Semoga melalui media digital personal website yang sangat sederhana ini, tali silaturahmi dan pertemanan yang terputus dapat tersambung kembali dan mengakrabkan kita, sebab hidup dgn ilmu akan lebih mudah, hidup dgn seni akan lebih indah & hidup dgn iman pasti akan terarah.

Masukan yang bersifat membangun dapat dikirimkan melalui email : bagyoesx@gmail.com atau bagyo_27061965@yahoo.co.id atau SMS/Kontak HP 08159552196

31 Oktober 2007

Kedaulatan hukum diujung tanduk

Perjalanan sistem hukum di Indonesia seperti tak pernah lepas dari pengaruh asing. Di era reformasi pengaruh asing itu tak hanya sebatas konsultasi dan studi banding, tapi juga intervensi langsung yang vulgar. Ambil contoh dalam penyusunan RUU Penanaman Modal Asing baru-baru ini. Seperti dikemukakan LSM Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Koalisi Anti Utang (KAU), bangsa ini tak pernah bebas menentukan keputusan sendiri. Adalah Utusan Khusus Perdana Menteri Inggris, Lord Powell yang ditengarai telah mengintervensi penyusunan Rancangan Undang-undang Penanaman Modal (RUU PM). Saat bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (15/3/2007) di Jakarta, Powell mendesak pemerintah segera menyelesaikan RUU PM. Intervensi Inggris terhadap pengesahan RUU PM begitu kasat mata. Maklum, Inggris adalah negara yang memiliki kepentingan sangat besar terhadap penanaman modal di Indonesia. Pada tahun 2005, mereka memiliki sedikitnya 104 proyek di berbagai sektor dengan nilai investasi terbesar kedua di negeri ini setelah Singapura. RUU PM dirancang menggantikan peraturan lama yang telah berusia 40 tahun, yakni UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. UU ini dinilai tidak banyak memberikan kontribusi bagi kepentingan nasional. Baik Jatam maupun KAU menilai keberadaan RUU PM tersebut yang notabene merupakan bentuk campur tangan asing itu malah menciptakan ketergantungan ekonomi yang lebih parah. Saat ini saja, modal asing sudah mencapai 70 persen. Indonesia juga menjadi tempat akumulasi modal spekulatif yang membuat perekonomian negara rapuh. Artinya, penanaman modal asing yang diagung-agungkan sebagai penggerak utama ekonomi justru semakin menjauhkan bangsa ini dari kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat. RUU ini juga memperlakukan pemodal, khususnya modal asing, bak majikan. Mereka akan mendapat persamaan perlakuan dengan pemodal dalam negeri. Pemodal juga bebas melakukan repatriasi, mendapat berbagai kemudahan pelepasan tanah dan insentif fiskal hingga bebas nasionalisasi. Walhasil, RUU PM yang akhirnya disahkan DPR Maret 2007 itu adalah bagian dari upaya untuk meliberalisasi pengelolaan ekonomi nasional seperti halnya undang-undang sejenis sebelumnya. Proses pembahasan yang sangat tertutup dan dipaksakan menunjukkan bahwa RUU ini sarat akan kepentingan, termasuk kepentingan negara-negara kreditor. Toh bentuk intervensi asing terhadap produk perundang-undangan nasional bukan yang pertama kali. Dalam Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) juga ditemukan spirit yang sama, yakni neoliberalisme. RUU ini lahir sebagai konsekuensi dari pasal 53 ayat (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang intinya negara ingin berlepas tangan dari pembiayaan pendidikan. RUU ini mengatur badan hukum pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Jika di amati, RUU yang menjadi prioritas dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2007 tersebut mengarah pada upaya liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan nasional. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, Mansyur Ramly, menegaskan substansi RUU tersebut, antara lain, melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi. Pengelolaan PTN model privatisasi ini tidak lain merupakan bentuk liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan. Kalangan pakar pendidikan, seperti H.A.R Tilaar, menilai RUU BHP sebagai bagian representasi neo liberalisme dalam dunia pendidikan.
Menurut Tilaar, Pemerintah secara terselubung berupaya menghindarkan tanggung jawab penyisihan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bagi pendidikan. Untuk melepaskan tanggung jawab tersebut, pemerintah memandang pentingnya otonomi pada perguruan tinggi, serta melibatkan asing melalui privatisasi BHP. Dalam RUU BHP ini, prinsip otonom, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri, menjadi prinsip dasar sehingga BHP mampu menjalankan fungsinya secara kreatif.
Sesungguhnya prinsip ini hanya akan membuka intervensi asing. Dengan prinsip ini, fakultas/sekolah dapat melakukan kerjasama langsung dengan pihak luar, tanpa melalui Rektor.
Selain itu, dalam pasal 6 ayat (1) disebutkan, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan BHP baru di Indonesia bekerjasama dengan BHP yang sudah ada. Legislasi RUU BHP konon dipengaruhi oleh hasil "studi banding" anggota DPR terhadap industrialisasi pendidikan yang dilakukan oleh Inggris, Amerika dan Australia sekitar tahun 1980-an. Ketiga negara liberal itu telah mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan. Inilah yang mau ditiru Indonesia, mengekor sang majikan tanpa pikiran kritis.
Namun pemerintah dan DPR lupa bahwa akar masalah pendidikan saat ini adalah liberalisasi pendidikan dengan ciri menjadikannya sebagai industri. Ketika institusi pendidikan menjadi sebuah industri, maka akan melegalkan masuknya intervensi asing, masuknya kapital, serta mendorong pemerintah melepaskan diri dari tanggung-jawabnya. Keberpihakan pemerintah dan DPR dalam euphoria legislasi dengan spirit liberalisme sesungguhnya telah berlangsung secara sistematis sejak awal reformasi. Dengan euphoria yang kebablasan itu sampai-sampai mereka tak sungkan untuk mengamandemen konstitusi, UUD 1945. "Pangkalnya adalah amandemen konstitusi, dan buntutnya adalah produk perundang-undangan yang tidak pro rakyat, malah berpihak sepenuhnya pada kreditor asing," kata seorang sumber INTELIJEN.

