Semoga melalui media digital personal website yang sangat sederhana ini, tali silaturahmi dan pertemanan yang terputus dapat tersambung kembali dan mengakrabkan kita, sebab hidup dgn ilmu akan lebih mudah, hidup dgn seni akan lebih indah & hidup dgn iman pasti akan terarah.

Masukan yang bersifat membangun dapat dikirimkan melalui email : bagyoesx@gmail.com atau bagyo_27061965@yahoo.co.id atau SMS/Kontak HP 08159552196

04 Oktober 2007

(Bagian 2 ) : Periode Pertama, 1985-1996 : Penjarahan Dana KLBI

Penjarahan dana KLBI, yang merupakan pengurasan kantong BI untuk mengisi kantong konglomerat, terjadi selama tahun 1985-1996. Ba'da tragedi Priok yang menewaskan ratusan umat Islam di Tanjung Priok oleh kekuatan TNI-AD sekuler yang direstui Soeharto, disertai dengan penangkapan para muballigh yang dianggap keras, di kalangan masyarakat timbul perasaan ketakutan dan tidak berani lagi mengadakan kritik terhadap penguasa.
Dalam suasana ketakutan masyarakat untuk mengeluarkan kritik itu, pada tahun 1985 secara diam-diam Trio RMS (Radius Prawiro-Adrianus Mooy-JB Sumarlin) melalui BI meluncurkan skim Kredit Pembauran untuk industri. Ini kredit besar untuk industri tanpa agunan tambahan, karena agunannya adalah proyek industri yang dibiayai KLBI itu sendiri. Dengan alasan, mempercepat industrialisasi di Indonesia, kredit besar-besaran melalui KLBI dikucurkan pemerintah.
Kucuran dana bukan hanya berasal dari pemerintah, tapi para pengusaha ini pun meminta kredit dari berbagai pemodal di luar negeri dalam jumlah yang amat besar. Transaksinya pun berbentuk dolar AS.
Untuk mengikut-sertakan pribumi dalam pertumbuhan ekonomi, memang ada klausul yang menegaskan bahwa kredit diberikan hanya kepada perusahaan yang lebih 50 persen sahamnya dan lebih 50 persen pengurusnya adalah pribumi. Tapi pada kenyataannya, yang siap mengelola industri ialah nonpri keturunan Cina. Mereka merekrut pegawai-pegawai rendahan pribumi (seperti pekerja rumah tangga, sopir, pesuruh, dll) menjadi pemilik saham dan pengurus perusahaan. Ini strategi mereka.
Setelah ratusan miliar rupiah kredit pembauran dicairkan, maka para pegawai priburni itu mendapat 'hadiah' ratusan juta rupiah dengan syarat 'menjual sahamnya' dan menarik diri dari perusahaan. Para pribumi yang tidak tahu masalah ini tentu kegirangan mendapat 'rezeki nomplok dari bos', dan selanjutnya 100 persen perusahaan jatuh ke tangan nonpri keturunan Cina.
Sejak tahun 1985, di bawah kepemimpinan dewan moneter RMS (Radius-Mooy-Sumarlin) dengan operator Deputi Gubernur BI (d/h Direktur BI) Hendrobudiyanto, bermunculanlah konglomerat baru di Indonesia, akibat dikucurkannya KLBI. Presiden Soeharto merestui kebijakan moneter itu karena anak-anaknya juga mendapat guyuran KLBI.
Dalam periode 1985-1988, KLBI yang dikucurkan tidak kurang dari 100 triliun rupiah, jumlah yang pasti sulit dilacak karena terbakarnya gedung tinggi BI (Jalan Thamrin, Jakarta) yang penuh berisi dokumen ini pada Desember 1997 (disengaja?). Sebagian besar dokumen milik 15 bank yang dilikuidasi pada November 1997 ludes dilalap api, yang menyebabkan Tim Investigasi BPK dan BPKP mengalami kesulitan menelusuri pengucuran dan penggunaan KLBI/ BLBI 15 bank tersebut. Jumlah Rp 100 triliun itu amat besar, mengingat waktu itu kurs dolar Amerika 'cuma' berkisar pada angka Rp 1.000. Dengan kurs satu dolar AS setara dengan Rp 9.000,- saja, maka jumlahnya menjadi Rp 900 triliun! Inilah jumlah uang rakyat Indonesia yang masuk ke kantong para konglomerat dalam skema KLBI!.
(Rizki Ridyasmara, "Singapura Basis Israel Asia Tenggara", Khalifa, Jakarta, 2005)

Tidak ada komentar: