Hangatnya isu aliran sesat semisal Al Qiyadah Al Islamiyah yang bercorak kelompok NII (Negara Islam Indonesia) dinilai bukan untuk menggembosi parpol Islam tertentu jelang Pemilu 2009, namun lebih bersifat menguji kesatuan umat melalui penyesatan aqidah.
.
.
Sekilas, ajaran Al Qiyadah I Al Islamiyah pimpinan Ahmad Mushadeq memiliki kesamaan dengan ajaran NII, yakni membagi periode dakwah ke dalam periode Makiyyah dan periode Madaniyyah. Ketika memahami periode kini sebagai Makiyyah, ia menarik garis tegas dalam praktik ibadah: tak ada kewajiban shalat lima waktu, zakat, puasa dan haji. Karena era Makiyyah adalah era penanaman aqidah, maka hanya syahadat yang diwajibkan. Itu pun dengan penyimpangan yang khas: pengkultusan terhadap pendirinya yang mengaku mendapat "wahyu" melalui mimpi untuk mengangkat dirinya sebagai rasul, al mahdi dan al masih al mawud yang dijanjikan. Menurut pengamat intelijen dari Cedsos (Center for Democracy and Social Justice Studies), Umar Abduh, ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah memang bersumber dari ajaran NII KW-9 (komandemen wilayah). Namun dalam gerakan Al Qiyadah tidak terkait dengan politik. "Tidak ada penggembosan partai politik, mungkin hanya test case saja buat masyarakat, apakah masyarakat Islam masih punya kekompakan untuk masalah (aliran sesat) ini," kata Umar Abduh ketika dikonfirmasi INTELIJEN di Jakarta. Disebutkan, ketompok Al Qiyadah Al Islamiyah merupakan pecahan KW-9. Dalam hal ini KW-9 tetap selamat, sedangkan Al Qiyadah digulung. Perpecahan di antara KW-9 itu terjadi karena masalah sengketa kepemimpinan antara Panji Gumilang dan Mushadeq. Keduanya pecah sekitar tahun 2002. Berbeda dengan keberadaan kelompok KW-9 yang telah lama "dipakai" oleh penguasa Orde Baru, keberadaan kelompok Al Qiyadah Al Islamiyah yang relatif baru dan masih kecil pendukungnya ini, dinilainya sejauh ini belum "dimanfaatkan" oleh elit politik. "Bahkan KW-9 sendiri saat ini sudah tidak dipakai oleh pemerintah," katanya. Meskipun kata Al Qiyadah Al Islamiyah merupakan istilah dari KW-9, yang artinya "kepemimpinan Islam", keberadaan kelompok baru ini menurut Abduh, bukanlah bagian dari skenario operasi intelijen. Pasalnya, dibandingkan dengan kelompok KW-9 pimpinan Panji Gumilang yang melakukan dakwahnya dengan sembunyi-sembunyi dan menggunakan cara diplomasi, kelompok Al Qiyadah justru melakukan kegiatannya secara terang-terangan. Bahkan pemimpinnya menyebarkan paham sesatnya dengan membentuk ormas. Bagaimana pun, keberadaan Al Qiyadah Al Islamiyah yang mirip gerakan NII ini mengingatkan kembali praktek Opsus (operasi khusus) tempo dulu.
Di masa rejim Orde Baru, Opsus adalah kegiatan intelijen yang dikomandani mendiang Ali Moertopo. Operasi ini paling banyak berpengaruh terhadap kemunculan gerakan Islam radikal waktu itu yang tujuannya untuk melemahkan parpol Islam dengan cara menggembosi pendukungnya dengan citra negatif. Menurut Pengamat Politik Islam, Hamka Hendra Noer, perbedaan antara munculnya gerakan Islam radikal yang dibidani Opsus di era 1980-an dengan aliran sesat Al Qiyadah Al Islamiyah sangat kontras. Sebab, dari aqidahnya saja munculnya Al Qiyadah sudah bisa dikatergorikan aliran sesat. Lantas, apa tujuannya? Tak lain untuk memecah belah umat. la juga melihat fenomena munculnya aliran sesat ini lebih disebabkan perubahan lingkungan, di tengah globalisasi yang kini diwarnai maraknya paham liberalisme.
Di lain pihak, gerakan Islam dewasa ini ramai-ramai terjun ke politik sehingga sedikit melupakan aspek pendidikan aqidah umat. "Akibatnya, terjadi kekeringan spiritual di tengah umat yang menjadi lahan subur masuknya aliran sesat dengan kedok kebebasan dan HAM," kata Hamka. Sementara aktivis Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Irfan S. Awwas, menyebut, hubungan intelijen dengan gerakan Islam sudah lama, dengan tokoh sentral Ali Moertopo. Ali misalnya, melalui perangkatnya berhasil menyusup ke golongan Islam, antara lain sejumlah tokoh Darul Islam. Sebut saja, Danu M Hasan, Ismail Pranoto, Dodo Kartosoewirjo dan Ateng Djaelani. Pada 1976 muncul kasus Komando Jihad (Komji). Kelompok ini merupakan hasil muslihat cerdik Ali Moertopo. Menggunakan istilah Islam sebagai perangkap menjebak umat Islam, atau dikenal dengan konsep "Pacing Jaring". Pada mulanya, Ali mengajak para petinggi DI untuk menghadapi bahaya komunisme dari Utara (Vietnam). Dengan alasan menghadapi ancaman komunisme dari utara itulah, petinggi DI pasca wafatnya Imam NII, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, diminta mengorganisasikan laskar. Dalam waktu relatif singkat terkumpul ribuan orang dari seluruh penjuru Nusantara, siap menghadapi bahaya komunisme dari utara. Semangat membela tanah air dan mempertahankan aqidah Islam dari bahaya komunisme inilah yang menjadi alasan bagi sejumlah orang sehingga mau terlibat. Namun, tiba-tiba mereka semua ditangkap, dan dipenjarakan dengan tuduhan hendak mendirikan Negara Islam Indonesia, dituduh subversif, dan diberi label Komando Jihad. Karena itu, menurut Awwas, hampir tidak ada lembaga pergerakan Islam di Indonesia yang steril dari penetrasi intelijen. Bahkan sejak awal Orde Baru, hal ini sudah mulai dilakukan. Tidak saja dalam rangka memata-matai, pada beberapa kasus, Opsus ini justru menjadi "arsitek" bagi terciptanya anarkisme atau gerakan radikal. Ambil contoh, awal tahun 1970, Ali Moertopo menggarap Nur Hasan Ubaidah, yang dinobatkan sebagai "Imam" sebuah kelompok puritan ekstrim kanan, yang kemudian terkenal dengan nama Islam Jama'ah (IJ). Salah satu ajarannya adalah mengkafirkan orang Islam di luar komunitasnya. Meski tidak berhasil memproduksi berbagai tindakan radikal, setidaknya Ali Moertopo melalui Islam Jamaah telah berhasil mendiskreditkan Islam sebagai sosok yang menakutkan, pemecah belah, bahkan sumber anarkisme. Juga pada 1978, intelijen berhasil membina dan menyusupkan Hasan Baw, mahasiswa IAIN Jogjakarta, ke dalam gerakan Warman. Gerakan ini terkenal dengan serangkaian aksi radikalnya dengan sebutan "Teror Warman" di Jawa Tengah. Juga, pada 1981, ketika Najamuddin disusupkan ke dalam gerakan Jamaah Imran di Cimahi, Jawa Barat. Najamuddin lalu merancang aksi anarkis penyerbuan Polsek Cicendo, bahkan merancang aksi pembajakan pesawat Garuda. Peristiwa ini dikenal dengan kasus "Pembajakan Woyla". Masih banyak aksi penyusupan dan rekayasa ala Opsus lainnya. Pada 1994, di Pandeglang terjadi penangkapan besar-besaran terhadap 800 lebih Jamaah NII KW-9. Mereka yang ditangkap aparat itu adalah mantan anggota NII KW-9 pimpinan Abu Toto alias Panji Gumilang. Di hadapan aparat mereka mengaku baru saja melepaskan diri dari keanggotaan NII KW-9, serta menjelaskan bahwa pimpinan mereka adalah Abu Toto. Mereka semua akhirnya dijebloskan ke penjara dengan masa tahanan paling rendah 2-3 minggu. Namun sosok yang bernama Abu Toto sama sekali tidak disentuh aparat. Siapa Abu Toto? Tahun 1992, H. Rais Ahmad yang ketika itu menjabat sebagai pimpinan NII KW-9 ditangkap aparat. Namun, Toto yang juga petinggi KW-9 tidak tersentuh. H. Rais akhirnya mendekam di tahanan hingga 1997 tanpa proses peradilan, hingga akhir hayatnya. Setelah H Rais ditangkap, Toto leluasa mengambil tongkat estafet kepemimpinan NII KW-9 yang terus melanggengkan doktrin sesat ala Lembaga Kerasulan yang sebelumnya disebarkan Karim Hasan. Menurut Awwas, seluruh peristiwa penangkapan jamaah NII KW-9 di tahun 1992 dan 1994, adalah atas laporan Toto sendiri. Maklum, sejak 1986 Toto direkrut aparat, disuruh pulang dari pelariannya, kemudian "membangun kembali NII' setelah sebelumnya masuk ke dalam lingkaran Karim Hasan, tokoh sekte Lembaga Kerasulan.
Di masa rejim Orde Baru, Opsus adalah kegiatan intelijen yang dikomandani mendiang Ali Moertopo. Operasi ini paling banyak berpengaruh terhadap kemunculan gerakan Islam radikal waktu itu yang tujuannya untuk melemahkan parpol Islam dengan cara menggembosi pendukungnya dengan citra negatif. Menurut Pengamat Politik Islam, Hamka Hendra Noer, perbedaan antara munculnya gerakan Islam radikal yang dibidani Opsus di era 1980-an dengan aliran sesat Al Qiyadah Al Islamiyah sangat kontras. Sebab, dari aqidahnya saja munculnya Al Qiyadah sudah bisa dikatergorikan aliran sesat. Lantas, apa tujuannya? Tak lain untuk memecah belah umat. la juga melihat fenomena munculnya aliran sesat ini lebih disebabkan perubahan lingkungan, di tengah globalisasi yang kini diwarnai maraknya paham liberalisme.
Di lain pihak, gerakan Islam dewasa ini ramai-ramai terjun ke politik sehingga sedikit melupakan aspek pendidikan aqidah umat. "Akibatnya, terjadi kekeringan spiritual di tengah umat yang menjadi lahan subur masuknya aliran sesat dengan kedok kebebasan dan HAM," kata Hamka. Sementara aktivis Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Irfan S. Awwas, menyebut, hubungan intelijen dengan gerakan Islam sudah lama, dengan tokoh sentral Ali Moertopo. Ali misalnya, melalui perangkatnya berhasil menyusup ke golongan Islam, antara lain sejumlah tokoh Darul Islam. Sebut saja, Danu M Hasan, Ismail Pranoto, Dodo Kartosoewirjo dan Ateng Djaelani. Pada 1976 muncul kasus Komando Jihad (Komji). Kelompok ini merupakan hasil muslihat cerdik Ali Moertopo. Menggunakan istilah Islam sebagai perangkap menjebak umat Islam, atau dikenal dengan konsep "Pacing Jaring". Pada mulanya, Ali mengajak para petinggi DI untuk menghadapi bahaya komunisme dari Utara (Vietnam). Dengan alasan menghadapi ancaman komunisme dari utara itulah, petinggi DI pasca wafatnya Imam NII, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, diminta mengorganisasikan laskar. Dalam waktu relatif singkat terkumpul ribuan orang dari seluruh penjuru Nusantara, siap menghadapi bahaya komunisme dari utara. Semangat membela tanah air dan mempertahankan aqidah Islam dari bahaya komunisme inilah yang menjadi alasan bagi sejumlah orang sehingga mau terlibat. Namun, tiba-tiba mereka semua ditangkap, dan dipenjarakan dengan tuduhan hendak mendirikan Negara Islam Indonesia, dituduh subversif, dan diberi label Komando Jihad. Karena itu, menurut Awwas, hampir tidak ada lembaga pergerakan Islam di Indonesia yang steril dari penetrasi intelijen. Bahkan sejak awal Orde Baru, hal ini sudah mulai dilakukan. Tidak saja dalam rangka memata-matai, pada beberapa kasus, Opsus ini justru menjadi "arsitek" bagi terciptanya anarkisme atau gerakan radikal. Ambil contoh, awal tahun 1970, Ali Moertopo menggarap Nur Hasan Ubaidah, yang dinobatkan sebagai "Imam" sebuah kelompok puritan ekstrim kanan, yang kemudian terkenal dengan nama Islam Jama'ah (IJ). Salah satu ajarannya adalah mengkafirkan orang Islam di luar komunitasnya. Meski tidak berhasil memproduksi berbagai tindakan radikal, setidaknya Ali Moertopo melalui Islam Jamaah telah berhasil mendiskreditkan Islam sebagai sosok yang menakutkan, pemecah belah, bahkan sumber anarkisme. Juga pada 1978, intelijen berhasil membina dan menyusupkan Hasan Baw, mahasiswa IAIN Jogjakarta, ke dalam gerakan Warman. Gerakan ini terkenal dengan serangkaian aksi radikalnya dengan sebutan "Teror Warman" di Jawa Tengah. Juga, pada 1981, ketika Najamuddin disusupkan ke dalam gerakan Jamaah Imran di Cimahi, Jawa Barat. Najamuddin lalu merancang aksi anarkis penyerbuan Polsek Cicendo, bahkan merancang aksi pembajakan pesawat Garuda. Peristiwa ini dikenal dengan kasus "Pembajakan Woyla". Masih banyak aksi penyusupan dan rekayasa ala Opsus lainnya. Pada 1994, di Pandeglang terjadi penangkapan besar-besaran terhadap 800 lebih Jamaah NII KW-9. Mereka yang ditangkap aparat itu adalah mantan anggota NII KW-9 pimpinan Abu Toto alias Panji Gumilang. Di hadapan aparat mereka mengaku baru saja melepaskan diri dari keanggotaan NII KW-9, serta menjelaskan bahwa pimpinan mereka adalah Abu Toto. Mereka semua akhirnya dijebloskan ke penjara dengan masa tahanan paling rendah 2-3 minggu. Namun sosok yang bernama Abu Toto sama sekali tidak disentuh aparat. Siapa Abu Toto? Tahun 1992, H. Rais Ahmad yang ketika itu menjabat sebagai pimpinan NII KW-9 ditangkap aparat. Namun, Toto yang juga petinggi KW-9 tidak tersentuh. H. Rais akhirnya mendekam di tahanan hingga 1997 tanpa proses peradilan, hingga akhir hayatnya. Setelah H Rais ditangkap, Toto leluasa mengambil tongkat estafet kepemimpinan NII KW-9 yang terus melanggengkan doktrin sesat ala Lembaga Kerasulan yang sebelumnya disebarkan Karim Hasan. Menurut Awwas, seluruh peristiwa penangkapan jamaah NII KW-9 di tahun 1992 dan 1994, adalah atas laporan Toto sendiri. Maklum, sejak 1986 Toto direkrut aparat, disuruh pulang dari pelariannya, kemudian "membangun kembali NII' setelah sebelumnya masuk ke dalam lingkaran Karim Hasan, tokoh sekte Lembaga Kerasulan.
.
(Dwi Mingguan INTELIJEN No 19 Th 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar