Kekuatan Fukuyama terletak pada kemampuannya menetapkan dengan sangat cepat proses stabilisasi di luar dunia Barat. Tetapi persepsi masyarakat, seperti yang terlihat, masih sangat dipengaruhi oleh determinisme ekonomis. Mereka tidak melihat pendidikan sebagai faktor penting dalam sejarah dan hanya sedikit menaruh perhatian pada demografi. Mereka tidak menyadari bahwa angka melek huruf adalah variabel bebas yang menjelaskan esensi kemajuan demokrasi dan individualisme. Kesalahan besarnya karena mengakhiri sejarah berdasarkan pada generalisasi demokrasi liberal yang spekulatif dan mengambil kesimpulan bahwa bentuk pcmerintahan ideal adalah mereka yang mengakhiri sejarahnya ketika demokrasi telah tercapai. Tetapi apakah demokrasi hanya diasumsikan sebagai sebuah tingkat budaya tertentu pada sistem politik—angka melek huruf rakyat biasa misalnya-? Dalam konteks ini, kemajuan berkelanjutan dibidang pendidikan dan pembelajaran pada tahap lanjut, pada dasarnya membutuhkan demokrasi di tempat-tempat dimana demokrasi pertama kali muncul.
Pendidikan lanjutan dan terutama pendidikan tinggi memasukkan kembali perbedaan yang diperkirakan ke dalam organisasi mental dan ideologis masyarakat berkembang. Setelah melewati periode keraguan dan keberatan yang relatif singkat, masyarakat yang sangat terpelajar ["eduques superieurs"] akhirnya menyadari bahwa mereka benar-benar unggul. Di negara-negara berkembang, scbuah kelompok baru yang terdiri dari kira-kira 20% jumlah total populasi segera muncul dan mereka hanya mengelola sckitar setengah dari kekayaan negara. Mereka dengan tegas menolak pembatasan hak pilih universal.
Untuk beberapa saat, peningkatan angka melek huruf menghidupkan dunia De Tocqueville yang gerakan demokrasinya, "providentielle", nyaris menjadi pengaruh kehendak yang hebat. Saat ini, kemajuan pendidikan menghasilkan "sistem" jenis lain yang menjadi malapetaka, oligarki. Sebuah kemunculan yang pernah terjadi dan mengejutkan di 'alam Aristoteles' yang bisa mengganti demokrasi dengan oligarki.
Ketika mulai menguasai Eurasia, demokrasi justru semakin melemah di tempat-tempat kelahirannya. Masyarakat Amerika beranjak ke sistem kekuasaan yang pada dasarnya tidak egaliter. Sebuah fenomena yang diprediksikan dengan sempurna oleh Michael Lind dalam The Next American Nation. Dalam catatan khusus di bukunya, ia mendeskripsikan sistematik pertama tentang golongan atas orang Amerika pasca demokratis yang baru: "golongan paling atas."
Perancis tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam sistem demokrasi dengan Amerika Serikat, Mereka adalah "negara-negara demokrasi" aneh dengan sistem politik yang mempertarungkan elitisme dan populisme dengan vice versa. Meskipun secara teori memiliki hak pilih universal, nyatanya para elit—baik yang pro ataupun yang anti status quo—menghalangi beberapa reorientasi kebijakan ekonomi yang akan memperbesar persamaan. Sebuah dunia yang sangat aneh dimana kampanye besar-besaran di media hanya menghasilkan pemungutan suara yang hanya memperpanjang kekuasaan status quo. Pcmahaman politik secara kompromi diantara elit tersebut yang merupakan refleksi keberadaan bahasa "unggul" yang umum diantara mereka, menutup beberapa celah perkembangan sistem politik, bahkan ketika hak pilih universal tampak mengindikasikan sebuah krisis. Terpilihnya George Bush sebagai presiden pada tahap akhir pemilu, menyisakan tanda tanya besar seputar akurasi kemenangannya. Tidak lama berselang, di Perancis, negara republik bersejarah yang agung, hanya ada skenario lawan— sejauh ini menegaskan logika aneh Sacha Guitry tentang identitas lawan. Di Perancis, ada seorang presiden dipilih oleh 82% pemilih. Namun, suara rakyat Perancis yang mendekati bulat tersebut imbas dari larangan bekerja secara sosiologis dan politis, sehingga muncul 20% suara paling rendah ["20% d'en bas"] hingga 20% suara paling tinggi [20% d'en baut"], yang pada pemilihan tersebut juga dibatasi secara ideologis rata-rata 60% suara. Tetapi pada kedua kasus tersebut hasilnya sama, proses pemilihan tersebut tidak memiliki kepentingan praktis dan jumlah pemilih yang ambil bagian semakin menurun.