Intervensi Legislatif.
Ya, amandemen konstitusi yang melahirkan UUD Amandemen 2002 adalah pangkal dari intervensi asing dalam perundang-undangan di tanah air. Meskipun UUD amandemen ini dinilai cacat secara hukum, ia memiliki kekuatan politik karena isinya sarat dengan berbagai kepentingan asing. Disebut-sebut, LSM asing yang terlibat aktif dalam proses perumusan legislasi berbagai produk hukum ini adalah lembaga asing asal Amrik, NDI (National Democration Institute). Lembaga tersebut dalam perjalanannya didukung oleh CETRO. Keduanya mempunyai program Constitutional Reform. Untuk mendanai proyek legislasi tersebut pemerintah Amerika Serikat mengucurkan dana mencapai US$4,4 miliar. Tak hanya itu. Untuk memberi akses legislasi secara terbuka, NDI dan CETRO mendapat fasilitas di Badan Pekerja (BP) MPR sehingga mereka dengan mudah mengikuti rapat-rapat di MPR. Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik (meski kemudian dibatalkan oleh MK), UU Sumber Daya Air (SDA), dan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) dan produk hukum lainnya yang berorientasi liberal dan pro kapitalisme. Dampak nyata dari UU tersebut sudah terasa. Melalui UU Migas, Pertamina, yang notabene perusahaan milik pemerintah dan rakyat, saat ini bukan lagi pemain tunggal. Pertamina harus bersaing dengan perusahaan minyak asing seperti Shell, Exxon Mobil, Mobil Oil dan perusahaan migas asing lainnya. Dalam kasus pengelolaan ladang minyak Blok Cepu Jateng, Pertamina juga harus rela berbagi keuntungan sama rata (45:45) dengan Exxon Mobil. Hal ini akhimya menuai protes luas di kalangan masyarakat. Namun pemerintah tak menggubris. Tak hanya mempromosikan dan mensponsori produk undang-undang, intervensi asing juga bisa dalam bentuk berlawanan, yakni pencegahan keluarnya produk hukum yang dinilai merugikan kepentingan mereka. Dalam kasus "geger" majalah Playboy dan pro kontra RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP), misalnya, merupakan contoh nyata bentuk intervensi pencegahan suatu produk hukum yang dilakukan pihak asing.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU APP waktu itu, Balkan Kaplale, mengungkapkan bahwa dirinya pernah didatangi pihak yang mengatasnamakan perwakilan Uni Eropa dan AS. Perwakilan asing itu mengkhawatirkan bergulirnya RUU APP menjadi UU. Ironisnya, intervensi asing tersebut, mendapat sambutan resmi Ketua DPR Agung Laksono. Dia menyatakan tenaga dari House of Representatives dan Kongres AS didatangkan dalam waktu dekat. Mereka melakukan asistensi pembuatan draft akademik, legal drafting sampai menjadi Undang-Undang. Maka tak heran kalau nasib RUU APP kini kandas tak terdengar lagi. Andil asing terhadap proses legislasi juga merambah ke hal yang lebih strategis, seperti perumusan undang-undang Pemilu yang diusung CETRO dengan dana USAID. Pada saat sama ada gerakan penolakan yang keras terhadap RUU TNI yang sempat diajukan pada 2004. Mantan Kasad Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu mengatakan, penolakan RUU TNI oleh sejumlah kalangan mengindikasikan adanya campur tangan asing yang ingin memecah belah bangsa Indonesia hingga menjadi bangsa yang lemah. Padahal, kata Ryamizard, TNI tidak bermaksud kembali "unjuk gigi" seperti masa orde baru melalui RUU TNI tersebut. Memang RUU itu masih mengedepankan peran TNI AD dalam penguasaan wilayah teritorial sebagai wujud pertahanan dan penjaga kedaulatan. Artinya, konsep komando teritorial yang sejak reformasi bergulir terus dikritik oleh pihak asing dan dinilai anti demokrasi, tetap dijalankan TNI. Maka kalau ada pihak yang menolak keberadaan RUU TNI tersebut mengindikasikan adanya kekuatan asing yang ingin melemahkan TNI. Kritik asing itu memang ditujukan pada konsep angkatan bersenjata yang belum sesuai dengan standar yang diinginkan mereka. Sedikitnya ada dua konsep dasar TNI yang memberatkan pihak asing bila tetap dijalankan. Kedua konsep tersebut adalah konsep komando teritorial dan konsep manunggal TNI-rakyat. Bila kedua konsep dasar TNI itu tetap dipertahankan, jelas akan menjadi penghambat upaya pihak asing memecah belah bangsa dan menguasai wilayah Indonesia.
(Dwi Mingguan Intelijen No 18 Th IV 2007)

Tidak ada komentar: