata dunia internasional terpancang ke Indonesia atas rencana pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid menggelar operasi militer untuk menghentikan gerakan menuntut kemerdekaan yang dikumandangkan oleh GAM. Padahal, awalnya GAM adalah komunitas minimal, yang tidak mendapat dukungan ataupun simpati dari penduduk Aceh. GAM menemukan daya hidupnya kembali setelah lumpuh dari operasi counter insurgency semasa diberlakukannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), setelah gerakan damai mahasiswa Aceh menuntut referendum mulai dihadapi dengan kekerasan. Akibatnya, GAM menumbuhkan kembali wacana ethno nationalism Aceh, yang membangkitkan romantisme perjuangan rakyat Aceh.
Keadaan di Aceh sudah berkembang sedemikian rupa sehingga pemerintah Indonesia berada dalam posisi dilematis. Proses demokratisasi telah menyebabkan semakin rumitnya persoalan. Dilema yang muncul atas pemisahan TNI dan Polri menyebabkan terjadinya disorientasi terhadap cara pandang penanganan, tidak hanya dalam masalah Aceh tetapi juga Papua dan titik-titik konflik lainnya. Tuntutan untuk menghormati hak asasi manusia dan kewajiban menjaga keutuhan teritorial, pemerintah tampak lamban dalam menyelesaikan masalah Aceh.
Usaha damai melalui jalan perundingan dengan pihak GAM melalui Jeda Kemanusiaan terbukti hanya menunda sementara konflik dan tidak menyelesaikannya. Bahkan, perjanjian tersebut telah menjadikan kondisi semakin rumit bagi pemerintah Indonesia. Perjanjian yang difasilitasi Henry Dunant Center tersebut secara tidak langsung memposisikan pemerintah Indonesia sebagai negara berdaulat sejajar dengan GAM yang dinyatakannya sebagai gerakan separatisme. Akibatnya, pada derajat tertentu, GAM telah memperoleh keuntungan diplomatis dan simpati internasional.
Perseteruan eksekutif dan legislatif juga menyebabkan pemerintah kesulitan menyelesaikan persoalan Aceh secara komprehensif. Akibatnya, pemerintah seolah-olah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap penyelesaian masalah Aceh. Seharusnya terjadi burden-sharing terhadap persoalan ini dengan lembaga legislatif. Seperti penyediaan payung hukum dan politik yang lebih kongkret untuk menghentikan pergolakan di Aceh.
Keraguan pemerintah dalam menerapkan tindakan tegas untuk menyelesaikan persoalan Aceh, sedikit banyak serupa dengan situasi Amerika Serikat pada saat Perang Vietnam. Karena itu, setiap tindakan militer untuk masalah Aceh harus dilakukan hati-hati dan memperhatikan aspek winning the heart and minds of'the people, dalam pengertian tidak hanya memenangkan dukungan dan simpati dari penduduk Aceh sendiri, tetapi juga dukungan dari seluruh rakyat Indonesia.
Mengingat hal-hal tersebut, menjadi masuk akal apabila gerakan-gerakan separatisme yang menuntut penentuan nasib sendiri umumnya terjadi dalam bentuk-bentuk perjuangan bersenjata, sekecil apa pun tingkat kekerasannya, misalnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua. Di samping itu, karena relatif kecilnya keberhasilan separatisme dengan mengandalkan perlawanan bersenjata, cita-cita self determination sudah mulai tergantikan oleh prinsip-prinsip self governing, sebagaimana terwujud dalam tuntutan desentralisasi, mulai dari tingkat paling umum seperti otonomi, hingga tuntutan bagi terbentuknya federalisme. Prinsip self determination ini dieliminasi oleh Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bernomor 1541 yang menegaskan bahwa bangsa-bangsa yang telah menjadi komponen populasi suatu negara pasca kolonial tidak lagi memiliki hak penentuan nasib sendiri (yang hanya dimiliki oleh negara terjajah). Jelasnya, Resolusi 1541 ini menyatakan bahwa suatu wilayah dapat diklasifikasikan sebagai wilayah tanpa pemerintahan (non self governing) dan populasi wilayah tersebut memiliki hak menentukan nasib sendiri hanya jika wilayah tersebut memiliki pemisahan geografis yang jelas dengan negara administratif dan populasi dalam wilayah tersebut memiliki etnis atau budaya yang berbeda dengan negara administratif Belanda berhasil membuat Inggris menyetujui Traktat Sumatera tahun 1871 yang antara lain menyebutkan menyebutkan bahwa Belanda bebas untuk memperluas kekuasaannya di seluruh Sumatera, dan karenanya tidak perlu mengindahkan lagi Traktat London.
Saat ini, mata dunia internasional terpancang ke Indonesia atas rencana pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid menggelar operasi militer untuk menghentikan gerakan menuntut kemerdekaan yang dikumandangkan oleh GAM. Padahal, awalnya GAM adalah komunitas minimal, yang tidak mendapat dukungan ataupun simpati dari penduduk Aceh. GAM menemukan daya hidupnya kembali setelah lumpuh dari operasi counter insurgency semasa diberlakukannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), setelah gerakan damai mahasiswa Aceh menuntut referendum mulai dihadapi dengan kekerasan. Akibatnya, GAM menumbuhkan kembali wacana ethno nationalism Aceh, yang membangkitkan romantisme perjuangan rakyat Aceh.
Keadaan di Aceh sudah berkembang sedemikian rupa sehingga pemerintah Indonesia berada dalam posisi dilematis. Proses demokratisasi telah menyebabkan semakin rumitnya persoalan. Dilema yang muncul atas pemisahan TNI dan Polri menyebabkan terjadinya disorientasi terhadap cara pandang penanganan, tidak hanya dalam masalah Aceh tetapi juga Papua dan titik-titik konflik lainnya. Tuntutan untuk menghormati hak asasi manusia dan kewajiban menjaga keutuhan teritorial, pemerintah tampak lamban dalam menyelesaikan masalah Aceh.
Usaha damai melalui jalan perundingan dengan pihak GAM melalui Jeda Kemanusiaan terbukti hanya menunda sementara konflik dan tidak menyelesaikannya. Bahkan, perjanjian tersebut telah menjadikan kondisi semakin rumit bagi pemerintah Indonesia. Perjanjian yang difasilitasi Henry Dunant Center tersebut secara tidak langsung memposisikan pemerintah Indonesia sebagai negara berdaulat sejajar dengan GAM yang dinyatakannya sebagai gerakan separatisme. Akibatnya, pada derajat tertentu, GAM telah memperoleh keuntungan diplomatis dan simpati internasional.
Perseteruan eksekutif dan legislatif juga menyebabkan pemerintah kesulitan menyelesaikan persoalan Aceh secara komprehensif. Akibatnya, pemerintah seolah-olah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap penyelesaian masalah Aceh. Seharusnya terjadi burden-sharing terhadap persoalan ini dengan lembaga legislatif. Seperti penyediaan payung hukum dan politik yang lebih kongkret untuk menghentikan pergolakan di Aceh.
Keraguan pemerintah dalam menerapkan tindakan tegas untuk menyelesaikan persoalan Aceh, sedikit banyak serupa dengan situasi Amerika Serikat pada saat Perang Vietnam. Karena itu, setiap tindakan militer untuk masalah Aceh harus dilakukan hati-hati dan memperhatikan aspek winning the heart and minds of'the people, dalam pengertian tidak hanya memenangkan dukungan dan simpati dari penduduk Aceh sendiri, tetapi juga dukungan dari seluruh rakyat Indonesia.
("Menguak Tabir Perjuangan Suripto", Aksara Karunia, Jakarta, 2001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar