Oleh : Rizki Ridyasmara, “Singapura basis Israel Asia Tenggara”, Khalifa, Jkt, 2005
Ching Cheong bukan sekadar warga negara Singapura berusia 55 tahun. la merupakan jurnalis kawakan harian The Straits Times yang April 2005 lalu ditangkap pihak keamanan Republik Rakyat China. Ching ditahan di penjara Guangzhou setelah didakwa oleh pihak keamanan Cina yang mengatakan Ching telah melakukan kegiatan spionase di RRC untuk kepentingan Taiwan.
"Pada awal tahun 2000, Ching telah direktur Biro Keamanan Nasional Taiwan, dan membuka jaringan mata-mata di Hongkong atas perintah Taiwan," tulis Kantor Berita Xinhua. Lebih dari 500.000 wartawan dari 100 negara telah menandatangani petisi yang meminta pemerintah Cina agar memperlakukan Ching dengan baik. (Kompas, 6 Agustus 2005)
Pihak keamanan Cina agaknya lebih awas ketimbang Indonesia. Bagi mereka, semua warga Singapura harus diawasi dengan ekstra ketat, sebab Cina tahu, Singapura menerapkan model Israel dalam membangun jaringan keamanan, pertahanan, dan juga jaringan intelijennya.
Dalam hal keamanan, pertahanan, dan jaringan intelijen, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tiap warga Singapura dewasa adalah sel tidur, yang bisa dibangunkan kapan saja jika pemerintahan negeri kecil itu mau. Terhadap seluruh wartawan The Straits Times yang akan ditugaskan di luar Singapura, pemerintah negeri ini menerapkan aturan bahwa mereka harus diperiksa dulu oleh SIS (Stationary Officer Singapore Intelligence Service). Lolos atau tidaknya sangat ditentukan oleh sikap mau kooperatifnya dengan SIS. Sebab itu Derwin Parera, Kepala Biro The Straits Times di Indonesia, dinilai oleh komunitas intelijen Indonesia sebagai salah seorang 'bagian' dari SIS. (Tabloid Adil, 7 Maret 2002)
Intelijen Singapura sebenarnya sudah lama berkeliaran di Indonesia. Salah satu kasus yang sempat mengemuka adalah tentang Kolonel Yoga. Ini bukan tentang Yoga Sugama yang juga perwira intel Indonesia itu. Melainkan Kolonel Yoga Indra Rajayoga, yang keturunan India dan berkebangsaan Singapura. la menjabat sebagai Kepala SIS di Jakarta.
Di Indonesia, SIS bernaung di bawah Kedutaan Besar Singapura yang berlokasi di Jalan Hajjah Rangkayo Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Komandan tertinggi SIS di Indonesia dijabat oleh Brigadir Jenderal Chan. Menurut pengamat militer asal Solo, M.T. Arifin, intelijen Singapura merupakan intelijen asing yang paling kuat di Indonesia selain CIA. "Singapura belajar intelijen dari Israel. Sebab, dua negara itu punya kesamaan. Modelnya kecil tapi canggih," tutur Arifin.
Ciri khas lain dari dari SIS adalah informasi yang diperolehnya sangat akurat. Singapura punya informasi terlengkap dan setiap hari di up-date mengenai Indonesia. Tiap hari, tidak sampai pukul 09.00 WIB, nyaris seluruh surat kabar Indonesia sudah ada di Singapura. Demikian pula dengan majalah dan media cetak lainnya Ciri yang lain adalah intelijen Singapura punya jaringan organisasi yang kecil, solid, dan amat rapi. Bahkan CIA pun kalah dalam hal ini.
Terkait dengan penggunaan wartawan The Straits Times, yang discreening dahulu oleh SIS sebelum bertugas ke luar Singapura, M.T. Arifin memandang hal tersebut sebagai hal yang lumrah. Penggunaan wartawan sebagai agen intelijen yang memasok informasi dan data lazim dilakukan oleh dinas intelijen seluruh dunia.
Dalam kasus Derwin Parera yang mengakui memperoleh dokumen "Operasi Jihad di Asia" dari kelompok radikal kanan (2002), AC. Manullang, pengamat intelijen yang juga mantan salah satu Direktur BAKIN meyakini bahwa Derwin mendapatkannya dari kalangan intelijen Singapura. Apalagi kata radikal kanan, demikian AC Manullang, selama ini dikenal sebagai bahasa intelijen. Radikal kanan adalah kata ganti elemen kanan.
Kembali ke soal Kolonel Yoga, Kepala SIS Jakarta. Tempat tongkrongan kolonel ini adalah di kawasan Hotel Hilton, Jakarta. Di hotel mewah itu, menurut sumber intelijen, Yoga sering kali melakukan "transaksi informasi." Selain di Hilton, juga di Hotel Ambhara di Kebayoran Baru, dan satu hotel lainnya, yang juga masih berada di kawasan Jakarta.
Terkait dengan daerah Kuningan, Jakarta, sumber intelijen juga menyatakan jika daerah itu bukan saja dipenuhi oleh berbagai gedung kedubes asing, namun juga dipakai sebagai markas komando sejumlah dinas intelijen asing, termasuk CIA. "Di Indonesia, CIA merekrut banyak tenaga lokal sebagai agen pemasok data dan informasi. Ada yang orang Indonesia asli, etnis Cina, banyak pula orang Arab kelahiran Indonesia yang bekerja di lembaga atau institusi keislaman," ujarnya.
CIA, tambahnya, tentu tidak sembarangan dalam memilih agen lokal. Sejumlah persyaratan harus dipenuhi, yaitu setidaknya menguasai tiga bahasa termasuk bahasa daerah, lalu mempunyai loyalitas tinggi terhadap AS—terlebih orang-orang Indonesia yang pernah bekerja dan mengabdi kepada AS di berbagai perusahaan AS dan kedutaan besarnya di dunia selama bertahun-tahun yang sudah balik lagi ke Indonesia, dan yang penting KTP-nya beragama Islam.
Sumber yang masih aktif di dalam kegiatan intelijen ini menambahkan, "Saya pernah berbulan-bulan bertugas di Pakistan. Di sana, jika ada orang lokal yang bekerja pada Kedubes AS selama dua bulan saja, tidak perlu bertahun-tahun, maka orang itu sudah bisa dipastikan sebagai agen AS. Demikian pula di negara-negara Timur Tengah lainnya. Orang itu lalu diperintahkan untuk kembali ke negara asal. Ada yang mengaku sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau pekerja profesional lainnya. Sekembalinya di negara asal, mereka tetap berhubungan dengan AS tapi tidak menerima gaji bulanan, melainkan dana proyek.
Soal rekrut-merekrut tenaga lokal ini dibenarkan mantan Direktur BAKIN, DR. A.C. Manullang, "Di mana-mana, intelijen bisa saja saling merekrut. Rekrutmen ini tidak melalui institusi resmi. Ia orang lepas. Begini, siapa yang diketahui dari intelijen kita, atau dari masyarakat Indonesia yang punya akses keterangan. Apa itu keterangan berkualifikasi A misalnya informasi dari presiden, atau kualifikasi B, dan sebagainya. Intelijen asing mulai merekrut orang yang dinilai mampu mensuplai informasi. Mereka masuk dari kelemahan orang yang mau direkrut. Misalnya, targetnya tidak punya uang, dikasihlah uang. Tak dengan memberi uang cash. Tapi dengan proyek.(Tabloid Adil, 7 Maret 2002)
Terhadap orang lokal yang bekerja atau direkrut menjadi agen negeri asing, intelijen Indonesia menurut A.C. Manullang biasanya bersikap keras. "Lembaga intelijen Indonesia, terus mencari. Itu yang disebut counter intelligence. Bila sudah diketahui bahwa orang itu melakukan kegiatan spionase, hanya ada dua perlakuan, diamati dan terus diikuti selama masih bermanfaat. Jika sudah tidak lagi bermanfaat, maka jalan terakhir ditempuh yakni ditangkap lalu dibunuh. Tapi, kalau cuma mencari keterangan saja, tak masalah. Seperti wartawan' ujarnya lagi.
Walau intelijen dan aparat keamanan Singapura dianggap hebat, peristiwa di medio akhir 2002 sungguh menggelikan. Ketika Presiden Singapura Goh Tok Chong berkunjung ke Indonesia dan sedang mengadakan dialog dengan sejumlah ulama dan tokoh Islam di Jakarta di malam hari, diam-diam keempat pengawalnya ngacir ke daerah kota. Aparat kepolisian Indonesia yang sedang melakukan operasi penertiban di daerah kota menangkap basah keempat pengawal Presiden Singapura itu tengah bermesum ria dengan sejumlah pelacur di Diskotik Stadium. Di hadapan para wartawan, Kapolda Metro Jaya Makbul Padmanegara sambil mesam-mesem penuh arti memberikan konfirmasi singkat, "Pengawal kok keluar malam-malam.. (Gatra, 27 Desember 2002)
Ching Cheong bukan sekadar warga negara Singapura berusia 55 tahun. la merupakan jurnalis kawakan harian The Straits Times yang April 2005 lalu ditangkap pihak keamanan Republik Rakyat China. Ching ditahan di penjara Guangzhou setelah didakwa oleh pihak keamanan Cina yang mengatakan Ching telah melakukan kegiatan spionase di RRC untuk kepentingan Taiwan.
"Pada awal tahun 2000, Ching telah direktur Biro Keamanan Nasional Taiwan, dan membuka jaringan mata-mata di Hongkong atas perintah Taiwan," tulis Kantor Berita Xinhua. Lebih dari 500.000 wartawan dari 100 negara telah menandatangani petisi yang meminta pemerintah Cina agar memperlakukan Ching dengan baik. (Kompas, 6 Agustus 2005)
Pihak keamanan Cina agaknya lebih awas ketimbang Indonesia. Bagi mereka, semua warga Singapura harus diawasi dengan ekstra ketat, sebab Cina tahu, Singapura menerapkan model Israel dalam membangun jaringan keamanan, pertahanan, dan juga jaringan intelijennya.
Dalam hal keamanan, pertahanan, dan jaringan intelijen, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tiap warga Singapura dewasa adalah sel tidur, yang bisa dibangunkan kapan saja jika pemerintahan negeri kecil itu mau. Terhadap seluruh wartawan The Straits Times yang akan ditugaskan di luar Singapura, pemerintah negeri ini menerapkan aturan bahwa mereka harus diperiksa dulu oleh SIS (Stationary Officer Singapore Intelligence Service). Lolos atau tidaknya sangat ditentukan oleh sikap mau kooperatifnya dengan SIS. Sebab itu Derwin Parera, Kepala Biro The Straits Times di Indonesia, dinilai oleh komunitas intelijen Indonesia sebagai salah seorang 'bagian' dari SIS. (Tabloid Adil, 7 Maret 2002)
Intelijen Singapura sebenarnya sudah lama berkeliaran di Indonesia. Salah satu kasus yang sempat mengemuka adalah tentang Kolonel Yoga. Ini bukan tentang Yoga Sugama yang juga perwira intel Indonesia itu. Melainkan Kolonel Yoga Indra Rajayoga, yang keturunan India dan berkebangsaan Singapura. la menjabat sebagai Kepala SIS di Jakarta.
Di Indonesia, SIS bernaung di bawah Kedutaan Besar Singapura yang berlokasi di Jalan Hajjah Rangkayo Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Komandan tertinggi SIS di Indonesia dijabat oleh Brigadir Jenderal Chan. Menurut pengamat militer asal Solo, M.T. Arifin, intelijen Singapura merupakan intelijen asing yang paling kuat di Indonesia selain CIA. "Singapura belajar intelijen dari Israel. Sebab, dua negara itu punya kesamaan. Modelnya kecil tapi canggih," tutur Arifin.
Ciri khas lain dari dari SIS adalah informasi yang diperolehnya sangat akurat. Singapura punya informasi terlengkap dan setiap hari di up-date mengenai Indonesia. Tiap hari, tidak sampai pukul 09.00 WIB, nyaris seluruh surat kabar Indonesia sudah ada di Singapura. Demikian pula dengan majalah dan media cetak lainnya Ciri yang lain adalah intelijen Singapura punya jaringan organisasi yang kecil, solid, dan amat rapi. Bahkan CIA pun kalah dalam hal ini.
Terkait dengan penggunaan wartawan The Straits Times, yang discreening dahulu oleh SIS sebelum bertugas ke luar Singapura, M.T. Arifin memandang hal tersebut sebagai hal yang lumrah. Penggunaan wartawan sebagai agen intelijen yang memasok informasi dan data lazim dilakukan oleh dinas intelijen seluruh dunia.
Dalam kasus Derwin Parera yang mengakui memperoleh dokumen "Operasi Jihad di Asia" dari kelompok radikal kanan (2002), AC. Manullang, pengamat intelijen yang juga mantan salah satu Direktur BAKIN meyakini bahwa Derwin mendapatkannya dari kalangan intelijen Singapura. Apalagi kata radikal kanan, demikian AC Manullang, selama ini dikenal sebagai bahasa intelijen. Radikal kanan adalah kata ganti elemen kanan.
Kembali ke soal Kolonel Yoga, Kepala SIS Jakarta. Tempat tongkrongan kolonel ini adalah di kawasan Hotel Hilton, Jakarta. Di hotel mewah itu, menurut sumber intelijen, Yoga sering kali melakukan "transaksi informasi." Selain di Hilton, juga di Hotel Ambhara di Kebayoran Baru, dan satu hotel lainnya, yang juga masih berada di kawasan Jakarta.
Terkait dengan daerah Kuningan, Jakarta, sumber intelijen juga menyatakan jika daerah itu bukan saja dipenuhi oleh berbagai gedung kedubes asing, namun juga dipakai sebagai markas komando sejumlah dinas intelijen asing, termasuk CIA. "Di Indonesia, CIA merekrut banyak tenaga lokal sebagai agen pemasok data dan informasi. Ada yang orang Indonesia asli, etnis Cina, banyak pula orang Arab kelahiran Indonesia yang bekerja di lembaga atau institusi keislaman," ujarnya.
CIA, tambahnya, tentu tidak sembarangan dalam memilih agen lokal. Sejumlah persyaratan harus dipenuhi, yaitu setidaknya menguasai tiga bahasa termasuk bahasa daerah, lalu mempunyai loyalitas tinggi terhadap AS—terlebih orang-orang Indonesia yang pernah bekerja dan mengabdi kepada AS di berbagai perusahaan AS dan kedutaan besarnya di dunia selama bertahun-tahun yang sudah balik lagi ke Indonesia, dan yang penting KTP-nya beragama Islam.
Sumber yang masih aktif di dalam kegiatan intelijen ini menambahkan, "Saya pernah berbulan-bulan bertugas di Pakistan. Di sana, jika ada orang lokal yang bekerja pada Kedubes AS selama dua bulan saja, tidak perlu bertahun-tahun, maka orang itu sudah bisa dipastikan sebagai agen AS. Demikian pula di negara-negara Timur Tengah lainnya. Orang itu lalu diperintahkan untuk kembali ke negara asal. Ada yang mengaku sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau pekerja profesional lainnya. Sekembalinya di negara asal, mereka tetap berhubungan dengan AS tapi tidak menerima gaji bulanan, melainkan dana proyek.
Soal rekrut-merekrut tenaga lokal ini dibenarkan mantan Direktur BAKIN, DR. A.C. Manullang, "Di mana-mana, intelijen bisa saja saling merekrut. Rekrutmen ini tidak melalui institusi resmi. Ia orang lepas. Begini, siapa yang diketahui dari intelijen kita, atau dari masyarakat Indonesia yang punya akses keterangan. Apa itu keterangan berkualifikasi A misalnya informasi dari presiden, atau kualifikasi B, dan sebagainya. Intelijen asing mulai merekrut orang yang dinilai mampu mensuplai informasi. Mereka masuk dari kelemahan orang yang mau direkrut. Misalnya, targetnya tidak punya uang, dikasihlah uang. Tak dengan memberi uang cash. Tapi dengan proyek.(Tabloid Adil, 7 Maret 2002)
Terhadap orang lokal yang bekerja atau direkrut menjadi agen negeri asing, intelijen Indonesia menurut A.C. Manullang biasanya bersikap keras. "Lembaga intelijen Indonesia, terus mencari. Itu yang disebut counter intelligence. Bila sudah diketahui bahwa orang itu melakukan kegiatan spionase, hanya ada dua perlakuan, diamati dan terus diikuti selama masih bermanfaat. Jika sudah tidak lagi bermanfaat, maka jalan terakhir ditempuh yakni ditangkap lalu dibunuh. Tapi, kalau cuma mencari keterangan saja, tak masalah. Seperti wartawan' ujarnya lagi.
Walau intelijen dan aparat keamanan Singapura dianggap hebat, peristiwa di medio akhir 2002 sungguh menggelikan. Ketika Presiden Singapura Goh Tok Chong berkunjung ke Indonesia dan sedang mengadakan dialog dengan sejumlah ulama dan tokoh Islam di Jakarta di malam hari, diam-diam keempat pengawalnya ngacir ke daerah kota. Aparat kepolisian Indonesia yang sedang melakukan operasi penertiban di daerah kota menangkap basah keempat pengawal Presiden Singapura itu tengah bermesum ria dengan sejumlah pelacur di Diskotik Stadium. Di hadapan para wartawan, Kapolda Metro Jaya Makbul Padmanegara sambil mesam-mesem penuh arti memberikan konfirmasi singkat, "Pengawal kok keluar malam-malam.. (Gatra, 27 Desember 2002)
1 komentar:
sangat menarik
Posting Komentar