Di Inggris Raya, mekanisme restratifikasi budaya yang sama sedang berjalan. Mekanisme tersebut sudah sejak awal dianalisa oleh Michael Young dalam kajiannya yang singkat dan spekulatif, The Rise of the Meritocracy (1958). Dengan mempertimbangkan sejarah terkini aristokratiknya yang meneruskan sistem klasifikasi dengan tekanan yang jelas, transisi Inggris ke arah oligarki dari Barat di dunia baru bisa berjalan mulus. Kenyataannya, kelas elit rakyat yang baru di Amerika merasa iri dengan Inggris. Hal ini menunjukkan sudut Anglophile mereka dan romantisme akan Victorian (Kemenangan) di masa lalu yang tidak dimilikinya.
Oleh karena itu, tidak akurat dan memadai jika dinyatakan hahwa krisis demokrasi hanya berpengaruh pada Amerika Serikat. Inggris Raya dan Perancis, dua negara liberal tua yang terkait secara historis dengan demokrasi Amerika, terlibat dalam proses pendewasaan oligarki yang sejajar. Tetapi dalam sistem politik dan ekonomi baru yang diadopsi secara global, Inggris Raya dan Perancis berada diantara para penguasa, dan karenanya harus memperhatikan keseimbangan perdagangan internasionalnya. Akhirnya, arus perkembangan sosial Inggris Raya dan Perancis terpisah dalam beberapa hal dari arus perkembangan Amerika Serikat. Jadi, tidak terbayangkan bahwa suatu hari "oligarki dari Barat" tidak bisa diceritakan seperti cerita "demokrasi dari Barat" sebelumnya.
Inilah perubahan arus utama kedua yang menjelaskan ketegangan hubungan antara Amerika Serikat dan negara-negara lain. Menjalarnya demokrasi di seluruh belahan dunia semakin menutupi kelemahan demokrasi di tempat asalnya. Perubahan arus ini merupakan penyakit yang dirasakan oleh para aktor—baik politik maupun intelektual—di tingkat dunia. Dan Amerika, dengan dalih kebebasan dan persamaan tetap bersikap tenang dan fasih berbicara, melebihi kebiasaan sinisme. Dan demokratisasi di dunia tentu saja tidak seperti yang disadari sepenuhnya.
Namun, peralihan Amerika Serikat ke dalam fase oligarki yang baru ini menggugurkan beberapa aplikasi hukum Doyle menyangkut konsekuensi logis dari penyebaran demokrasi liberal. Kemungkinan aksi agresif kelompok penguasa yang diatur dengan buruk dan kebijakan militer yang sangat berani, juga bisa dibayangkan.
Sebenarnya, jika hipotesis kecenderungan Amerika ke arah oligarki dapat membatasi validitas hukum Doyle, maka hipotesis tersebut dapat mencegah pengabaian atau peraguan realitas empiris Amerika yang agresif. Bahkan hipotesis strategis agresi Amerika ke negara-negara demokrasi lain, baru atau lama tidak bisa dikesampingkan, Cara melihat dunia ini berguna sebagai penyeimbang, sebenarnya dengan cara yang agak licik, bagi "para idealis" Anglo Saxon yang berharap penyebaran demokrasi liberal akan mengakhiri konflik militer, dan "realis" yang menjadi imbangannya yang memahami hubungan internasional sebagai ruang anarkis yang digunakan oleh negara-negara agresif untuk berperang terus menerus. Jika ide tersebut dipahami bahwa demokrasi liberal menghadirkan perdamaian, maka juga harus diakui bahwa demokrasi liberal yang bertambah buruk bisa menimbulkan perang kembali. Meskipun hukum Doyle benar, tetapi tidak akan pernah ada perdamaian abadi dalam semangat Kantian.
Pendidikan lanjutan dan terutama pendidikan tinggi memasukkan kembali perbedaan yang diperkirakan ke dalam organisasi mental dan ideologis masyarakat berkembang. Setelah melewati periode keraguan dan keberatan yang relatif singkat, masyarakat yang sangat terpelajar ["eduques superieurs"] akhirnya menyadari bahwa mereka benar-benar unggul. Di negara-negara berkembang, scbuah kelompok baru yang terdiri dari kira-kira 20% jumlah total populasi segera muncul dan mereka hanya mengelola sckitar setengah dari kekayaan negara. Mereka dengan tegas menolak pembatasan hak pilih universal.
Untuk beberapa saat, peningkatan angka melek huruf menghidupkan dunia De Tocqueville yang gerakan demokrasinya, "providentielle", nyaris menjadi pengaruh kehendak yang hebat. Saat ini, kemajuan pendidikan menghasilkan "sistem" jenis lain yang menjadi malapetaka, oligarki. Sebuah kemunculan yang pernah terjadi dan mengejutkan di 'alam Aristoteles' yang bisa mengganti demokrasi dengan oligarki.
Ketika mulai menguasai Eurasia, demokrasi justru semakin melemah di tempat-tempat kelahirannya. Masyarakat Amerika beranjak ke sistem kekuasaan yang pada dasarnya tidak egaliter. Sebuah fenomena yang diprediksikan dengan sempurna oleh Michael Lind dalam The Next American Nation. Dalam catatan khusus di bukunya, ia mendeskripsikan sistematik pertama tentang golongan atas orang Amerika pasca demokratis yang baru: "golongan paling atas."
Perancis tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam sistem demokrasi dengan Amerika Serikat, Mereka adalah "negara-negara demokrasi" aneh dengan sistem politik yang mempertarungkan elitisme dan populisme dengan vice versa. Meskipun secara teori memiliki hak pilih universal, nyatanya para elit—baik yang pro ataupun yang anti status quo—menghalangi beberapa reorientasi kebijakan ekonomi yang akan memperbesar persamaan. Sebuah dunia yang sangat aneh dimana kampanye besar-besaran di media hanya menghasilkan pemungutan suara yang hanya memperpanjang kekuasaan status quo. Pcmahaman politik secara kompromi diantara elit tersebut yang merupakan refleksi keberadaan bahasa "unggul" yang umum diantara mereka, menutup beberapa celah perkembangan sistem politik, bahkan ketika hak pilih universal tampak mengindikasikan sebuah krisis. Terpilihnya George Bush sebagai presiden pada tahap akhir pemilu, menyisakan tanda tanya besar seputar akurasi kemenangannya. Tidak lama berselang, di Perancis, negara republik bersejarah yang agung, hanya ada skenario lawan— sejauh ini menegaskan logika aneh Sacha Guitry tentang identitas lawan. Di Perancis, ada seorang presiden dipilih oleh 82% pemilih. Namun, suara rakyat Perancis yang mendekati bulat tersebut imbas dari larangan bekerja secara sosiologis dan politis, sehingga muncul 20% suara paling rendah ["20% d'en bas"] hingga 20% suara paling tinggi [20% d'en baut"], yang pada pemilihan tersebut juga dibatasi secara ideologis rata-rata 60% suara. Tetapi pada kedua kasus tersebut hasilnya sama, proses pemilihan tersebut tidak memiliki kepentingan praktis dan jumlah pemilih yang ambil bagian semakin menurun.
Di Inggris Raya, mekanisme restratifikasi budaya yang sama sedang berjalan. Mekanisme tersebut sudah sejak awal dianalisa oleh Michael Young dalam kajiannya yang singkat dan spekulatif, The Rise of the Meritocracy (1958). Dengan mempertimbangkan sejarah terkini aristokratiknya yang meneruskan sistem klasifikasi dengan tekanan yang jelas, transisi Inggris ke arah oligarki dari Barat di dunia baru bisa berjalan mulus. Kenyataannya, kelas elit rakyat yang baru di Amerika merasa iri dengan Inggris. Hal ini menunjukkan sudut Anglophile mereka dan romantisme akan Victorian (Kemenangan) di masa lalu yang tidak dimilikinya.
Oleh karena itu, tidak akurat dan memadai jika dinyatakan hahwa krisis demokrasi hanya berpengaruh pada Amerika Serikat. Inggris Raya dan Perancis, dua negara liberal tua yang terkait secara historis dengan demokrasi Amerika, terlibat dalam proses pendewasaan oligarki yang sejajar. Tetapi dalam sistem politik dan ekonomi baru yang diadopsi secara global, Inggris Raya dan Perancis berada diantara para penguasa, dan karenanya harus memperhatikan keseimbangan perdagangan internasionalnya. Akhirnya, arus perkembangan sosial Inggris Raya dan Perancis terpisah dalam beberapa hal dari arus perkembangan Amerika Serikat. Jadi, tidak terbayangkan bahwa suatu hari "oligarki dari Barat" tidak bisa diceritakan seperti cerita "demokrasi dari Barat" sebelumnya.
Inilah perubahan arus utama kedua yang menjelaskan ketegangan hubungan antara Amerika Serikat dan negara-negara lain. Menjalarnya demokrasi di seluruh belahan dunia semakin menutupi kelemahan demokrasi di tempat asalnya. Perubahan arus ini merupakan penyakit yang dirasakan oleh para aktor—baik politik maupun intelektual—di tingkat dunia. Dan Amerika, dengan dalih kebebasan dan persamaan tetap bersikap tenang dan fasih berbicara, melebihi kebiasaan sinisme. Dan demokratisasi di dunia tentu saja tidak seperti yang disadari sepenuhnya.
Namun, peralihan Amerika Serikat ke dalam fase oligarki yang baru ini menggugurkan beberapa aplikasi hukum Doyle menyangkut konsekuensi logis dari penyebaran demokrasi liberal. Kemungkinan aksi agresif kelompok penguasa yang diatur dengan buruk dan kebijakan militer yang sangat berani, juga bisa dibayangkan.
Sebenarnya, jika hipotesis kecenderungan Amerika ke arah oligarki dapat membatasi validitas hukum Doyle, maka hipotesis tersebut dapat mencegah pengabaian atau peraguan realitas empiris Amerika yang agresif. Bahkan hipotesis strategis agresi Amerika ke negara-negara demokrasi lain, baru atau lama tidak bisa dikesampingkan, Cara melihat dunia ini berguna sebagai penyeimbang, sebenarnya dengan cara yang agak licik, bagi "para idealis" Anglo Saxon yang berharap penyebaran demokrasi liberal akan mengakhiri konflik militer, dan "realis" yang menjadi imbangannya yang memahami hubungan internasional sebagai ruang anarkis yang digunakan oleh negara-negara agresif untuk berperang terus menerus. Jika ide tersebut dipahami bahwa demokrasi liberal menghadirkan perdamaian, maka juga harus diakui bahwa demokrasi liberal yang bertambah buruk bisa menimbulkan perang kembali. Meskipun hukum Doyle benar, tetapi tidak akan pernah ada perdamaian abadi dalam semangat Kantian.
(Emmanuel Todd, After the Empire : The Breakdown of the American Order, diterjemahkan menjadi Menjelang Keruntuhan Amerika oleh Siwi Purwandari, Penerbit Menara, 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar