Semoga melalui media digital personal website yang sangat sederhana ini, tali silaturahmi dan pertemanan yang terputus dapat tersambung kembali dan mengakrabkan kita, sebab hidup dgn ilmu akan lebih mudah, hidup dgn seni akan lebih indah & hidup dgn iman pasti akan terarah.

Masukan yang bersifat membangun dapat dikirimkan melalui email : bagyoesx@gmail.com atau bagyo_27061965@yahoo.co.id atau SMS/Kontak HP 08159552196

04 Oktober 2007

(Bagian 7) : Periode Keenam, 1998-2000: Penjarahan dana rekapitalisasi

Penjarahan melalui BPPN, dengan korting besar-besaran utang konglomerat, berlangsung selama 1998-2000. Dalam upaya penyehatan perbankan nasional, BPPN mengelola aset pemerintah pada perbankan. Ini mencakup tagihan BLBK/BLBI (Rp 217,53 triliun), tagihan pada BBO, BTO, bank rekap, dan bank BUMN (Rp 194,66 triliun), aset eks pemegang saham BBO dan BTO (Rp 112,02 triliun), dan aset pemerintah di bank-bank rekap (Rp 103,70 triliun). Total aset yang dikelola BPPN Rp 618,13 triliun. Kinerja BPPN yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 26 Tahun 1998 perlu dipertanyakan, lebih-lebih setelah di bawah kepemimpinan Cacuk Sudarijanto (mantan Dirut PT Telkom). Walaupun menghabiskan biaya negara yang amat besar, tampaknya BPPN bekerja bukan untuk kepentingan negara tetapi untuk kepentingan konglomerat yang telah mencuri ratusan triliun rupiah uang rakyat.
Keberpihakan BPPN pada kepentingan konglomerat tampak jelas dalam materi Master Settlement of Acquisition Agreement (MSAA) antara bankir dengan BPPN. Itu merupakan langkah-langkah yang sangat merugikan rakyat dan menguntungkan konglomerat, antara lain disepakati "bila aset milik konglomerat yang dijual tidak cukup untuk melunasi utang konglomerat, maka BPPN atau negara yang akan menanggung kekurangannya."
Berdasarkan MSAA itu, Presiden Gus Dur setuju-setuju saja atas usul rencana Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto untuk menjual PT Holdiko Perkasa (HP) dengan harga paket Rp 20 triliun. Padahal PT HP adalah aset eks Salim Group yang sudah diserahkan kepada BPPN sebagai jaminan utang mereka kepada negara. Ketika MSAA ditandatangani, keseluruhan aset eks Salim Group itu dinyatakan bernilai Rp 51 triliun. Ini berarti negara (dan rakyat) akan mengalami kerugian sebesar Rp 31 triliun. Apalagi kemudian diketahui pula bahwa calon pembeli PT HP dengan harga murah itu ternyata keluarga Salim (Liem Sioe Liong) sendiri.
Menko Ekuin Kwik Kian Gie menyatakan menolak usulan Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto untuk menjual PT HP dengan harga murah di bawah persetujuan MSAA. Karena itu, Kwik minta agar MSAA yang menguntungkan konglomerat koruptor ditinjau lagi dan diganti dengan peraturan yang lebih rasional. Bila kesepakatan ini benar-benar dilaksanakan dan tidak dibatalkan, maka menurut Menko Ekuin Kwik Kian Gie, negara akan menderita kerugian Rp 80 triliun.
(Rizki Ridyasmara, "Singapura Basis Israel Asia Tenggara", Khalifa, Jkt, 2005)

Tidak ada komentar: