Semoga melalui media digital personal website yang sangat sederhana ini, tali silaturahmi dan pertemanan yang terputus dapat tersambung kembali dan mengakrabkan kita, sebab hidup dgn ilmu akan lebih mudah, hidup dgn seni akan lebih indah & hidup dgn iman pasti akan terarah.

Masukan yang bersifat membangun dapat dikirimkan melalui email : bagyoesx@gmail.com atau bagyo_27061965@yahoo.co.id atau SMS/Kontak HP 08159552196

13 November 2007

Dilema Teologis dan Sosiologis atasi Aliran sesat

Tak dapat dihindari, ada semacam kecenderungan untuk melihat gerakan sempalan, atau secara ekstrim disebut aliran sesat, sebagai ancaman terhadap stabilitas dan keamanan negara, sehingga gerakan sempalan harus segera dilarang. Gerakan sempalan bertolak dari suatu pengertian tentang "ortodoksi" atau "mainstream" (aliran induk). Gcrakan sempalan adalah gerakan yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Ortodoksi merupakan paham yang dianut mayoritas ulama dan kadang juga didukung oleh penguasa. Pakar Islam Indonesia di Universitas Utrecht, Belanda, Martin van Bruinessen, menyatakan ortodoksi di Indonesia telah diwakili oleh badan-badan ulama yang berwibawa, seperti MUI, Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Syuriah NU. MUI sebagai lembaga ulama bentukan pemenntah sangat mendominasi ortodoksi ini, sehingga apa yang dinyatakan sesat oleh MUI akan dijadikan rujukan oleh pemerintah, meski Muhammadiyah atau NU berbeda pendapat.
Dalam implemenlasinya, menurut Bruinessen, semua yang di luar ortodoksi Muhammadiyah dan NU dianggap sesat. Dari hal itulah MUI menjalankan fungsinya mengeluarkan Fatwa terhadap aliran sempalan (aliran sesat). Di satu sisi, Indonesia memiliki undang-undang kebebasan beragama. Terutama untuk agama-agama yang diakui. Kebebasan beragama, yang juga bagian dari HAM dipandang tidak boleh diusik. Semakin dilarang, justru malah menimbulkan solidaritas dan simpati. Namun di sisi lain, aliran sempalan selalu dipandang sebagai ancaman, baik oleh pemerintah maupun aliran mayoritas. Atas nama stabilitas dan keamanan, mengganggu dan melukai perasaan umat mayoritas, pemerintah dengan desakan umat segera memvonis aliran sesat sebagai aliran subversif yang dilarang hidup dan berkembang di Indonesia. Dua sisi dari satu mata uang itulah yang membuat pemerintah terkesan lamban dalam menyelesaikan masalah aliran sesat. Pemerintah "bingung" menghadapi dua tekanan. Di antara kelambanan pemerintah itulah muncul gerakan kekerasan terhadap kelompok yang digolongkan sebagai aliran sesat. Misalnya, penyerbuan massa terhadap Kampus Al-Mubarok, Parung, Bogor. Bagi massa yang menyerbu, penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah sudah menjadi keharusan. Apalagi ada fatwa MUI yang menilai Ahmadiyah aliran sesat dan tidak diakui sebagai ajaran Islam. Mereka melihat pemenntah tidak tegas terhadap Ahmadiyah, walaupun MUI telah memberi fatwa Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Sedangkan bagi kelompok yang diserbu, mereka memandang ajaran yang diikuti dilindungi peraturan perundangan. Tindak kekerasan atau represi oleh masyarakat tidak dibenarkan. Pendekatan-pendekatan dengan kekerasan juga tidak menjamin munculnya efek jera bagi si penganut. Bahkan, mungkin sebaliknya, keyakinan semakin kuat dan kelompok semakin solid. Misalnya, Lia Eden, setelah keluar dari penjara menyatakan tetap tidak akan mengubah keyakinan dan membubarkan kelompoknya. Persoalan memang tidak akan tuntas ketika penyelesaiannya masih dilihat secara parsial dari dua kacamata yang berbeda, yakni pendekatan teologis-dogmatis dan pendekatan sosiologis. Bagaimana dengan cara pandang nasionalistis? Menarik untuk disimak pendapat Sekretaris Umum MUI , Ichwansyam. Munculnya sejumlah aliran sesat yang marak belakangan ini merupakan rekayasa intelijen. MUI pun menduga kemunculan aliran Al-Qiyadah Al-lslamiyah merupakan salah satu konspirasi intelijen untuk mengadu domba umat Islam. Disadari ataupun tidak, kemunculan Al Qiyadah sejatinya telah memunculkan pro dan kontra di kalangan umat Islam sendiri. Mantan presiden Abdurrahman Wahid sempat mengkritisi peran MUI yang telah mengeluarkan fatwa bahwa Al Qiyadah merupakan aliran sesat. Menurut Gus Dur aliran Al Qiyadah Al Islamiyah itu tidak sesat, melainkan salah. Gus Dur bahkan meminta kepada MUI dan Front Pembela Islam (HIM) agar tak campur tangan dalam urusan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Menurutnya, aliran yang dinilai sesat itu seharusnya diserahkan kepada Pengawas Aliran Kepercayaan.Masyarakat (Pakem).
(Dwi Mingguan Inteliejn No 19 Th IV 2007)

Tidak ada komentar: