Penjarahan dana BLBI, yang merupakan pengurasan kantong BI sampai bangkrut oleh konglomerat berlangsung selama 1998-1999. Pemilik bank-bank swasta yang berdiri hasil Pakto 88, memanfaatkan bank miliknya itu justru untuk menghimpun dana masyarakat untuk disalurkan kepada grup usahanya sendiri. Ketika kreditnya macet (atau sengaja dibikin macet), maka terjadilah rush, pengambilan besar-besaran dana simpanan oleh para nasabahnya.
Macetnya kredit para bankir ini terkait manuver pialang Yahudi George Soros yang tiba-tiba (sebenarnya sudah direncanakan jauh hari) memborong mata uang dolar AS dari seluruh pasar mata uang di Asia. Akibatnya dolar AS menjadi barang langka dan kursnya meroket terhadap mata uang Asia. Krisis moneter berawal dari sini.
Di saat bersamaan, utang para pengusaha yang dimanja pemerintah ini terhadap kreditor asing jatuh tempo. Mereka harus membayar utang beserta bunganya yang tinggi dalam bentuk dolar AS kepada kreditor asing ini. Maka terjadilan kredit macet. Para pengusaha ini tidak mampu (sengaja?) membayar utang dolarnya itu. Kebangkrutan bank-bank swasta di Indonesia menjadi satu keniscayaan. Ini tidak terjadi hanya di satu bank, namun banyak dan bergantian secara terus-menerus.
Dengan dalih mencegah hancurnya sistem perbankan dan perekonomian nasional, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang amat sangat melindungi dan menguntungkan para bankir jahat tersebut Keluarlah Keppres No 24 dan No 26 tahun 1998 tentang jaminan pemerintah atas uang masyarakat yang disimpan di bank-bank pemerintah maupun swasta, serta pemberian jaminan atas kewajiban bank di dalam negeri kepada nasabah maupun kepada kreditor di luar negeri berdasarkan Frankfurt Agreement. Pada bulan Juni 1998, pemerintah membayarkan utang bank swasta nasional dengan dana segar 1 miliar dolar kepada bankir luar negeri tanpa verifikasi BPK/BPKP. Ini berarti, para bankir jahat itu yang ngutang dan menikmati uangnya, namun yang membayar utangnya adalah rakyat Indonesia.
Dalam memenuhi kewajiban pemerintah tersebut, BI menyediakan dana talangan yang direalisasikan dalam bentuk fasilitas BI yang lebih dikenal dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). BLBI ini dikucurkan kepada bank-bank nasional dengan syarat yang sangat ringan dan prosedur yang amat mudah. Peluang emas ini dimanfaatkan secara optimal oleh para bankir jahat yang memang sudah ikut membidani (kolusi dengan berbagai pejabat negara) lahirnya kebijakan ini, sehingga dalam waktu yang relatif singkat terkucurkan dana BLBI sebesar 164,54 triliun rupiah hanya untuk 54 bank nasional pada posisi per 29 Januari 1999.
BLBI itu antara lain diterima Syamsul Nursalim (BDNI) sebesar Rp 37,040 triliun, Liem Sioe Liong (BCA) Rp 26,596 triliun, Usman Admajaya (Bank Danamon) Rp 23,050 triliun, Bob Hasan (BUN) Rp 12,068 triliun, dan Hendra Rahardja (BHS) Rp 3,866 triliun.
Sejak 29 Januari 1999, dari jumlah BLBI sebesar Rp 164,54 triliun tersebut, sebesar Rp 144,54 triliun di antaranya dialihkan oleh BI kepada pemerintah dalam hal ini BPPN. Sedangkan Rp 20 triliun lainnya menjadi penyertaan modal pemerintah (PMP) pada PT BEII (Persero). Dengan demikian sejak tanggal tersebut dana BLBI beserta bunganya menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah, berarti beban rakyat.
Macetnya kredit para bankir ini terkait manuver pialang Yahudi George Soros yang tiba-tiba (sebenarnya sudah direncanakan jauh hari) memborong mata uang dolar AS dari seluruh pasar mata uang di Asia. Akibatnya dolar AS menjadi barang langka dan kursnya meroket terhadap mata uang Asia. Krisis moneter berawal dari sini.
Di saat bersamaan, utang para pengusaha yang dimanja pemerintah ini terhadap kreditor asing jatuh tempo. Mereka harus membayar utang beserta bunganya yang tinggi dalam bentuk dolar AS kepada kreditor asing ini. Maka terjadilan kredit macet. Para pengusaha ini tidak mampu (sengaja?) membayar utang dolarnya itu. Kebangkrutan bank-bank swasta di Indonesia menjadi satu keniscayaan. Ini tidak terjadi hanya di satu bank, namun banyak dan bergantian secara terus-menerus.
Dengan dalih mencegah hancurnya sistem perbankan dan perekonomian nasional, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang amat sangat melindungi dan menguntungkan para bankir jahat tersebut Keluarlah Keppres No 24 dan No 26 tahun 1998 tentang jaminan pemerintah atas uang masyarakat yang disimpan di bank-bank pemerintah maupun swasta, serta pemberian jaminan atas kewajiban bank di dalam negeri kepada nasabah maupun kepada kreditor di luar negeri berdasarkan Frankfurt Agreement. Pada bulan Juni 1998, pemerintah membayarkan utang bank swasta nasional dengan dana segar 1 miliar dolar kepada bankir luar negeri tanpa verifikasi BPK/BPKP. Ini berarti, para bankir jahat itu yang ngutang dan menikmati uangnya, namun yang membayar utangnya adalah rakyat Indonesia.
Dalam memenuhi kewajiban pemerintah tersebut, BI menyediakan dana talangan yang direalisasikan dalam bentuk fasilitas BI yang lebih dikenal dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). BLBI ini dikucurkan kepada bank-bank nasional dengan syarat yang sangat ringan dan prosedur yang amat mudah. Peluang emas ini dimanfaatkan secara optimal oleh para bankir jahat yang memang sudah ikut membidani (kolusi dengan berbagai pejabat negara) lahirnya kebijakan ini, sehingga dalam waktu yang relatif singkat terkucurkan dana BLBI sebesar 164,54 triliun rupiah hanya untuk 54 bank nasional pada posisi per 29 Januari 1999.
BLBI itu antara lain diterima Syamsul Nursalim (BDNI) sebesar Rp 37,040 triliun, Liem Sioe Liong (BCA) Rp 26,596 triliun, Usman Admajaya (Bank Danamon) Rp 23,050 triliun, Bob Hasan (BUN) Rp 12,068 triliun, dan Hendra Rahardja (BHS) Rp 3,866 triliun.
Sejak 29 Januari 1999, dari jumlah BLBI sebesar Rp 164,54 triliun tersebut, sebesar Rp 144,54 triliun di antaranya dialihkan oleh BI kepada pemerintah dalam hal ini BPPN. Sedangkan Rp 20 triliun lainnya menjadi penyertaan modal pemerintah (PMP) pada PT BEII (Persero). Dengan demikian sejak tanggal tersebut dana BLBI beserta bunganya menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah, berarti beban rakyat.
Hasil audit investigasi BPK menunjukkan bahwa potensi kerugian negara mencapai 138,4 triliun atau 95,8 persen dari total BLBI sebesar Rp 144,5 triliun yang dikucurkan per 29 Januari 1999. Sebesar Rp 138 triliun adalah BLBI yang disalurkan menyimpang, lalai, dan sistemnya lemah.
Total BLBI yang diselewengkan bankir iblis, konglomerat koruptor, mencapai Rp 84,5 triliun atau 58,7 persen dari Rp 144,5 triliun BLBI. Jenis penyimpangannya meliputi penggunaan BLBI untuk kepentingan kelompoknya sendiri, melunasi pinjaman, membiayai kontrak baru, ekspansi kredit, dan investasi seperti membuka cabang baru, dan sebagainya.
Harus dicatat, tidak ada satu pemerintah di seluruh negara di dunia ini pun yang berani mengambil-alih utang bank swasta. Di luar negeri, kalau terjadi rush yang mengakibatkan suatu bank menjadi bangkrut, maka pemerintah tidak campur tangan. Pemilik bank yang bangkrut harus mengembalikan semua simpanan nasabah dan semua utangnya. Kalau tidak sanggup, maka pemerintah akan melakukan tindakan hukum. Hanya Indonesia di bawah Soeharto yang berani —atau tolol ?— menempuh jalan ini. Hal tersebut bisa jadi sangat terkait dengan Bail-out game scenario yang sudah dicanangkan berpuluh tahun lalu oleh para bankir Yahudi terhadap Indonesia.
Total BLBI yang diselewengkan bankir iblis, konglomerat koruptor, mencapai Rp 84,5 triliun atau 58,7 persen dari Rp 144,5 triliun BLBI. Jenis penyimpangannya meliputi penggunaan BLBI untuk kepentingan kelompoknya sendiri, melunasi pinjaman, membiayai kontrak baru, ekspansi kredit, dan investasi seperti membuka cabang baru, dan sebagainya.
Harus dicatat, tidak ada satu pemerintah di seluruh negara di dunia ini pun yang berani mengambil-alih utang bank swasta. Di luar negeri, kalau terjadi rush yang mengakibatkan suatu bank menjadi bangkrut, maka pemerintah tidak campur tangan. Pemilik bank yang bangkrut harus mengembalikan semua simpanan nasabah dan semua utangnya. Kalau tidak sanggup, maka pemerintah akan melakukan tindakan hukum. Hanya Indonesia di bawah Soeharto yang berani —atau tolol ?— menempuh jalan ini. Hal tersebut bisa jadi sangat terkait dengan Bail-out game scenario yang sudah dicanangkan berpuluh tahun lalu oleh para bankir Yahudi terhadap Indonesia.
(Rizki Ridyasmara, "Singapura Basis Israel Asia Tenggara", Khalifa, Jakarta, 2005)
1 komentar:
Saya sangat senang dengan tulisan bapak karena sangat terkait dengan visi misi kami, untuk itu dengan tidak mengurangi rasa hormat , maka kami memasang tulisan bapak di website kami : www.arnaulyacapres.tk
Kami dari tim sukses mendukung untuk kita bersama memberantas Konglomerat China yang telah merampok Uang negara.
Bapak Arnauly Aminullah sebagai mantan Pejabat Litbank BI tahu persis dan mempunyai bukti-bukti otentik untuk dijadikan dasar menyeret mereka ke meja hijau. Kami sangat senang bila bapak Bagio bisa saling mengisi dalam berjuang melawan penjajah ekonomi tersebut
Posting Komentar