"Konsep otonomi yang dikembangkan di Indonesia sudah melenceng. Hal itu menjadi bukti bahwa asing, dalam hal ini AS, berhasil memasukkan ide otonomi daerah melalui kalangan DPR maupun LSM"
"Kultur politik kita mesum". Perumpamaan politik mesum itu dilontarkan Taufik Effendi, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) mengomentari rumor sekitar pilkada yang kental dengan praktek politik uang. Menurut Taufik, dikatakan mesum karena biasanya hanya bisa didengar, dan orang berupaya menutup rapat perbuatan mesumnya itu ke publik. Karena bagian dari politik mesum, orang yang tidak setuju dengan rumor itu menangkis dengan mengatakan bahwa itu bukan money politics, tapi political cost.
Pilkada dan problematikanya merupakan buah dari otonomi daerah yang kebablasan? Tak dapat dipungkiri, otonomi daerah telah memunculkan "raja-raja baru". Di mana sebelum otonomi daerah diterapkan, money politics tumbuh subur di pemerintahan pusat, tetapi, saat ini di daerah pun berkembang pesat. Pelaksanaan olonomi daerah telah disalahgunakan oleh para oknum korup dan anti-rakyat di banyak daerah.
Menarik untuk dicermati pendapat pengamat intelijen, AC Manullang. Mantan Direktur BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) ini menyatakan, konsep otonomi yang dikembangkan di Indonesia sudah melenceng. Hal itu menjadi bukti bahwa asing, dalam hal ini AS, telah terbukti berhasil memasukkan ide otonomi daerah melalui kalangan dewan maupun LSM.
Menurut Manullang, keberhasilan ini akan diikuti dengan penempatan orang-orang AS untuk menduduki pemerintah daerah. Manullang menyebut pilkada di Aceh sebagai contoh keberhasilan AS mendudukkan orang-orang kepercayaannya.
Senada dengan Manullang, Mantan Wakil Ketua DPR, Zaenal Ma'arif, sempat menyatakan, munculnya UU Otonomi Daerah tidak mungkin terjadi tanpa skenario para agen AS Indonesia.
Boleh dikatakan tidak ada satupun departemen ataupun lembaga pemerintah yang tidak disusupi agen intelijen AS, terutama dari bangsa Indonesia sendiri.
Disadari ataupun tidak, secara sistematis indikasi adanya intervensi itu mencapai klimaks sejak dilakukan amandemen UUD 1945. Setelah amandemen, UUD pepat dengan nuansa federal.
Anehnya lagi, di era pemerintahan transisi, Presiden BJ Habibie merespon berbagai tuntutan daerah. Alasannya, akumulasi tuntutan harus direspon agar tidak berkembang menjadi ancaman terhadap NKRI. Walhasil, pemerintah dan DPR melahirkan UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. UU 22/1999 sendiri kemudian diganti dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menambah derajat desentralisasi penyelenggaraan otonomi daerah.
FEDERAL Vs NKRI.
Sejak awal pelaksanaannya, otonomi daerah yang diatur dalam UU 22/1999 itu, sering kebablasan. Penelitian yang digelar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sepanjang 2001-2003, menyimpulkan hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota seakan-akan terlepas satu sama lain. UU 22/1999 sendiri memang mengisyaratkan bahwa provinsi dengan kabupaten/kota tidak mempunyai hubungan hierarkis. Produk perundang-undangan di Indonesia memang tidak berjalan seimbang. Ketika Undang-undang Pemilu masih proporsional dan dominasi parpol masih sangat besar, Undang-undang Otonomi Daerah justru sangat federal.
Berbagai penyempurnaan dilakukan. Pada 2003, Undang-undang Pemilu dirubah menjadi pemilihan langsung. Sedangkan, otonomi daerah justru diarahkan pada resentralisasi. Konsep NKRI yang lebih ditonjolkan membawa implikasi terhadap desain desentralisasi, otonomi daerah, hubungan pusat-daerah hingga akuntabilitas pemda. Sejarah membuktikan, sentralisme NKRI untuk tujuan membangun integrasi nasional justru menimbulkan bahaya disintegrasi. Misalnya, lepasnya Timor Timur, keberhasilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), OPM ataupun federalisasi Riau. Pakar Hukum Tata Negara, Harun Al Rasyid, menawarkan konsepsi agar NKRI tetap dipertahankan tetapi semangat federalisme juga diadopsi.
Implementasinya, yakni dengan adanya bentuk pemerintahan dua kamar (biKameral).
Belakangan konsepsi itu diterapkan. Dimana, MPR Utusan Golongan dihapus, lalu diganti dengan Dewan Utusan Daerah (DPD) yang dipilih dalam pemilu.
Konsep sentralisasi ataupun desentrasilasi memang akan bersinggungan dengan bentuk negara yang akan dipilih. Pro kontra bentuk negara selalu mengiringi diskursus otonomi daerah. Faktanya, tidak sedikit yang berpandangan bahwa NKRI belum final.
Dalam seminar bertajuk "Menimbang Otonomi versus Federasi", pakar politik Maswadi Rauf menegaskan, bahwa bentuk negara kesatuan bukan merupakan bentuk negara yang sudah final. Menurut Maswadi, bentuk negara kesatuan bukanlah sesuatu yang harus terus dipertahankan.
Semakin besar perbedaan-perbedaan di suatu negara, negara federal lebih cocok diterapkan. Karena, daerah telah kehilangan kepercayaan terhadap negara kesatuan. Bahkan Maswadi mengusulkan agar pemerintah pusat menanggapi keinginan daerah yang ingin menjadi negara federal, dengan mencoba negara federal. Tampaknya, sejarah terbentuknya negara Indonesia dijadikan alasan pembenar dipilihnya bentuk negara federal.
Sosiolog Sardjono Jatiman menegaskan, bahwa ethnic state yang berbentuk negara federal sudah ada pada zaman Hindia Belanda. Hanya kemudian, hal itu dipersatukan kolonial untuk kemudian berproses menjadi negara kesatuan.
Pendapat Sardjono didukung Anhar Gonggong yang mengatakan bahwa yang terbaik adalah bentuk negara federal. Alasannya, dari sejarahnya Indonesia pernah mengalami bentuk federal.
Federalisme menurut Gonggong, tidak identik dengan separatisme. Yang salah, justru negara kesatuan hanya membuat sejahtera "orang Jakarta".
Meskipun demikian, pemaksaan kehendak untuk mencapai "otonomi" bisa saja mengarah pada separatisme. Misalnya, GAM (Gerakan Aceh Merdeka), RMS (Republik Maluku Selatan) dan OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Sejak awal pelaksanaannya, otonomi daerah yang diatur dalam UU 22/1999 itu, sering kebablasan. Penelitian yang digelar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sepanjang 2001-2003, menyimpulkan hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota seakan-akan terlepas satu sama lain. UU 22/1999 sendiri memang mengisyaratkan bahwa provinsi dengan kabupaten/kota tidak mempunyai hubungan hierarkis. Produk perundang-undangan di Indonesia memang tidak berjalan seimbang. Ketika Undang-undang Pemilu masih proporsional dan dominasi parpol masih sangat besar, Undang-undang Otonomi Daerah justru sangat federal.
Berbagai penyempurnaan dilakukan. Pada 2003, Undang-undang Pemilu dirubah menjadi pemilihan langsung. Sedangkan, otonomi daerah justru diarahkan pada resentralisasi. Konsep NKRI yang lebih ditonjolkan membawa implikasi terhadap desain desentralisasi, otonomi daerah, hubungan pusat-daerah hingga akuntabilitas pemda. Sejarah membuktikan, sentralisme NKRI untuk tujuan membangun integrasi nasional justru menimbulkan bahaya disintegrasi. Misalnya, lepasnya Timor Timur, keberhasilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), OPM ataupun federalisasi Riau. Pakar Hukum Tata Negara, Harun Al Rasyid, menawarkan konsepsi agar NKRI tetap dipertahankan tetapi semangat federalisme juga diadopsi.
Implementasinya, yakni dengan adanya bentuk pemerintahan dua kamar (biKameral).
Belakangan konsepsi itu diterapkan. Dimana, MPR Utusan Golongan dihapus, lalu diganti dengan Dewan Utusan Daerah (DPD) yang dipilih dalam pemilu.
Konsep sentralisasi ataupun desentrasilasi memang akan bersinggungan dengan bentuk negara yang akan dipilih. Pro kontra bentuk negara selalu mengiringi diskursus otonomi daerah. Faktanya, tidak sedikit yang berpandangan bahwa NKRI belum final.
Dalam seminar bertajuk "Menimbang Otonomi versus Federasi", pakar politik Maswadi Rauf menegaskan, bahwa bentuk negara kesatuan bukan merupakan bentuk negara yang sudah final. Menurut Maswadi, bentuk negara kesatuan bukanlah sesuatu yang harus terus dipertahankan.
Semakin besar perbedaan-perbedaan di suatu negara, negara federal lebih cocok diterapkan. Karena, daerah telah kehilangan kepercayaan terhadap negara kesatuan. Bahkan Maswadi mengusulkan agar pemerintah pusat menanggapi keinginan daerah yang ingin menjadi negara federal, dengan mencoba negara federal. Tampaknya, sejarah terbentuknya negara Indonesia dijadikan alasan pembenar dipilihnya bentuk negara federal.
Sosiolog Sardjono Jatiman menegaskan, bahwa ethnic state yang berbentuk negara federal sudah ada pada zaman Hindia Belanda. Hanya kemudian, hal itu dipersatukan kolonial untuk kemudian berproses menjadi negara kesatuan.
Pendapat Sardjono didukung Anhar Gonggong yang mengatakan bahwa yang terbaik adalah bentuk negara federal. Alasannya, dari sejarahnya Indonesia pernah mengalami bentuk federal.
Federalisme menurut Gonggong, tidak identik dengan separatisme. Yang salah, justru negara kesatuan hanya membuat sejahtera "orang Jakarta".
Meskipun demikian, pemaksaan kehendak untuk mencapai "otonomi" bisa saja mengarah pada separatisme. Misalnya, GAM (Gerakan Aceh Merdeka), RMS (Republik Maluku Selatan) dan OPM (Organisasi Papua Merdeka).
POLITIK KEKUASAAN.
Mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), AM Hendro Priyono, sempat menyatakan bahwa gerakan separatisme di Indonesia diyakini semakin meluas. Papua diperkirakan bakal menjadi wilayah kedua setelah Timor-Timur. Selanjutnya, Borneo juga akan melepaskan diri lima tahun sesudahnya. Semua gerakan separatisme itu hampir dipastikan disponsori pihak-pihak asing yang tidak ingin NKRI menjadi kuat dan bersatu. Setidaknya, pihak asing telah menghembuskan propaganda kedaerahan dan kesukuan.
Diantaranya, memunculkan persepsi bahwa dengan melepaskan diri dari NKRI, kondisi di daerah akan jauh lebih baik. Tentunya tidak mudah untuk melupakan aksi dua anggota Konggres AS yang berhasil menggolkan RUU mengenai Papua Barat yang isinya mempertanyakan keabsahan proses masuknya Papua ke NKRI.
Keduanya adalah, Eni Fa'aua Faleomavaega asal Samoa dan Donald Milford Payne asal Newark, New Jersey.
Otonomi daerah akhirnya menjadi satu-satunya solusi? Pemberlakuan UU Otonomi Daerah pada 1 Januari 2001 bisa dilihat sebagai peralihan totalitarianisme ke arah desentralisme pada tingkat nasional. Faktanya, setelah berjalan sejak era reformasi, desentralisasi berada di bawah standar dari tujuan awal. Korupsi APBD, mark up anggaran pengadaan barang dan jasa, gaji dan fasilitas yang fantastis, justru tumbuh subur. Hal itu bertolak belakang dengan semakin rendahnya kesejahteraan rakyat di daerah. Disukai atau tidak, compang-camping pelaksanaan otonomi daerah tidak lepas dari pendekatan politik kekuasaan dan intervensi asing ketika UU Pemerintahan Daerah, baik UU 22/1999 maupun UU 32/2004 disusun. Otonomi daerah diposisikan sebagai jalan keluar untuk menghindarkan diri dari disintegrasi.
Konsepsi otonomi daerah hanya menggeser pusat kekuasaan dari elit politik pusat kepada elit politik daerah sebagai bentuk akomodasi politik kekuasaan terhadap usaha memisahkan diri dari NKRI yang sebagian dikomandani oleh elit politik daerah. Tak salah jika dikatakan, otonomi daerah hanya untuk melayani kepentingan dan ambisi pribadi atas nama Pemerintah Daerah dan DPRD. Akhirnya, kebijakan dirumuskan secara oligarkhi oleh Pemerintah dan DPRD tanpa keterlibatan rakyat. APBD yang merupakan akumulasi sumber daya publik menjadi rebutan demi kepentingan pribadi.
Pangamat politik Cornells Lay, menyatakan tidak sedikit program otonomi daerah menemui kegagalan bahkan menimbulkan kemerosotan. Ancaman disintegrasi bangsa bergelayut di belakang proses otonomi daerah. Yakni bangkitnya sentimen kedaerahan dan makin merebaknya politik etnisitas, serta makin mengerasnya isu putra daerah.
Menurut Cornelis Lay, otonomi daerah semakin menguatkan kecenderungan sentimen agama.
Indikasinya, semakin banyaknya ragam peraturan daerah yang berbasis sektarian. Misalnya, Perda Syariah di 36 kabupaten dan delapan kota yang terpresentasikan di enam provinsi.
Cornells Lay beralasan, perda-perda berbasis sektarian sah-sah saja jika dilihat dari sudut keunikan lokal. Namun, dilihat dari kerangka kepentingan nasional, telah melahirkan persoalan serius, yakni makin menganganya ruang bagi disintegrasi sosial, politik, dan ekonomi yang semakin dalam. Namun demikian Cornelis Lay mengingatkan agar ketakutan disintegrasi dengan diberlakukannya otonomi jangan dijadikan dasar untuk mengurangi, apalagi menyangkali desentralisasi dan otonomi daerah. Otonomi daerah juga cenderung berlangsung pada tingkat normatif, formal dan geopolitis, dan tidak pada tingkat kultural. Otonomi daerah dengan pendorong proses reformasi justru telah menggiring ke arah relativisme radikal.
Dalam relativisme radikal, setiap kelompok atau komunitas bebas melakukan apa saja, tanpa perlu terikat lagi dengan konsensus, atau aturan main bersamai dan hukum. Lihat saja, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah mengharu biru sistem politik nasional. Gcliat GAM telah melahirkan parpol lokal di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Partai lokal di daerah bisa menjadi batu loncatan bagi suatu daerah untuk berdiri sendiri. Bahkan Partai GAM sempat memasang atribut-atribut GAM sebagai lambang partai lokal. Ironisnya, merebak wacana mengenai perlunya pendirian parpol lokal di setiap daerah seperti halnya di NAD.
Dikhawatirkan indikasi itu dapat membuat kerawanan dalam keutuhan NKRI. Wacana parpol lokal selalu dikait-kaitkan dengan semangat otonomi daerah yang meluap-luap. Padahal sejatinya, tidak ada hubungan antara otonomi daerah dengan partai lokal. Parpol lokal bukan dari implikasi dari otonomi daerah. Singkatnya, otonomi daerah adalah pemberian urusan tertentu yang selama ini dari pusat menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Apa lacur, pelaksanaan otonomi daerah berjalan seiring dengan maraknya tuntutan pemekaran wilayah, penggabungan dan penghilangan wilayah. Di awal pelaksanaan otonomi daerah, Mendagri dan Otonomi Daerah, Surjadi Soedirdja memberikan catatan penting terkait pembentukan provinsi ataupun pelaksanaan otonomi daerah. Pemekaran, penggabungan atau penghilangan suatu kabupaten diharapkan tidak mengganggu NKRI karena hal itu merupakan komitmenUUD 1945. Hanya saja, iming-iming otonomi daerah yang memunculkan tuntutan pemekaran dan penggabungan wilayah telah mengarah pada pemaksaan kehendak. Pemekaran wilayah justru memicu konflik di daerah.
Mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), AM Hendro Priyono, sempat menyatakan bahwa gerakan separatisme di Indonesia diyakini semakin meluas. Papua diperkirakan bakal menjadi wilayah kedua setelah Timor-Timur. Selanjutnya, Borneo juga akan melepaskan diri lima tahun sesudahnya. Semua gerakan separatisme itu hampir dipastikan disponsori pihak-pihak asing yang tidak ingin NKRI menjadi kuat dan bersatu. Setidaknya, pihak asing telah menghembuskan propaganda kedaerahan dan kesukuan.
Diantaranya, memunculkan persepsi bahwa dengan melepaskan diri dari NKRI, kondisi di daerah akan jauh lebih baik. Tentunya tidak mudah untuk melupakan aksi dua anggota Konggres AS yang berhasil menggolkan RUU mengenai Papua Barat yang isinya mempertanyakan keabsahan proses masuknya Papua ke NKRI.
Keduanya adalah, Eni Fa'aua Faleomavaega asal Samoa dan Donald Milford Payne asal Newark, New Jersey.
Otonomi daerah akhirnya menjadi satu-satunya solusi? Pemberlakuan UU Otonomi Daerah pada 1 Januari 2001 bisa dilihat sebagai peralihan totalitarianisme ke arah desentralisme pada tingkat nasional. Faktanya, setelah berjalan sejak era reformasi, desentralisasi berada di bawah standar dari tujuan awal. Korupsi APBD, mark up anggaran pengadaan barang dan jasa, gaji dan fasilitas yang fantastis, justru tumbuh subur. Hal itu bertolak belakang dengan semakin rendahnya kesejahteraan rakyat di daerah. Disukai atau tidak, compang-camping pelaksanaan otonomi daerah tidak lepas dari pendekatan politik kekuasaan dan intervensi asing ketika UU Pemerintahan Daerah, baik UU 22/1999 maupun UU 32/2004 disusun. Otonomi daerah diposisikan sebagai jalan keluar untuk menghindarkan diri dari disintegrasi.
Konsepsi otonomi daerah hanya menggeser pusat kekuasaan dari elit politik pusat kepada elit politik daerah sebagai bentuk akomodasi politik kekuasaan terhadap usaha memisahkan diri dari NKRI yang sebagian dikomandani oleh elit politik daerah. Tak salah jika dikatakan, otonomi daerah hanya untuk melayani kepentingan dan ambisi pribadi atas nama Pemerintah Daerah dan DPRD. Akhirnya, kebijakan dirumuskan secara oligarkhi oleh Pemerintah dan DPRD tanpa keterlibatan rakyat. APBD yang merupakan akumulasi sumber daya publik menjadi rebutan demi kepentingan pribadi.
Pangamat politik Cornells Lay, menyatakan tidak sedikit program otonomi daerah menemui kegagalan bahkan menimbulkan kemerosotan. Ancaman disintegrasi bangsa bergelayut di belakang proses otonomi daerah. Yakni bangkitnya sentimen kedaerahan dan makin merebaknya politik etnisitas, serta makin mengerasnya isu putra daerah.
Menurut Cornelis Lay, otonomi daerah semakin menguatkan kecenderungan sentimen agama.
Indikasinya, semakin banyaknya ragam peraturan daerah yang berbasis sektarian. Misalnya, Perda Syariah di 36 kabupaten dan delapan kota yang terpresentasikan di enam provinsi.
Cornells Lay beralasan, perda-perda berbasis sektarian sah-sah saja jika dilihat dari sudut keunikan lokal. Namun, dilihat dari kerangka kepentingan nasional, telah melahirkan persoalan serius, yakni makin menganganya ruang bagi disintegrasi sosial, politik, dan ekonomi yang semakin dalam. Namun demikian Cornelis Lay mengingatkan agar ketakutan disintegrasi dengan diberlakukannya otonomi jangan dijadikan dasar untuk mengurangi, apalagi menyangkali desentralisasi dan otonomi daerah. Otonomi daerah juga cenderung berlangsung pada tingkat normatif, formal dan geopolitis, dan tidak pada tingkat kultural. Otonomi daerah dengan pendorong proses reformasi justru telah menggiring ke arah relativisme radikal.
Dalam relativisme radikal, setiap kelompok atau komunitas bebas melakukan apa saja, tanpa perlu terikat lagi dengan konsensus, atau aturan main bersamai dan hukum. Lihat saja, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah mengharu biru sistem politik nasional. Gcliat GAM telah melahirkan parpol lokal di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Partai lokal di daerah bisa menjadi batu loncatan bagi suatu daerah untuk berdiri sendiri. Bahkan Partai GAM sempat memasang atribut-atribut GAM sebagai lambang partai lokal. Ironisnya, merebak wacana mengenai perlunya pendirian parpol lokal di setiap daerah seperti halnya di NAD.
Dikhawatirkan indikasi itu dapat membuat kerawanan dalam keutuhan NKRI. Wacana parpol lokal selalu dikait-kaitkan dengan semangat otonomi daerah yang meluap-luap. Padahal sejatinya, tidak ada hubungan antara otonomi daerah dengan partai lokal. Parpol lokal bukan dari implikasi dari otonomi daerah. Singkatnya, otonomi daerah adalah pemberian urusan tertentu yang selama ini dari pusat menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Apa lacur, pelaksanaan otonomi daerah berjalan seiring dengan maraknya tuntutan pemekaran wilayah, penggabungan dan penghilangan wilayah. Di awal pelaksanaan otonomi daerah, Mendagri dan Otonomi Daerah, Surjadi Soedirdja memberikan catatan penting terkait pembentukan provinsi ataupun pelaksanaan otonomi daerah. Pemekaran, penggabungan atau penghilangan suatu kabupaten diharapkan tidak mengganggu NKRI karena hal itu merupakan komitmenUUD 1945. Hanya saja, iming-iming otonomi daerah yang memunculkan tuntutan pemekaran dan penggabungan wilayah telah mengarah pada pemaksaan kehendak. Pemekaran wilayah justru memicu konflik di daerah.
Demi PAD.
Tidak dapat disangkal, ketika peran pemerintah daerah sangat besar akan memunculkan stimulus disintegrasi. Apalagi jika pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan kerjasama dengan negara lain. Belum lagi saat ini berkembang konsep sister cities dan sister province. Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah tercatat telah melakukan kerjasama dengan sejumlah negara. Di antaranya, Cina, Jepang, Malaysia, Australia, Irlandia dan menyusul dengan Republik Korea. Demi mengejar pendapatan asli daerah (PAD) bisa jadi pemerintah daerah menafikan motivasi imperialisme baru. Negara asing akan terus mencari sumber bahan baku baru, tenaga kerja murah, area investasi baru, area pasar industri, strategi penyeimbangan, dan kebanggaan nasional. Strategi asing ini digerakkan oleh para pemain ekonomi yang sekaligus pemain politik. Mereka bergerak dengan sistem yang terstruktur sangat rapi. Anehnya, investasi ditempatkan sebagai tolok ukur keberhasilan otonomi daerah.
Tidak dapat disangkal, ketika peran pemerintah daerah sangat besar akan memunculkan stimulus disintegrasi. Apalagi jika pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan kerjasama dengan negara lain. Belum lagi saat ini berkembang konsep sister cities dan sister province. Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah tercatat telah melakukan kerjasama dengan sejumlah negara. Di antaranya, Cina, Jepang, Malaysia, Australia, Irlandia dan menyusul dengan Republik Korea. Demi mengejar pendapatan asli daerah (PAD) bisa jadi pemerintah daerah menafikan motivasi imperialisme baru. Negara asing akan terus mencari sumber bahan baku baru, tenaga kerja murah, area investasi baru, area pasar industri, strategi penyeimbangan, dan kebanggaan nasional. Strategi asing ini digerakkan oleh para pemain ekonomi yang sekaligus pemain politik. Mereka bergerak dengan sistem yang terstruktur sangat rapi. Anehnya, investasi ditempatkan sebagai tolok ukur keberhasilan otonomi daerah.
Akibatnya pemerintah daerah berlomba-lomba memberikan berbagai fasilitas dan kemudahan agar investasi bisa masuk. Di sisi lain, investor asing tentunya akan melihat potensi masing-masing daerah. Sehingga banyak daerah yang justru frustasi menunggu investor yang tidak kunjung datang. Pemerintah pusat dan daerah juga berebut kekuasaan dalam penarikan pajak dan retribusi untuk setiap investasi yang ditanam di daerah. Pemerintah daerah memungut pajak atas para perusahaan, sebagai langkah awal untuk mengamankan pendapatan atas sumber daya yang keuntungannya mengalir ke Jakarta. Sempat muncul ke permukaan tuntutan anggota DPRD Sulawesi Selatan agar pemerintah pusat membayar Rp 6 miliar atas royalti yang belum dibayar dari PT Inco Nickel Mine. Pemerintah pusat dituduh telah menunda pembayaran dan mengambil hak atas royalti lebih dari seharusnya, dan membiarkan daerah produksi tetap miskin dan tidak berkembang. Selain itu, Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara sempat mendapat perintah dari pengadilan setempat untuk menutup usahanya karena menolak membayar pajak atas batu buangan dari hasil penggalian di penambangan. Keputusan itu diperkual oleh pengadilan propinsi namun dibatalkan oleh Mahkamah Agung di Jakarta.
Newmont akhirnya setuju membayar pajak antara US$ 400 ribu dan US$ 500 ribu.
Newmont akhirnya setuju membayar pajak antara US$ 400 ribu dan US$ 500 ribu.
(Dwi Mingguan Intelijen No 18 Th IV 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar