Skenario besar di belakang munculnya aliran sesat telah menggambarkan adanya pola gerakan aliran sesat yang senada. Hal ini mengindikasikan adanya kekuatan besar yang mendorong eksistensi aliran sesat. Salah satunya adalah konspirasi Yahudi dan Amerika Serikat untuk menghancurkan Islam.
.
Hanya perlu waktu tidak lebih dari dua bulan, fenomena aliran sesat membuncah sehingga menghasilkan persepsi baru, yakni aliran sesat kembali marak di penghujung 2007. Di sisi lain, terungkapnya ataupun "pengungkapan" aliran sesat di seluruh wilayah Indonesia terkesan mengikuti sebuah skenario besar. Lihat saja, sepanjang bulan Ramadhan 2007, masyarakat Yogyakarta dihebohkan kemunculan kelompok Al-Wahidiyah Islamiyah yang mengusung sang pemimpin, Wahid, sebagai nabi baru kelompok itu. Menyusul Wahid, nabi baru Ahmad Mushaddeq muncul diusung aliran Al Qiyadah Al Islam iy ah. Ajaran Mushaddeq mengharu-biru hampir seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta, Batam hingga Padang. Belum tuntas masalah Al Qiyadah, penculikan demi penculikan yang ditengarai dilakukan kelompok aliran Al-Quran Suci, meneror masyarakat Jawa Barat. Di antara ajaran Al-Quran Suci yang menghebohkan adalah membolehkan persetubuhan dengan ipar. Anehnya, kemunculan aliran-aliran sesat itu momentnya hampir bersamaan dengan bebasnya Lia Aminuddin, pimpinan Komunitas Eden. Setelah mendekam selama dua tahun di Rutan Pondok Bambu, Lia Eden dinyatakan bebas murni pada 30 November 2007. Lia divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 26 Juni 2006 karena terbukti melakukan penodaan agama dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Perempuan yang pernah mengaku sebagai Imam Mahdi itu bertekad akan meneruskan ajaran "Tahta Suci Kerajaan Eden". Bulan Desember 1997, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah melarang ajaran Lia yakni "Salamullah".
Hanya perlu waktu tidak lebih dari dua bulan, fenomena aliran sesat membuncah sehingga menghasilkan persepsi baru, yakni aliran sesat kembali marak di penghujung 2007. Di sisi lain, terungkapnya ataupun "pengungkapan" aliran sesat di seluruh wilayah Indonesia terkesan mengikuti sebuah skenario besar. Lihat saja, sepanjang bulan Ramadhan 2007, masyarakat Yogyakarta dihebohkan kemunculan kelompok Al-Wahidiyah Islamiyah yang mengusung sang pemimpin, Wahid, sebagai nabi baru kelompok itu. Menyusul Wahid, nabi baru Ahmad Mushaddeq muncul diusung aliran Al Qiyadah Al Islam iy ah. Ajaran Mushaddeq mengharu-biru hampir seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta, Batam hingga Padang. Belum tuntas masalah Al Qiyadah, penculikan demi penculikan yang ditengarai dilakukan kelompok aliran Al-Quran Suci, meneror masyarakat Jawa Barat. Di antara ajaran Al-Quran Suci yang menghebohkan adalah membolehkan persetubuhan dengan ipar. Anehnya, kemunculan aliran-aliran sesat itu momentnya hampir bersamaan dengan bebasnya Lia Aminuddin, pimpinan Komunitas Eden. Setelah mendekam selama dua tahun di Rutan Pondok Bambu, Lia Eden dinyatakan bebas murni pada 30 November 2007. Lia divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 26 Juni 2006 karena terbukti melakukan penodaan agama dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Perempuan yang pernah mengaku sebagai Imam Mahdi itu bertekad akan meneruskan ajaran "Tahta Suci Kerajaan Eden". Bulan Desember 1997, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah melarang ajaran Lia yakni "Salamullah".
.
Ragu-ragu.
Dalam satu rangkaian panjang, kemunculan Salamullah dan penyerangan kelompok Ahmadiyah menjadi awal "skenario besar" isu maraknya aliran sesat di Indonesia. Berbagai sinyalemen pun bertebaran. Salah satunya, bahwa skenario besar isu aliran sesat digerakkan oleh kekuatan besar yang menghendaki perpecahan di Indonesia. Sebuah sumber menyatakan, skenario maraknya aliran sesat dimulai dengan memberikan ruang yang longgar bagi tumbuhnya aliran sesat. Salah satunya adalah longgarnya aturan perundangan yang menyaring aliran-aliran sesat itu. Aturan yang ada saat ini, seperti soal penistaan agama, dirasa sudah kurang memadai. Di sisi lain, pemerintah seringkali terkesan bingung dan ragu menyikapi aliran sesat yang muncul dan marak belakangan ini. Reformasi yang kebablasan juga dituding turut menyuburkan aliran sesat. Aliran sesat sering berlindung di bawah persepsi hak asasi manusia (HAM) yang dikampanyekan sebagian kalangan. Jeratan isu HAM yang menghambat penangkalan aliran sesat itu sempat disuarakan pengamat politik, Fachri Ali. Pengamat LIPI itu menegaskan pemerintah sulit memberantas aliran sesat karena pemerintah dalam posisi yang dilematis.
Di mana, setiap tindakan atau pemberantasan suatu aliran dikategorikan sebagai pelanggaran kepada kebebasan beragama dan itu juga berarti pelanggaran terbadap HAM. Menurut Fachri pemerintah tegak pada konstitusi yang berbasis sosial sekuler, sehingga mengakomodasi gagasan-gagasan yang bersifat sekuler, terutama dalam konteks HAM. Inilah yang kemudian menimbulkan tindakan pemerintah itu kelihatan begitu ragu-ragu. Tidak adanya hukum yang cukup tegas terkait aliran-aliran yang menyimpang membuat aparat berwenang kehilangan pegangan sehingga kerap tampak ragu-ragu menentukan sikap apabila muncul sebuah aliran yang berpotensi meresahkan masyarakat. Sebagai perbandingan, menarik untuk disimak pendapat Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ahmad Farhan Hamid. Menurut Farhan, aliran sesat yang saat ini muncul kepermukaan sebenarnya sudah ada sejak dahulu. Hanya saja ketika pemerintahan Orde Baru tidak berkembang seperti saat ini karena cepat diambil tindakan tegas. Paling tidak, sepanjang 2001 hingga 2007, tercatat 250 aliran sesat yang berkembang di Indonesia. Sekitar 50 di antaranya berkembang di Jawa Barat.
Dalam satu rangkaian panjang, kemunculan Salamullah dan penyerangan kelompok Ahmadiyah menjadi awal "skenario besar" isu maraknya aliran sesat di Indonesia. Berbagai sinyalemen pun bertebaran. Salah satunya, bahwa skenario besar isu aliran sesat digerakkan oleh kekuatan besar yang menghendaki perpecahan di Indonesia. Sebuah sumber menyatakan, skenario maraknya aliran sesat dimulai dengan memberikan ruang yang longgar bagi tumbuhnya aliran sesat. Salah satunya adalah longgarnya aturan perundangan yang menyaring aliran-aliran sesat itu. Aturan yang ada saat ini, seperti soal penistaan agama, dirasa sudah kurang memadai. Di sisi lain, pemerintah seringkali terkesan bingung dan ragu menyikapi aliran sesat yang muncul dan marak belakangan ini. Reformasi yang kebablasan juga dituding turut menyuburkan aliran sesat. Aliran sesat sering berlindung di bawah persepsi hak asasi manusia (HAM) yang dikampanyekan sebagian kalangan. Jeratan isu HAM yang menghambat penangkalan aliran sesat itu sempat disuarakan pengamat politik, Fachri Ali. Pengamat LIPI itu menegaskan pemerintah sulit memberantas aliran sesat karena pemerintah dalam posisi yang dilematis.
Di mana, setiap tindakan atau pemberantasan suatu aliran dikategorikan sebagai pelanggaran kepada kebebasan beragama dan itu juga berarti pelanggaran terbadap HAM. Menurut Fachri pemerintah tegak pada konstitusi yang berbasis sosial sekuler, sehingga mengakomodasi gagasan-gagasan yang bersifat sekuler, terutama dalam konteks HAM. Inilah yang kemudian menimbulkan tindakan pemerintah itu kelihatan begitu ragu-ragu. Tidak adanya hukum yang cukup tegas terkait aliran-aliran yang menyimpang membuat aparat berwenang kehilangan pegangan sehingga kerap tampak ragu-ragu menentukan sikap apabila muncul sebuah aliran yang berpotensi meresahkan masyarakat. Sebagai perbandingan, menarik untuk disimak pendapat Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ahmad Farhan Hamid. Menurut Farhan, aliran sesat yang saat ini muncul kepermukaan sebenarnya sudah ada sejak dahulu. Hanya saja ketika pemerintahan Orde Baru tidak berkembang seperti saat ini karena cepat diambil tindakan tegas. Paling tidak, sepanjang 2001 hingga 2007, tercatat 250 aliran sesat yang berkembang di Indonesia. Sekitar 50 di antaranya berkembang di Jawa Barat.
.
Kekuatan Besar.
Pengasuh Ponpes pesantren Assidiqiyah, KH Nur Muhammad Iskandar SQ mensinyalir, fenomena maraknya faham keagamaan yang menyimpang merupakan konspirasi Yahudi dan Amerika Serikat untuk menghancurkan Islam. Pernyataan Nur Iskandar itu didasari pada rentetan aktivitas aliran sesat yang terlihat dengan pola gerakan yang hampir sama. Skenario panjang itu digambarkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Muzadi, sebagaimana maraknya ajaran sesat menjelang Gerakan 30 September 1965 (PKI).
Menurut Hasyim Muzadi, pola-pola gerakan yang dikembangkan aliran sesat saat ini menggunakan pola yang hampir sama seperti sebelum G30S (PKI) meletus, salah satunya munculnya "nabi baru". Senada dengan Nur Iskandar, KH Said Aqil Siroj juga menengarai, munculnya sejumlah aliran sesat yang marak belakangan ini bukan murni persoalan agama atau perbedaan penafsiran terhadap agama. Melainkan merupakan ulah dan rekayasa intelijen asing, khususnya intelijen negara-negara Barat. Big design itu, menurut Said Aqil, ditunjukkan dengan adanya upaya untuk mempersoalkan masalah-masalah utama, yakni, keberadaan nabi terakhir, salat wajib, zakat dan haji. Adanya keterkaitan intelijen asing tak hanya disampaikan Nur Iskandar dan Said Aqil Siroj. Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Achmad Satori Ismail juga berpendapat sama. Pendapat Ahmad Satori itu didasari atas survei MUI, bahwa maraknya aliran sesat yang muncul akhir-akhir ini tak lain adalah campur tangan asing.
Kesimpulan MUI itu diperoleh dari temuan adanya pemimpin aliran yang tidak dapat membaca Al Quran. Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulloh itu menyitir temuan MUI bahwa para pemimpin aliran sesat mendapatkan dana agar menyebarkan aliran sesat dari sebuah negara. Tujuan akhir dari skenario asing itu adalah untuk merusak keutuhan NKRI.
Besaran dana itu turut mendukung menjamurnya aliran sesat. Lihat saja, perekrutan Al Qiyadah Al Islamiyah diikuti dengan iming-iming materi yang cukup besar. Misalnya, apabila anggota Al Qiyadah bisa merekrut 40 orang, akan mendapatkan sumbangan kendaraan roda dua, dan jika berhasil merekrut 70 orang akan mendapatkan kendaraan roda empat. Dengan cara seperti itu tidak heran jika jumlah anggota Al Qiyadah membengkak cepat. Dalam laporan rapat akbar 2007, pada bulan Juli 2007 pengikut Al Qiyadah mencapai 1.349.
Kekuatan Besar.
Pengasuh Ponpes pesantren Assidiqiyah, KH Nur Muhammad Iskandar SQ mensinyalir, fenomena maraknya faham keagamaan yang menyimpang merupakan konspirasi Yahudi dan Amerika Serikat untuk menghancurkan Islam. Pernyataan Nur Iskandar itu didasari pada rentetan aktivitas aliran sesat yang terlihat dengan pola gerakan yang hampir sama. Skenario panjang itu digambarkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Muzadi, sebagaimana maraknya ajaran sesat menjelang Gerakan 30 September 1965 (PKI).
Menurut Hasyim Muzadi, pola-pola gerakan yang dikembangkan aliran sesat saat ini menggunakan pola yang hampir sama seperti sebelum G30S (PKI) meletus, salah satunya munculnya "nabi baru". Senada dengan Nur Iskandar, KH Said Aqil Siroj juga menengarai, munculnya sejumlah aliran sesat yang marak belakangan ini bukan murni persoalan agama atau perbedaan penafsiran terhadap agama. Melainkan merupakan ulah dan rekayasa intelijen asing, khususnya intelijen negara-negara Barat. Big design itu, menurut Said Aqil, ditunjukkan dengan adanya upaya untuk mempersoalkan masalah-masalah utama, yakni, keberadaan nabi terakhir, salat wajib, zakat dan haji. Adanya keterkaitan intelijen asing tak hanya disampaikan Nur Iskandar dan Said Aqil Siroj. Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Achmad Satori Ismail juga berpendapat sama. Pendapat Ahmad Satori itu didasari atas survei MUI, bahwa maraknya aliran sesat yang muncul akhir-akhir ini tak lain adalah campur tangan asing.
Kesimpulan MUI itu diperoleh dari temuan adanya pemimpin aliran yang tidak dapat membaca Al Quran. Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulloh itu menyitir temuan MUI bahwa para pemimpin aliran sesat mendapatkan dana agar menyebarkan aliran sesat dari sebuah negara. Tujuan akhir dari skenario asing itu adalah untuk merusak keutuhan NKRI.
Besaran dana itu turut mendukung menjamurnya aliran sesat. Lihat saja, perekrutan Al Qiyadah Al Islamiyah diikuti dengan iming-iming materi yang cukup besar. Misalnya, apabila anggota Al Qiyadah bisa merekrut 40 orang, akan mendapatkan sumbangan kendaraan roda dua, dan jika berhasil merekrut 70 orang akan mendapatkan kendaraan roda empat. Dengan cara seperti itu tidak heran jika jumlah anggota Al Qiyadah membengkak cepat. Dalam laporan rapat akbar 2007, pada bulan Juli 2007 pengikut Al Qiyadah mencapai 1.349.
.
Adu Domba.
Sekretaris Umum MUI , Ichwansyam, sempat menyatakan, munculnya sejumlah aliran sesat yang marak belakangan ini merupakan rekayasa intelijen. MUI pun menduga, kemunculan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah merupakan salah satu konspirasi intelijen untuk mengadu domba umat Islam. Disadari ataupun tidak, kemunculan Al Qiyadah sejatinya telah memunculkan pro dan kontra di kalangan umat Islam sendiri. Mantan presiden Abdurrahman Wahid sempat mengkritisi peran MUI, yang telah mengeluarkan fatwa bahwa Al Qiyadah merupakan aliran sesat. Menurut Gus Dur aliran Al Qiyadah Al fslamiyah itu tidak sesat, melainkan salah. Gus Dur bahkan meminta kepada MUI dan Front Pembela Islam (FPI) agar tak campur tangan dalarn urusan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Menurutnya, aliran yang dinilai sesat itu seharusnya diserahkan kepada Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem).
Sumber JNTELIJEN mengungkapkan, penciptaan aliran sesat oleh asing dibarengi dengan upaya untuk menciptakan ulama atau kyai palsu bentukan AS. Formula itu diharapkan dapat menciptakan perpecahan dalam waktu yang pendek. Penciptaan ulama palsu itu sempat diungkap dalam buku The CIA at War. Buku itu salah satunya berisi pengakuan Direktur CIA, George Tenet, bahwa Amerika Serikat memiliki program membeli ulama dan pemimpin Islam dalam menghadapi sentimen anti AS di dunia Islam dan Arab. Tenet juga mengakui, AS menemukan ruang untuk melawan gelombang anti Amerika dengan cara menyuap para ulama atau kyai, menciptakan kyai palsu dan merekrut tokoh-tokoh agama Islam sebagai agen.
Memang, upaya itu bukan sekedar isapan jempol. Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid pernah mengingatkan agar mewaspadai ulama palsu ciptaan AS. Setidaknya langkah itu telah dijalankan oleh Institute for Training and Development (ITD) AS, yang berupaya menjalin kerjasama dengan sejumlah pesantren dengan iming-iming bantuan dana.
Adu Domba.
Sekretaris Umum MUI , Ichwansyam, sempat menyatakan, munculnya sejumlah aliran sesat yang marak belakangan ini merupakan rekayasa intelijen. MUI pun menduga, kemunculan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah merupakan salah satu konspirasi intelijen untuk mengadu domba umat Islam. Disadari ataupun tidak, kemunculan Al Qiyadah sejatinya telah memunculkan pro dan kontra di kalangan umat Islam sendiri. Mantan presiden Abdurrahman Wahid sempat mengkritisi peran MUI, yang telah mengeluarkan fatwa bahwa Al Qiyadah merupakan aliran sesat. Menurut Gus Dur aliran Al Qiyadah Al fslamiyah itu tidak sesat, melainkan salah. Gus Dur bahkan meminta kepada MUI dan Front Pembela Islam (FPI) agar tak campur tangan dalarn urusan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Menurutnya, aliran yang dinilai sesat itu seharusnya diserahkan kepada Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem).
Sumber JNTELIJEN mengungkapkan, penciptaan aliran sesat oleh asing dibarengi dengan upaya untuk menciptakan ulama atau kyai palsu bentukan AS. Formula itu diharapkan dapat menciptakan perpecahan dalam waktu yang pendek. Penciptaan ulama palsu itu sempat diungkap dalam buku The CIA at War. Buku itu salah satunya berisi pengakuan Direktur CIA, George Tenet, bahwa Amerika Serikat memiliki program membeli ulama dan pemimpin Islam dalam menghadapi sentimen anti AS di dunia Islam dan Arab. Tenet juga mengakui, AS menemukan ruang untuk melawan gelombang anti Amerika dengan cara menyuap para ulama atau kyai, menciptakan kyai palsu dan merekrut tokoh-tokoh agama Islam sebagai agen.
Memang, upaya itu bukan sekedar isapan jempol. Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid pernah mengingatkan agar mewaspadai ulama palsu ciptaan AS. Setidaknya langkah itu telah dijalankan oleh Institute for Training and Development (ITD) AS, yang berupaya menjalin kerjasama dengan sejumlah pesantren dengan iming-iming bantuan dana.
.
(Dwi Mingguan Intelijen No 19 Th IV 2007)
1 komentar:
Posting yang bagus sekali.
Memang organisasi-organisasi muslim yang bringas didukung oleh oknum-oknum kepolisian & aparat keamanan pemerintah.
Sudah sering terjadi pengerusakan rumah-rumah ibadah umat lain, sweeping, fatwa-fatwa dan kekerasan lainnya yang dilakukan oleh organisasi muslim terhadap umat agama lain. Sedangkan sebagian dari para preman ini adalah anggota polisi dan aparat keamanan lainnya yang berpakaian sipil. Pemerintah juga bersikap seolah-oleh memberi semangat kepada preman-preman ini sehingga mereka merasa berada di atas hukum apapun yang berlaku di negara Indonesia.
Juga anggota polisi pada umumnya hanya menonton para preman yang melakukan pengerusakan & sweeping. Anggota polisi malah melindungi oknum-oknum yang berkelakuan bringas itu.
Sedangkan polisi dan aparat keamanan pemerintah seharusnya melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa membeda-bedakan agama, kepercayaan, suku, dsb.
Kita yakin bahwa ada umat muslim yang tidak mentolerir dan tidak setuju dengan kelakuan polisi dan aparat keamanan yang secara terang-terangan memihak kepada golongan mayoritas.
Tetapi, pemerintah tidak menyadari bahwa walaupun polisi dan aparat keamanan mempunyai senjada api, tapi rakyat jelata (masyarakat muslim yang kurang simpati terhadap polisi) mumpunyai senjata yang jauh lebih ampuh dari pada senjadi api. Sejata yang ampuh ini adalah agama.
Masyarakat muslim yang tidak simpati terhadap tindakan polisi yang memihak ini bisa mengeluarkan reaksi yaitu mereka bisa meninggalkan agama Islam. Mereka bisa mengalih ke agama lain. Kalau hal ini terjadi/sedang terjadi, maka senjata api polisi itu tidak ada artinya.
Posting Komentar