Semoga melalui media digital personal website yang sangat sederhana ini, tali silaturahmi dan pertemanan yang terputus dapat tersambung kembali dan mengakrabkan kita, sebab hidup dgn ilmu akan lebih mudah, hidup dgn seni akan lebih indah & hidup dgn iman pasti akan terarah.

Masukan yang bersifat membangun dapat dikirimkan melalui email : bagyoesx@gmail.com atau bagyo_27061965@yahoo.co.id atau SMS/Kontak HP 08159552196

04 Oktober 2007

(Bagian 5) : Periode Keempat, 1998 : Utang Dolar konglomerat ditanggung BPPN/rakyat

Karena tidak mampu keluar dari krisis, akhirnya pada tahun 1998 Soeharto menyerahkan penyelesaian krisis ekonomi kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Di depan 'dokter' IMF, terbongkarlah borok-borok perekonomian Indonesia yang selama ini ditutup-tutupi. Ternyata pemerintah punya utang luar negeri sebesar 60 miliar dolar. Ironisnya, para konglomerat Indonesia punya utang di luar negeri yang lebih besar dari pemerintahnya sendiri, yaitu sebesar 75 miliar dolar!. Kreditor swasta luar negeri meminta bantuan dari pemerintah negaranya masing-masing untuk menagih piutang mereka yang macet pada konglomerat Indonesia. Pemerintah asing kemudian menalangi uang pinjaman para kreditor swasta, warga negaranya. Selanjutnya gantian, pemerintah negara asing itu menekan Indonesia untuk dapat mengambil-alih utang swasta, di antaranya lewat "dokter" IMF.
Akhirnya pemerintah mengalih-alih utang konglomerat kepada kreditor luar negeri Pemerintah mengambil alih tanggung jawab utang kepada luar negeri, sedang konglomerat yang punya utang ke luar negeri mengalihkan utangnya kepada pemerintah yakni BPPN. Berdasarkan Frankfurt Agreement, pada Juni 1998 pemerintah membayar utang bank swasta nasional dengan dana segar 1 miliar kepada bankir luar negeri tanpa verifikasi BPK/BPKP.
Begitu enak menjadi konglomerat Indonesia dan begitu tega pemerintahan Soeharto kepada rakyatnya. Para konglomerat itu berutang ke luar negeri tanpa minta persetujuan lebih dulu dari pemerintah, tetapi ketika utangnya macet, kewajibannya kemudian diambil-alih pemerintah, tentunya dengan uang milik rakyat yang semakin miskin dan sengsara.
Utang konglomerat kepada luar negeri yaitu sebesar 75 miliar dolar. Dengan kurs Rp 8.000, jumlah itu mencapai Rp 600 triliun. Utang sebesar itulah yang harus ditanggung rakyat, padahal dengan biaya beberapa triliun rupiah saja krisis Aceh, Ambon-Maluku, Poso, Irian Jaya dan daerah-daerah lain bisa diselesaikan dengan pembangunan proyek-proyek sosial ekonomi yang memberdayakan rakyat.
(Rizki Ridyasmara, "Singapura Basis Israel Asia Tenggara", Khalifa, Jkt, 2005)

Tidak ada komentar: