Semoga melalui media digital personal website yang sangat sederhana ini, tali silaturahmi dan pertemanan yang terputus dapat tersambung kembali dan mengakrabkan kita, sebab hidup dgn ilmu akan lebih mudah, hidup dgn seni akan lebih indah & hidup dgn iman pasti akan terarah.

Masukan yang bersifat membangun dapat dikirimkan melalui email : bagyoesx@gmail.com atau bagyo_27061965@yahoo.co.id atau SMS/Kontak HP 08159552196

04 Oktober 2007

(Bagian 1) : Tujuh Periode Penjarahan Uang Rakyat

Rachmat Basoeki Soeropranoto, Koordinator Front Anti Konglomerat Koruptor (FAKTOR) memaparkan fenomena aksi konglomerat koruptor. (http://www.swaramuslim.net/: Merampok Uang Rakyat, 20 Juli 2003)
Rachmat mengemukakan, walau hasil produksi domestik kita (GDP, gross domestic product) rata-rata mencapai 3.500 dolar per orang setahunnya, tetapi yang bisa dihitung sebagai pendapatan nasional (GNP, gross national product) cuma 960 dolar per orang setahunnya. Ini berarti, 2.540 dolar dinikmati investor dan kreditor asing (bandingkan Jepang yang GDP-nya 'hanya' 14.000 dolar tetapi GNP-nya mencapai 20.000 dolar berkat hasil investasinya di luar negeri).
Pendapatan nasional yang cuma 960 dolar itu ternyata tidak terbagi secara harmonis di antara kelompok warga negara. Karena 80 persen nilai aktivitas ekonomi nasional dilakukan oleh 300 grup konglomerat saja, sedangkan selebihnya hampir dua ratus juta rakyat cuma kebagian 20 persen porsi ekonomi nasional. Dari 300 grup bisnis konglomerat itu, yang dimiliki nonpribumi ada 224 grup, sedang pribumi cuma diwakili 76 grup bisnis yang asetnya tidak sampai 10 persen aset konglomerat non-pribumi.
Ketimpangan makro-ekonomi ini berdampak pada hampir seluruh sektor ekonomi nasional yang melahirkan kemiskinan struktural rakyat pribumi, akibat terbatasnya akses di sektor ekonomi dan keuangan. Andaikan pendapatan nasional terbagi merata dan berkeadilan, seorang pejabat setidaknya bisa memperoleh gaji (penghasilan sah) yang mencukupi, sehingga bisa menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu melayani dan melindungi masyarakat.
Tapi sayang sekali, sebagian besar pendapatan nasional (GNP) masuk ke kantong konglomerat, sedangkan negara hanya mendapat porsi kecil GNP, sehingga negara tidak mampu menggaji pegawainya secara pantas, sehingga pada kenyataannya penghasilan resmi Lurah kita jauh di bawah rata-rata GNP. Dalam keadaan seperti ini tidaklah heran jika pejabat negara (sipil dan militer) mudah 'dibeli' kalangan bisnis (yang punya banyak uang, umumnya nonpri keturunan Cina atau asing). Inilah penyebab utama korupsi dan solusi di negeri kita.
Sebagian elite bangsa yang demi kemewahan hidup pribadi, rela mengkhianati bangsanya sendiri untuk kepentingan konglomerat koruptor yang membayarnya. Tindak kejahatan yang paling aman dan besar hasilnya adalah membobol uang rakyat bekerja-sama dengan para pembuat kebijakan moneter lewat sistem dan jaringan perbankan nasional. Menurut pengamatan Rachmat Basoeki yang mantan pejabat salah satu bank pemerintah di era 1970-an, aksi komplotan pembobol uang rakyat dapat dilihat melalui periodisasi berikut ini:
* Periode pertama, 1985-1996; Penjarahan dana KLBI
* Kedua, 1988-1996; Penjarahan oleh perbankan swasta via Pakto 88.
* Ketiga, 1998-1999; Penjarahan dana BLBL
* Keempat, 1998; Utang dolar konglomerat ditanggung BPPN/rakyat.
* Kelima, 1998-1999; Penjarahan bunga deposito.
* Keenam, 1998-2000; Penjarahan dana rekapitalisasi.
* Ketujuh, 1998-2000; Penjarahan melalui BPPN.
(Rizki Ridyasmara, "Singapura Basis Israel Asia Tenggara", Khalifa, Jakarta, 2005)

Tidak ada komentar: