Semoga melalui media digital personal website yang sangat sederhana ini, tali silaturahmi dan pertemanan yang terputus dapat tersambung kembali dan mengakrabkan kita, sebab hidup dgn ilmu akan lebih mudah, hidup dgn seni akan lebih indah & hidup dgn iman pasti akan terarah.

Masukan yang bersifat membangun dapat dikirimkan melalui email : bagyoesx@gmail.com atau bagyo_27061965@yahoo.co.id atau SMS/Kontak HP 08159552196

04 Oktober 2007

(Bagian 8 - habis) : Periode Ketujuh, 1998-2000 : Penjarahan melalui BPPN

Perampokan melalui bunga deposito yang tinggi (sementara dana KLBI dan BLBI dengan bunga rendah didepositokan oleh konglomerat) berlangsung selama 1998-2000.
Belum puas para konglomerat menguras uang pemerintah melalui KBLI, BLBI, dan penarikan dana masyarakat melalui bank-bank swasta, BI menaikkan suku bunga SBI hingga mencapai 58 persen. Dengan demikian bunga simpanan deposito sangat tinggi, mencapai 60 persen.
Bukan hal yang tidak mungkin, dana BLBI yang disalurkan kepada bank-bank swasta nasional dengan bunga hanya 3 persen kemudian didepositokan dengan bunga tinggi di bank BUMN dengan menggunakan nama orang lain (karena ada jaminan bahwa simpanan deposito di bank tidak akan diusut asal-usulnya, berapa pun jumlahnya).
BI harus membayar bunga SBI dalam jumlah triliun rupiah, bank-bank utamanya bank BUMN harus membayar bunga deposito kepada para deposan dalam jumlah yang sangat besar. Sementara itu bank-bank tidak dapat menyalurkan kreditnya karena bunga kredit sangat tinggi (diselaraskan dengan bunga deposito). Akibatnya, banyak bank yang mengalami negative spread, alias mengalami kemunduran modal dan kinerja. Terutama bank-bank BUMN mengalami kerugian triliun rupiah.
Seluruh bank nasional nyaris kekurangan modal, CAR-nya banyak yang di bawah 0 persen bahkan di bawah minus 60 persen. PT Bank Mandiri perlu disuntik biaya rekapitalisasi Rp 178 triliun, Bank BNI Rp 61,8 triliun, BRI Rp 29 triliun, BIN Rp 14 triliun, dan lain-lain.
Dan yang lebih menyedihkan, para perampok duit rakyat itu ketika menyadari iklim usaha sudah tidak kondusif lagi, mereka pun memindahkan sebagian besar usahanya ke negeri seberang. Membawa lari uang dan teknologi dari Indonesia ke Cina kemudian mengekspor hasil produksinya ke Indonesia, sebagaimana dilakukan Sjamsul Nursalim (Gadjah Tunggal Group), yang mendirikan pabrik popok bayi di Cina dan memasarkannya di Indonesia. Demikian juga, banyak yang kabur ke Singapura.
Celakanya lagi, pemerintah tampaknya tidak mau bersikap tegas kepada para konglomerat koruptor tersebut, bahkan justru pemerintahlah yang' disandera' oleh para pencuri uang rakyat itu. Walaupun banyak utang tetapi konglomerat koruptor punya uang tunai, sedangkan pemerintah walau punya banyak aset piutang tetapi tidak punya uang cash di kantong.
Kini, saat rakyat banyak hidup melarat, melimpahnya pengemis dan pengamen di jalan-jalan, para perampok uang rakyat justru hidup mulia dan sejahtera dilindungi centeng-centengnya yaitu aparat pemerintah yang seharusnya menangkap mereka.
Di luar negeri, terutama Singapura, mereka bisa hidup dengan amat sangat kaya raya. Sedangkan antek-anteknya di Indonesia, juga bisa hidup dengan segala kemewahannya, berkeliaran di jalan raya dengan mobil-mobil mewah semacam Jaguar, Lamborghini, Maseratti, rumah bagaikan istana para raja, anak-anak mereka kuliah di luar negeri, dan sejuta kehidupan bak dongeng seribu satu malam. Kehidupan mewah mereka sebenarnya berasal dari uang haram hasil keringat, darah, air mata, dan nyawa orang banyak. Inikah tujuan reformasi? Quo Vadis Indonesia?
Ketika para konglomerat perampok itu kabur ke Singapura, membawa hasil jarahannya, Lee Kuan Yew dengan amat mesra merangkul mereka dan sengaja membentuk lembaga Asian Currency Unit (ACU) sebagai wadah tempat menyimpan uang warga keturunan Cina di Singapura, termasuk para konglomerat hitam asal Indonesia. Ini ditegaskan oleh Christianto Wibisono, pengamat ekonomi yang sejak Soeharto lengser lebih banyak tinggal di AS. Pada Maret 1998, jumlah uang disimpan di ACU mencapai US$ 513 miliar. Sebagian dana itu sesungguhnya milik rakyat Indonesia yang dijarah oleh para konglomerat perampok. Itulah Singapura. Namun apa kata Singapura menjawab tudingan bangsa Indonesia bahwa negerinya merupakan tempat paling aman buat ngumpet para konglomerat koruptor asal Indonesia, bukan sekadar ngumpetin tapi juga melindungi dan bahkan memfasilitasinya?
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menegaskan dirinya tidak menyetujui anggapan itu. "Pendapat seperti itu sama sekali tidak benar. Kami tidak mungkin melakukan hal tersebut mengingat kami merupakan bagian dari sistem keuangan global, seperti juga London, New York, atau Tokyo. Jika kami melakukan hal seperti itu, kami akan dikategorikan sebagai negara yang tidak mau bekerja sama (non-cooperating country), dan itu akan menghancurkan reputasi Singapura sebagai salah satu pusat keuangan global," kata Lee.(Harian Kompas, 19 Februari 2004). Lee Hsien Loong, yang akrab dengan sapaan BG Lee (kependekan dari Brigadir Jenderal Lee) dan putera sulung Lee Kuan Yew ini menegaskan, Singapura menganggap bahwa sebagai bagian dari sistem keuangan global, reputasi itu sangat penting. Karena itu, Singapura tidak akan menodai reputasinya. Tidak mungkin Singapura menyediakan negaranya untuk menjadi tempat persembunyian konglomerat hitam, apalagi menyediakan negaranya sebagai tempat untuk menyembunyikan uang gelap hasil korupsi atau hasil penjualan narkotik dan obat-obatan berbahaya.
"Sistem keuangan di Singapura bersih dan terbuka untuk diaudit. Apalagi Singapura mengikuti kerja sama internasional dalam penanganan pencucian uang (money laundering). Pendeknya, kami menjalankan sistem yang jujur," ujarnya tegas.
"Saya mengetahui dalam sejumlah surat kabar Indonesia dari waktu ke waktu melaporkan bahwa Singapura menyembunyikan konglomerat Indonesia. Scsungguhnya itu bukanlah persoalan Singapura... Mengapa mereka (bisa) lari ke luar negeri dan tidak diajukan ke pengadilan atau dijatuhi hukuman oleh pengadilan di Indonesia?" tanya Lee yang meragukan anggapan bahwa orang Indonesia mau menyimpan uang gelapnya di Singapura.
"Selain letaknya terlalu dekat dengan Indonesia, ia pasti juga berpikir bagaimana jika Pemerintah Indonesia menekan Singapura untuk mengembalikan uang terkait," tambahnya. Hanya saja Lee tidak sedikit pun menyinggung soal Asian Currency Unit (ACU) bikinan Lee Kuan Yew.
Selain itu, Lee juga tidak memberikan alasan, jika benar Singapura anti praktek pencucian uang, tidak berkenan negaranya menjadi tempat bersembunyinya konglomerat Hitam dan penjahat ekonomi lainnya, mengapa hingga detik ini Singapura tidak juga merilis perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, di mana pihak Indonesia sendiri sudah berkali-kali mengajak pihak Singapura untuk duduk bersama membahas kesepakatan itu namun tidak mendapat respon dari Singapura. Hingga sekarang, negeri kecil ini hanya memiliki perjanjian ekstradisi dengan dua negara yakni Amerika Serikat dan Inggris (http://www.tempointeraktif.com/. 17 April 2005).
Salah satu alasan Singapura selalu menunda disepakatinya perjanjian ekstradisi karena antara Singapura dengan Indonesia menganut sistem hukum yang berbeda. Indonesia menganut sistem hukum warisan kolonial Belanda (Europe Continent), sedang Singapura dari Inggris (British Commonwealth System).
Namun alasan ini pun sebenarnya tidak dapat diterima, mengingat dengan negara lain yang juga menganut sistem hukum Inggris seperti Singapura, Indonesia telah menjalin kerja sama perjanjian ekstradisi sejak lama. Misal dengan Australia, yang juga menganut sistem hukum Inggris, Indonesia sudah memiliki perjanjian ekstradisi sejak 1999. Dengan Malaysia malah sudah terealisasi sejak 1974. Dengan Filipina pada tahun 1976, dan dengan Hong Kong tahun 2001. (Harian Suara Pembaruan, 18 Februari 2005)
Jelas sudah, sikap Singapura yang selalu menghindar dengan alasan kedua negara—Singapura dan Indonesia—menganut sistem hukum yang berbeda tidak bisa dibenarkan. Ada sesuatu yang memang secara sadar dan sengaja disembunyikan Singapura atas sikapnya ini. Pada kenyataannya, Singapura memang sangat diuntungkan dengan berkumpulkan para konglomerat koruptor di negaranya itu. Bukankah berkumpulnya mereka juga berarti berkumpulnya aset-aset kekayaan mereka di negeri kecil itu, walau uang mereka sebenarnya uang kotor hasil jarahannya di Indonesia? Jika perjanjian ekstradisi terealisasi dengan Indonesia, maka siapa yang bisa menjamin para konglomerat hitam tersebut akan tetap tinggal di Singapura, tidak pindah —bersama hasil rampokan mereka— ke Cina misalnya. Pindahnya para konglomerat koruptor tersebut dari Singapura, berarti juga pindahnya aset-aset mereka dari negeri kecil ini. Singapura jelas akan rugi besar.
(Rizki Ridyasmara, "Singapura Basis Israel Asia Tenggara", Khalifa, Jkt, 2005)

Tidak ada komentar: