Penjarahan dana rakyat melalui rekapitalisasi berlangsung selama 1998-1999. Adalah penting jika bank-bank BUMN milik pemerintah direkapitalisasi alias diberi suntikan tambahan modal untuk bisa melakukan aktivitas perbankan dengan normal. Tetapi bank-bank nasional swasta yang sudah menyelewengkan dana KLBI dan BLBI maupun melanggar BMPK untuk kepentingan usahanya sendiri kemudian direkapitalisasi. Apa gunanya bagi rakyat ?
Soal rekapitalisasi bank-bank swasta nasional, pemerintah sudah terjebak Keppres No. 24 dan No. 26/1998. Langkah apapun yang akan dipilih, pemerintah harus memikul beban yang berat. Bila dilikuidasi, pemerintah harus menyediakan (mengeluarkan) biaya lebih dari Rp 600 triliun. Bila direkapitalisasi harus menyediakan biaya lebih dari Rp 400 triliun.
Untuk membiayai dana rekapitalisasi tersebut, pemerintah telah (dan akan) menerbitkan obligasi seluruhnya senilai Rp 430 triliun. Dari obligasi yang sudah diterbitkan dan sudah dimasukkan sebagai aset produktif bank-bank yang sakit, sebagaimana tercantum dalam penjelasan APBN tahun 2000, bunga obligasi yang akan dibayar oleh pemerintah dan telah dibebankan pada APBN tahun 2000 tercatat sebesar 42 triliun. Dan yang akan dibebankan pada APBN tahun 2001 berjumlah Rp 80 triliun.
Tapi ternyata Menko Ekuin Kwik Kian Gie (SCTV, 4 Agustus 2000 pukul 22.30 WIB) menyatakan bahwa pemerintah dalam rangka rekapitalisasi sudah menerbitkan obligasi sebesar Rp 650 triliun dengan bunga atas beban APBN 2000 sebesar Rp 42 triliun. Program rekapitalisasi melalui penerbitan obligasi ini temyata tidak mampu menggerakkan roda perekonomian nasional yang sudah lama lumpuh, hanya mampu memperbaiki posisi CAR-nya. Hal ini karena obligasinya tidak (atau kurang) likuid sehingga sulit dicairkan (dijual) di pasar modal. Sementara itu negara (rakyat) tetap harus menanggung beban bunganya.
Kebijaksanaan pemerintah mensubsidi para konglomerat lewat program rekapitalisasi perbankan sangat tidak adil dan melukai hati rakyat bila mereka tahu. Para konglomerat yang sudah terbukti membuat ekonomi Indonesia berantakan malah mendapat suntikan modal ratusan triliun rupiah (yang sebelumnya telah berhasil membobol uang rakyat melalui BLBI sebesar Rp 164,54 triliun). Sementara subsidi untuk perekonomian rakyat banyak, seperti pengadaan pupuk untuk puluhan juta petani sebesar Rp 3 triliun saja malah dicabut.
Seharusnya pemerintah tidak boleh begitu saja mengalokasikan pengeluaran sejumlah dana sebagai biaya bunga obligasi pada APBN guna menyuntik bank-bank yang bermodal minus. Ini harus ada batasan karena ini menggunakan uang rakyat. DPR juga harus secara tegas menolak kebijakan pemerintah ini. Ketua BPK Satrio B. Joedono dalam laporan investigasi BPK atas BLBI menyatakan bahwa negara terancam rugi Rp 138 triliun akibat dana BLBI yang disalurkan secara ngawur, baik oleh BI maupun bank swasta penerima BLBI.
Di republik ini memang aneh. Banyak bank-bank yang dilikuidasi, di-BBO-kan, di-BTO-kan, atau di-BBKU-kan atau yang semuanya itu artinya bangkrut, tapi para bankir (pemilik dan pengelolanya) hidup super mewah, bebas berkeliaran berpesta-ria, bagai kaum jetset kelas dunia. Kalau keadaan ini dibiarkan, bukan hal yang musthail para bankir nakal, para pejabat BI, dan para oknum penegak hukum ber-KKN dalam merampok uang rakyat melalui sistem dan jaringan perbankan nasional ini akan ramai-ramai diseret, dikeroyok, dan dibakar massa. Sekarang, hal ini belum terjadi karena sebagian besar rakyat Indonesia belum paham semua peristiwa ini, tidak tahu besarnya uang yang dirampok oleh para konglomerat dengan cara tindak kejahatan melalui sistem dan jaringan perbankan.
Sekarang ini, sebagian besar perbankan nasional yang besar-besar, sahamnya sudah dikuasai oleh negara asing, yang paling banyak Singapura. Selain bank, sejumlah BUMN juga sudah beralih tangan ke pihak asing, antara lain tragedi penjualan saham Indosat yang akhirnya sekarang dimiliki oleh (lagi-lagi) Singapura. Telkomsel juga demikian.
Soal rekapitalisasi bank-bank swasta nasional, pemerintah sudah terjebak Keppres No. 24 dan No. 26/1998. Langkah apapun yang akan dipilih, pemerintah harus memikul beban yang berat. Bila dilikuidasi, pemerintah harus menyediakan (mengeluarkan) biaya lebih dari Rp 600 triliun. Bila direkapitalisasi harus menyediakan biaya lebih dari Rp 400 triliun.
Untuk membiayai dana rekapitalisasi tersebut, pemerintah telah (dan akan) menerbitkan obligasi seluruhnya senilai Rp 430 triliun. Dari obligasi yang sudah diterbitkan dan sudah dimasukkan sebagai aset produktif bank-bank yang sakit, sebagaimana tercantum dalam penjelasan APBN tahun 2000, bunga obligasi yang akan dibayar oleh pemerintah dan telah dibebankan pada APBN tahun 2000 tercatat sebesar 42 triliun. Dan yang akan dibebankan pada APBN tahun 2001 berjumlah Rp 80 triliun.
Tapi ternyata Menko Ekuin Kwik Kian Gie (SCTV, 4 Agustus 2000 pukul 22.30 WIB) menyatakan bahwa pemerintah dalam rangka rekapitalisasi sudah menerbitkan obligasi sebesar Rp 650 triliun dengan bunga atas beban APBN 2000 sebesar Rp 42 triliun. Program rekapitalisasi melalui penerbitan obligasi ini temyata tidak mampu menggerakkan roda perekonomian nasional yang sudah lama lumpuh, hanya mampu memperbaiki posisi CAR-nya. Hal ini karena obligasinya tidak (atau kurang) likuid sehingga sulit dicairkan (dijual) di pasar modal. Sementara itu negara (rakyat) tetap harus menanggung beban bunganya.
Kebijaksanaan pemerintah mensubsidi para konglomerat lewat program rekapitalisasi perbankan sangat tidak adil dan melukai hati rakyat bila mereka tahu. Para konglomerat yang sudah terbukti membuat ekonomi Indonesia berantakan malah mendapat suntikan modal ratusan triliun rupiah (yang sebelumnya telah berhasil membobol uang rakyat melalui BLBI sebesar Rp 164,54 triliun). Sementara subsidi untuk perekonomian rakyat banyak, seperti pengadaan pupuk untuk puluhan juta petani sebesar Rp 3 triliun saja malah dicabut.
Seharusnya pemerintah tidak boleh begitu saja mengalokasikan pengeluaran sejumlah dana sebagai biaya bunga obligasi pada APBN guna menyuntik bank-bank yang bermodal minus. Ini harus ada batasan karena ini menggunakan uang rakyat. DPR juga harus secara tegas menolak kebijakan pemerintah ini. Ketua BPK Satrio B. Joedono dalam laporan investigasi BPK atas BLBI menyatakan bahwa negara terancam rugi Rp 138 triliun akibat dana BLBI yang disalurkan secara ngawur, baik oleh BI maupun bank swasta penerima BLBI.
Di republik ini memang aneh. Banyak bank-bank yang dilikuidasi, di-BBO-kan, di-BTO-kan, atau di-BBKU-kan atau yang semuanya itu artinya bangkrut, tapi para bankir (pemilik dan pengelolanya) hidup super mewah, bebas berkeliaran berpesta-ria, bagai kaum jetset kelas dunia. Kalau keadaan ini dibiarkan, bukan hal yang musthail para bankir nakal, para pejabat BI, dan para oknum penegak hukum ber-KKN dalam merampok uang rakyat melalui sistem dan jaringan perbankan nasional ini akan ramai-ramai diseret, dikeroyok, dan dibakar massa. Sekarang, hal ini belum terjadi karena sebagian besar rakyat Indonesia belum paham semua peristiwa ini, tidak tahu besarnya uang yang dirampok oleh para konglomerat dengan cara tindak kejahatan melalui sistem dan jaringan perbankan.
Sekarang ini, sebagian besar perbankan nasional yang besar-besar, sahamnya sudah dikuasai oleh negara asing, yang paling banyak Singapura. Selain bank, sejumlah BUMN juga sudah beralih tangan ke pihak asing, antara lain tragedi penjualan saham Indosat yang akhirnya sekarang dimiliki oleh (lagi-lagi) Singapura. Telkomsel juga demikian.
(Rizki Ridyasmara, "Singapura Basis Israel Asia Tenggara", Khalifa, Jkt, 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar